Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mengatur beberapa hal baru terkait Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM) dan koperasi. Di antara pengaturan baru ini termasuk penyederhanaan perizinan bagi UMKM, kemudahan perizinan koperasi, kemitraan koperasi dan UMKM, dan pengecualian upah minimum bagi usaha mikro dan kecil (UMK).
Menurut Anggota Badan Legislasi DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah bahwa RUU Cipta Kerja memberikan kemudahan perizinan untuk UMKM yang dilakukan dengan memisahkan proses perizinan dengan sertifikasi yang dipermudah. Tidak hanya itu, RUU Cipta Kerja juga berupaya untuk mendorong pemerintah daerah memberikan kemudahan bagi UMKM serta mendorong terciptanya basis sistem informasi dan data tunggal.
Lebih lanjut, Ledia mengungkapkan bahwa saat ini sulit menentukan kriteria UMKM, sementara pengaturan yang ada saat ini belum cukup untuk mengatasi permasalahan tersebut. Bahkan DPR pun menilai RUU Cipta Kerja juga tidak cukup, sebab pengaturan mengenai UMKM tersebar di banyak peraturan pelaksana.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Omnibus Vol. 2 dengan tema “RUU Cipta Kerja dan Masalah Perlindungan bagi UMKM” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Senin (29/6/2020).
Sementara itu, Diretur Eksekutif AKATIGA, Nurul Widyaningrum memaparkan persoalan yang dialami UMKM. Menurutnya, istilah UMKM sering bercampur dengan sektor informal. Padahal, keduanya merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, di mana unit usaha informal ini hanya akan berubah menjadi formal apabila ingin mengajukan bantuan.
“Permasalahan yang dialami oleh UMKM adalah persoalan jaminan untuk tidak digusur serta kerentanan terhadap kejadian-kejadian yang mempengaruhi pendapatan mereka, seperti misalnya pandemi Covid-19, termasuk pula terkait dengan penggusuran,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dalam RUU Cipta Kerja yang secara spesifik mengatur UMKM sekitar 15 Pasal, tapi hanya sedikit pasal yang berdampak terhadap UMKM. Masih banyak persoalan yang luput dari pengaturan, seperti hubungan kemitraan yang terjadi dalam transportasi daring.
Sementara itu, Direktur Kerja Sama dan Kolaborasi PSHK, M. Faiz Aziz mengungkapkan beberapa masalah yang dialami oleh UMKM, yakni terkait modal, urusan perizinan, perpajakan, kurangnya inovasi, literasi teknologi rendah, dan kemitraan tak seimbang.
“Dalam RUU Cipta Kerja, saya menyoroti terkait data tunggal, siapa yang akan mengelola data tunggal ini? Bagaimanapun daftar usaha saat ini ada di Kementerian Hukum dan HAM, terkait hal ini perlu untuk kita beri masukan dan kritikan supaya adanya data tunggal ini dapat berlaku secara efektif,” ungkapnya.
Lebih lanjut, M.Faiz Aziz mengungkapkan bahwa pekerjaan utama yang harus dijawab DPR adalah melakukan harmonisasi kepentingan UMKM, namun tanpa mengesampingkan aspek religius yang ada dalam masyarakat terkait sertifikasi halal.
Diskusi yang dimoderatori oleh Peneliti PSHK, Estu Dyah Arifianti ini diikuti oleh seratus peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa, peneliti, hingga aparatur pemerintah. Diskusi tersebut juga dapat disaksikan ulang di kanal Youtube PSHK Indonesia. (AP)