Dalam pembahasan RUU Cipta kerja yang sudah mencapai 95% pembahasannya di DPR, kluster yang banyak menyita perhatian publik serta mendapat penolakan adalah kluster ketenagakerjaan. Dalam draf RUU Cipta Kerja, terdapat banyak aturan terkait ketenagakerjaan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta akan merugikan pekerja karena aturan yang ada dapat menyebabkan pekerja memiliki status PKWT atau outsourcing seumur hidup. Selain itu, aturan-aturan yang ada dalam RUU Cipta Kerja dianggap mengembalikan aturan-aturan yang ada sebelum adanya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, sejak awal pembentukan RUU Cipta Kerja, pemerintah mengabaikan proses-proses yang seharusnya dilakukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seperti minimnya partisipasi publik. Sementara itu, DPR ketika mengundang pimpinan-pimpinan serikat buruh untuk mendapatkan masukan terkait RUU Cipta Kerja, undangan tersebut dibatasi hanya kepada beberapa serikat buruh, hal tersebut akhirnya menghasilkan kompromi-kompromi yang ada dalam draf RUU Cipta Kerja sekarang.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Omnibus Vol. 8 bertema “Permasalahan Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT) dan Outsourcing dalam RUU Cipta Kerja” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Senin (28/8/2020).
Lebih lanjut lagi, Nining mengatakan bahwa “Kalau Pasal 59 yang mengatur tentang PKWT dihilangkan, pemerintah justru semakin meliberalisasi persoalan tenaga kerja, mengobral tenaga kerja kita. Ke depan sudah semakin tidak punya kepastian kerja, upah juga bisa dibayar serendah-rendahnya”.
Sementara itu, Anggota Panja RUU Cipta DPR RI, Obon Tabroni, menyampaikan bahwa pembahasan pasal-pasal terkait ketenagakerjaan telah selesai dibahas di tingkat Panita Kerja DPR dan hanya tinggal menunggu pengesahan. Dalam draf awal, hanya terdapat beberapa pasal yang dihapus. Namun, dalam draf terbaru terdapat perubahan signifikan karena hampir semua pasal terkait ketenagakerjaan telah dihapus.
Menurutnya, alasan pemerintah bersikeras bahwa Pasal 59 dihapus karena batasan kontrak sudah tidak jelas sehingga pasal tersebut sudah tidak diperlukan lagi. Namun, substansi dalam Pasal 59 tersebut tidak hilang karena nantinya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Adapun terkait penghapusan aturan mengenai outsourcing dalam RUU Cipta Kerja karena outsourcing adalah pemborongan yang dilakukan antara business to business, maka pemerintah menganggap tidak layak untuk mengatur hal tersebut.
Peneliti PSHK dan Pengajar STH Indonesia Jentera, M. Nur Solikhin menyampaikan bahwa pemikiran business to business adalah pemikiran yang keliru dalam sektor ketenagakerjaan karena yang menjadi objek dalam perjanjian tersebut adalah manusia. Pekerja seharusnya tidak hanya dipandang sebagai objek semata akan tetapi dipandang dari sisi sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar, yaitu hak hidup dan hak untuk mendapat pekerjaan yang layak. Pemerintah seharusnya berperan untuk menjadi penyeimbang untuk pekerja dalam berhadapan dengan kelompok pengusaha karena pekerja memiliki kekuasaan yang tidak imbang dengan pengusaha. Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja, peran untuk menyeimbangkan tidak dijalankan oleh pemerintah.
Menurutnya, hal yang perlu diingat kembali adalah dalam konstitusi negara berkewajiban untuk memberikan pekerjaan yang tepat dan layak untuk warga negara.
Diskusi yang dimoderatori oleh Peneliti PSHK, Nabila ini diikuti oleh hampir seratus peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa, peneliti, karyawan swasta hingga aparatur pemerintah. Diskusi tersebut juga dapat disaksikan ulang di kanal Youtube PSHK Indonesia. (Kris Ninawati Hanapi)