Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyelenggarakan Capacity Building bertajuk “Resiliensi Masyarakat Sipil dalam Penyempitan Ruang Gerak Masyarakat Sipil” bagi organisasi/komunitas orang muda yang bergerak pada sektor perubahan sosial di Kota Surakarta pada 11-13 Juli 2025. Kegiatan ini melibatkan 16 perwakilan dari organisasi/komunitas orang muda dari berbagai latar belakang isu untuk berbagi pengalaman dan memperkuat ketahanan serta keberlanjutan dalam melakukan kegiatan aktivisme.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti menjelaskan peran penting masyarakat sipil sebagai ruang ketiga di samping negara dan sektor privat untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Diskusi juga mencakup fenomena penyempitan ruang gerak masyarakat sipil (shrinking civic space) melalui regulasi dan ancaman kriminalisasi dan gerakan rimpang yang tumbuh dan berkembang pasca-reformasi 1998, menurutnya gerakan rimpang perlu ketersambungan satu sama lain yang tak elitis.
Dalam sesi ini, para peserta juga membagikan berbagai pengalamannya dalam menghadapi penyempitan ruang gerak masyarakat sipil selama melakukan aktivisme di Surakarta. Di antaranya adalah pembubaran kegiatan, penangkapan, hingga teror dan intimidasi.
Asfinawati, pengajar STH Indonesia Jentera, kemudian menekankan mengenai pentingnya pengarusutamaan gender dan sensitivitas terhadap kelompok rentan dalam setiap aktivisme yang dilakukan. Menurutnya, diskriminasi dapat terjadi secara lintas bagian (intersectional discrimination), di mana dua atau beberapa alasan diskriminasi beroperasi bersamaan dan berinteraksi secara tak terpisahkan sehingga menghasilkan bentuk-bentuk diskriminasi yang berbeda dan spesifik.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, memberikan pengetahuan dasar mitigasi risiko mengenai pengendalian dan penanganan risiko dari aktivisme yang dilakukan. Dimas mengajak para peserta untuk mengidentifikasi ancaman yang datang dari aktor negara, seperti kriminalisasi melalui pasal-pasal represif, dan aktor non-negara, seperti korporasi yang menggunakan gugatan hukum untuk membungkam kritik (Strategic Lawsuit Against Public Participation/SLAPP).
Dinmas kemudian membagikan beberapa tips mitigasi risiko pengintaian fisik seperti variasikan perjalanan, mengabarkan teman atau kantor dalam perjalanan, hingga mengubah rutinitas sehingga sulit diidentifikasi.
Peneliti SAFEnet Andreas juga menjelaskan pengetahuan mengenai keamanan digital untuk melindungi data pribadi dan organisasi/komunitas dari serangan digital. Andreas juga menyoroti bangkitnya “Otoritarianisme Digital” di Indonesia, di mana pemerintah menggunakan kontrol ruang digital untuk membungkam kebebasan berekspresi. Data SAFEnet menunjukkan tren serangan digital terhadap kelompok kritis terus meningkat, dengan total 339 insiden dan serangan pada 2024.
Andreas kemudian mengajak peserta untuk melakukan pengecekan kebersihan digital, mulai dari seberapa kuat kata sandi yang digunakan, penggunaan autentifikasi 2 faktor, hingga penggunaan aplikasi yang menghargai privasi.
Sesi terakhir mengenai advokasi dan bantuan hukum dibawakan oleh Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang juga pengajar STH Indonesia Jentera. Ia menjelaskan mengenai hak-hak dasar warga negara saat berhadapan dengan hukum. Hal tersebut sangat penting karena riset YLBHI menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen tersangka tidak mendapatkan pendampingan hukum dan mayoritas mengalami penyiksaan selama proses hukum.
Bagi para peserta, capacity building ini bermanfaat karena berhasil menambah perspektif baru mengenai ruang gerak masyarakat sipil, peningkatan budaya keamanan, memperkaya taktik advokasi, dan menjadi kesempatan berharga untuk berjejaring dan mendukung agenda kerja satu sama lain.