Draf RUU Cipta Kerja yang saat ini sedang dibahas DPR bersama Pemerintah menjadikan pengelolaan sumber daya alam sebagai salah satu sektor yang akan direkonstruksi pengaturannya dengan argumentasi untuk mendorong perekonomian Indonesia. Namun, sejumlah rumusan perubahan ketentuan dalam draf RUU itu memunculkan beberapa pertanyaan mendasar, seperti bagaimana cara negara melindungi kepentingan publik dalam pemanfaatan sumber daya alam, dan apa saja yang menjadi tanggung jawab negara dalam menjamin pelindungan publik tersebut.
Akademisi IPB University, Rina Mardiana mengkritisi substansi pasal dalam RUU Cipta Kerja yang belum menjawab akar permasalahan utama dalam sektor sumber daya alam, yakni permasalahan reforma agraria dan tata kelola sumber daya alam. Menurutnya, kebijakan terkait sumber daya alam harus menyeluruh sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi saat ini, seperti konflik agraria, korupsi sumber daya alam, tumpang tindih kebijakan, dan kemiskinan rakyat.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Omnibus Vol. 4 bertema “Penguasaan Negara dan Pelindungan Publik Atas Sumber Daya Alam dalam RUU Cipta Kerja” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Jumat (17/7/2020).
Lebih lanjut Rina menyatakan, jika RUU Cipta Kerja ini ingin menyelesaikan permasalahan riil di lapangan pemerintah harus mengubah paradigma dalam pembuatan rumusan pasal yang awalnya menggunakan paradigma pertumbuhan ekonomi dan kapitalisme yang hanya berorientasi kepada bisnis, berubah menggunakan paradigma pembangunan berkelanjutan yang terdiri atas keadilan agraria dan ekologi, kesejahteraan sosial, serta spiritualisme dan berkedaulatan.
Sementara itu, Wakil Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja DPR RI, Ibnu Multazam juga menyadari bahwa permasalahan yang diuraikan oleh Rina memang benar adanya. Namun, yang perlu dipahami oleh masyarakat adalah tidak semua norma dalam pasal RUU Cipta Kerja memuat ketentuan yang tidak baik. DPR akan mendengarkan semua pihak dalam melengkapi, menyempurakan, dan menyusun RUU Cipta Kerja. Hal ini terbukti dengan rapat-rapat Panja yang dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh semua pihak, padahal lazimnya rapat Panja dilakukan secara tertutup.
Ibnu juga menyangkan banyak pihak tertentu yang menyebarkan berita bohong terkait proses pembahasan legislasi RUU Cipta Kerja. Misalnya, isu soal RUU Cipta Kerja yang akan disahkan pada Rapat Paripurna kemarin (Bulan Juli), padahal pembahasan saat ini baru masuk kedalam Bab 3 tentang perizinan berusaha.
Peneliti PSHK dan Pengajar STH Indonesia Jentera, Giri Ahmad Taufik memberikan memberikan empat catatan khusus apabila pembahasan RUU Cipta Kerja akan terus dilakukan. Pertama, RUU Cipta Kerja harus memuat pengaturan yang memperkuat peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Kedua, harus ada penguatan tata kelola melalui pengaturan yang lebih detail terutama terkait dengan pemberian fasilitas bagi pengusaha. Ketiga, harus ada formulasi pengaturan peran daerah yang lebih adil dalam pengelolaan sumber daya alam. Kemudian yang terakhir, Pemerintah dan DPR harus menggunakan Risk Based Approach (RBA) dalam penyusunan RUU Cipta kerja, terutama yang berkaitan dengan penyederhanaan perizinan dan pelindungan lingkungan hidup.
Diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Kemitraan dan Kerja Sama PSHK, Muhammad Faiz Aziz ini diikuti oleh 140 peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa, peneliti, hingga aparatur pemerintah. Diskusi tersebut juga dapat disaksikan ulang di kanal Youtube PSHK Indonesia. (N)