Dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020, DPR telah mengesahkan RUU Cipta Kerja yang merupakan RUU usulan pemerintah resmi menjadi Undang-Undang. Hal ini berarti metode Omnibus telah menjadi preseden dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Metode Omnibus sendiri bukanlah sebuah hal baru dalam sistem perundang-undangan di Indonesia karena sudah pernah diterapkan misalnya pada UU Perpajakan dan UU Pemilihan Umum. Namun, tentu saja penerapannya menjadi berbeda dalam konteks UU Cipta Kerja yang tidak hanya mengatur satu Undang-Undang saja, melainkan mengatur 79 Undang-Undang yang berbeda.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti dalam Hukum Tata Negara ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu demokrasi, pembatasan kekuasaan, hal-hal yang bersifat substansi dan prosedural serta hak asasi manusia yang terdiri dari hak substantif dan hak prosedural. Ketika membahas demokrasi, salah satu hal yang paling penting adalah partisipasi publik. Apabila dikatikan dengan Omnibus dalam UU Cipta Kerja, dapat dilihat dalam pembentukannya sangat mengesampingkan partisipasi publik. Selain itu, dalam hak-hak prosedural yang dijamin dalam Hak Asasi Manusia ada yang dinamakan dengan hak untuk didengar dan hak untuk dipertimbangkan yang merupakan pintu masuk bagi mayarakat untuk ikut serta atau berpartisipasi dan dipertimbangkan pendapatnya.
Lebih lanjut lagi, Susi menegaskan bahwa apabila kita meniscyakan bahwa omnibus merupakan salah satu metode, maka harus ada limitasi atau pembatasan penggunaan metode ini melalui pengubahan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan agar tidak terjadi penyalahgunaan metode tersebut.
“Kalau omnibus itu kita katakan sebagai sebuah metode, sangat menarik untuk digunakan. Namun ketika kita akan menggunakan metode itu, maka pertanyaan intinya adalah sampai sejauh mana kita dapat menggunakan metode itu agar tidak terjadi abussive use atau dengan kata lain tidak terjadi misuse (tidak disalahgunakan). Ini yang seharusnya kita kritisi, bukan boleh tidaknya kita menggunakan metode omnibus.”
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Omnibus Vol. 9 bertema “Preseden Pendekatan Omnibus dalam Reformasi Regulasi” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Jumat (9/10/2020).
Sementara itu, Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan, Diani Sadia Wati, mengungkapkan bahwa pada 2015 terdapat sekitar 42.000 regulasi yang dalam implementasinya justru menghambat pelaksanaan pembangunan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi stagnan yang salah satu penyebabnya adalah faktor ego sektoral di Kementrian/Lembaga. Selain itu juga, terdapat juga masalah dalam pengusulan UU dalam Program Legislasi Nasional yang tidak sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Padahal, seharusnya harus dipastikan bahwa setiap usulan-usulan yang diajukan oleh Kementiran/Lembaga harus sejalan dengan prioritas pembangunan yang sudah ditetapkan yang dapat dinilai pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Selain itu, nantinya regulasi yang diajukan tidak hanya berupa nama melainkan juga apa tujuan dari regulasi tersebut. Hal yang perlu diketahui juga bahwa RPJMN dan RKP merupakan perintah dari presiden sehingga kita harus memastikan dukungan regulasi yang ada akan sesuai dengan RPJMN dan RKP.
Lebih lanjut lagi Diani juga menyampaikan bahwa “Penerapan omnibus law dalam tanda kutip itu tadikan sudah dilakukan namun hanya pada satu area, sekarang ini dengan UU Cipta Kerja ada banyak area. Penting untuk dilakukan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undang dengan memasukan norma-norma bagaimana seharusnya pendekatan omnibus itu dilakukan.”
Dirketur Advokasi dan Jaringan PSHK dan Pengajar STH Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi menyampaikan bahwa “Sistem pembentukan legislasi di Indonesia belum kompatibel dengan skema omnibus. Omnibus mensyaratkan banyak UU yang akan dibahas serta banyak sektor yang akan terkait. Sehingga, partisipasinya pun harus lebih luas dari sebelumnya.”
Fajri juga menambahkan bahwa evaluasi untuk kedepannya adalah tidak hanya sekedar melihat regulasi dari substansi semata melainkan juga bagaimana melihat metode omnibus ini merupakan sebuah upaya untuk membangun kerangka pembentukan legislasi yang lebih baik, mendukung reformasi regulasi, tetap memperhatikan patisipasi publik serta membangun iklim demokrasi yang lebih baik lagi.
Diskusi yang dimoderatori oleh Peneliti PSHK, Antoni Putra ini diikuti oleh 180 peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa, peneliti, hingga aparatur pemerintah. Diskusi tersebut juga dapat disaksikan ulang di kanal Youtube PSHK Indonesia. (Kris Ninawati Hanapi)
Download iOS: