“Kemampuan menulis pustakawan menjadi perhatian Pustaka Kementerian Pertanian RI agar berbagai hasil penelitian yang sulit dipahami dapat dengan mudah dibaca masyarakat awam, khususnya para petani. Sayang sekali hasil penelitian yang bagus dan sudah didanai negara, tidak dimanfaatkan karena kesulitan membacanya,” Demikian ringkasan pendapat Gayatri K. Rana, Kepala Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Kementerian Pertanian. Pandangan ini disampaikan dalam Sesi Paralel Perpustakaan Khusus, pada acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Perpustakaan Nasional RI, pada hari Rabu, 28 Maret 2018. Kegiatan ini sendiri diselenggarakan sejak hari Senin 26 Maret 2018 yang dibuka oleh Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.
Sesi paralel Perpustakaan Khusus menghadirkan empat narasumber. Narasumber terdiri dari Farli Elnumeri, Kepala Perpustakaan Hukum Daniel S Lev yang juga Presiden Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia. Narasumber kedua, Ir.Gayatri K. Rana, M.Sc., Kepala Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Kementerian Pertanian. Narasumber berikutnya Ucep Sukarya, Kepala Perpustakaan Bank Indonesia dan R. Roro Vera Yuwantari Susilastuti, S.IP., M.Si. yang merupakan Asisten Deputi Asesmen dan Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan kelembangaan dan Tata Laksana Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Diskusi ini dipandu oleh Wahyu Kumoro, Kepala Perpustakaan Ali Alatas, Kementerian Luar Negeri RI.
Ucep Sukarya memaparkan bahwa Perpustakaan BI banyak terlibat dalam mengelola dan menyediakan informasi yang dibutuhkan BI Institute serta pengembangan Research and Learning Program BI Institute. Seringkali, “Walau harganya mahal dan penggunanya terbatas, perpustakaan BI tetap menyediakan karena dibutuhkan unit kerja tersebut. Jadi penilaian kebutuhan informasi yang disediakan tidak sekedar pendekatan anggaran atau berapa banyak yang butuh, namun lebih kepada kepentingan pemustaka”, Ujar Ucep yang pada saat paparan baru beberapa bulan diangkat menjadi kepala perpustakaan BI.
Roro Vera Yuwantari Susilastuti lebih kepada memaparkan peran, fungsi, dan tugas perpustakaan khusus yang ada dalam berbagai nomenklatur, khususnya perpustakaan khusus pemerintah. Menurutnya, perpustakaan khusus setidaknya berperan sebagai repositori publikasi ilmiah lembaga pemerintah, sarana berbagi pengetahuan, pusat pembelajaran, dan menjadi sumber rujukan utama dalam penyusunan kebijakan lembaga induknya. Adapun Gayatri berpendapat bahwa Perpustakaan Khusus seharusnya ikut aktif dalam mengembangkan budaya membaca di masyarakat sekitar, seperti mendukung pengembangan taman bacaan dan pengelolaan museum tanah. Perpustakaan harus aktif pula menyelenggarakan bimbingan teknis sebagai bagian diseminasi informasi yang dimiliki perpustakaan.
Adapun Farli Elnumeri lebih menyoroti keberadaan perpustakaan khusus yang sangat rentan dari ancaman pembubaran. “Ketika suatu lembaga mengalami defisit anggaran, perpustakaan sering kali menjadi unit pertama yang menjadi korban pemangkasan anggaran. Terlebih, apabila keberadaan perpustakaan tersebut di mata pimpinan, tidak terasa manfaatnya oleh mereka. Bagi pimpinan yang merasa tidak mendapat manfaat atas perpustakaan di lembaga tersebut, maka perpustakaan dianggap “cost center”. Untuk itu, hal ini menjadi tantangan bersama para pengelola perpustakaan khusus untuk menunjukkan kinerja yang baik, bermanfaat secara langsung bagi lembaga induk dan menunjukkan eksistensinya dalam mengembangkan inovasi di dalam ruang lingkup lembaga induknya.” Ujar Farli.
Diskusi ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi dalam penguatan kelembagaan perpustakaan khusus. Salah satunya usulan peran perpustakaan khusus kaitannya dengan Undang-Undang mengenai Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam yang saat ini sedang dalam pembahasan DPR RI. Pertemuan tersebut merekomendasikan agar perpustakaan khusus yang berada di lembaga pemerintah menjadi penghubung dalam penyerahan terbitan pemerintah kepada Perpustakaan Nasional selaku institusi yang bertanggung jawab sebagai repositori nasional pengetahuan di Indonesia. (DMI)