Konteks Terkini
Senin, 9 Februari 2015, DPR menjadwalkan rapat paripurna, dengan salah satu agendanya menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan Prioritas 2015[1]. Ada sejumlah sinyal perbaikan yang muncul selama proses penyusunannya seperti yang tercermin sejak rapat kerja pertama kali yang diselenggarakan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama DPD dan Pemerintah, Kamis, 29 Januari 2015 hingga Jum’at, 6 Februari 2015. Salah satunya adalah DPD yang cukup aktif dalam mengusulkan dan membahas usulan RUU[2].
Ada ruang aktualitas kewenangan dan relasi kelembagaan yang semakin diakui. Terbukti DPD berwenang mengusulkan dan sekaligus menyiapkan Naskah Akademik (NA) dan naskah RUU Wawasan Nusantara (dari salah satu RUU yang diusulkan DPD dalam Prioritas 2015). Selain itu, merujuk dari berbagai dokumen yang beredar selama penyusunan dan pembahasan penyusunan RUU Prolegnas 2015-2019 dan Prioritas 2015[3], DPD juga berperanserta sebagai pihak yang mengkonfirmasi urgensi usulan suatu RUU, khususnya yang berkaitan dengan ruang lingkup daerah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22D UUD1945.
Adanya kemajuan dalam penyusunan RUU Prolegnas 2015-2019 dan Prioritas 2015 membutuhkan konsistensi dan tindak lanjut agar dampak yang timbul signifikan dan melembaga secara kewenangan dan terhadap relasi para pihak, termasuk bagi DPD sendiri. Fungsi dan relasi legislasi DPD masih rentan mengalami reduksi jika tidak diperkuat melalui revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)[4], utamanya dalam rangka tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 92/PUU-X/2012 tanggal 27 Maret 2013.[5]
Ironi memang ketika putusan MK semakin mengukuhkan fungsi dan relasi legislasi DPD (dengan DPR dan Pemerintah), upaya untuk menyesuaikan dan merinci lebih lanjut melalui perubahan UU 12/2011 dan UU MD3 tidak diprioritaskan (dalam Prolegnas 2015). Munculnya kekhawatiran posisi DPD kembali dikesampingkan cukup beralasan, bahkan sebelum DPD mengajukan permohonan judicial review (JR) terhadap UU MD3 (UU 17/2014), keberadaan UU MD3 (UU 27/2009) ternyata tidak dijalankan sepenuhnya oleh DPR terutama kaitannya dengan fungsi legislasi. Sebagai contoh, rapat kerja antara Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM, yang juga dihadiri pimpinan Komite I DPD, saat dimulainya proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY). Pertemuan yang berlangsung pada Rabu, 26 Januari 2011, mengagendakan pengesahan jadwal dan mekanisme pembahasan serta mendengarkan penjelasan Pemerintah atas RUUK DIY. Pertemuan tersebut sempat menyulut perdebatan alot antara pimpinan Komite I DPD dengan pimpinan Komisi II. Muncul perbedaan persepsi mengenai format keterlibatan DPD dalam membahas RUUK DIY. Ketua Komisi II tidak memberikan kesempatan kepada anggota DPD untuk menyampaikan pandangannya. Padahal mengacu (saat itu) pada Pasal 150 ayat (2) huruf d, DPD berhak menyampaikan pandangan (dalam pengantar musyawarah) terhadap penjelasan Presiden apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD[6].
Lemahnya kewenangan DPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi sudah menjadi polemik yang menahun. Maksud hati mengembangkan sistem check and balances di tubuh parlemen, tetapi yang terjadi kemudian adalah ketidakberdayaan DPD sebagai salah satu kamar di parlemen untuk mengimbangi kamar lain, yaitu DPR. Akibatnya, relasi antar cabang kekuasaan belum menghasilkan kemandirian, penghormatan, dan pertanggungjawaban terhadap kedudukan dan tugas masing-masing lembaga negara. Dalam konteks penguatan sistem representasi, keberadaan DPD kurang maksimal dan akuntabel mewakili aspirasi kepentingan sebagian masyarakat terutama daerah. Penelusuran terhadap persoalan tersebut pada akhirnya bermuara kepada terbatasnya wewenang DPD sebagaimana yang dapat kita identifikasi di UUD 1945.
Tindak Lanjut
Putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi atas kedudukan dan peran DPD, diantaranya (kedudukan) RUU dari DPD setara dengan RUU dari Presiden dan RUU dari DPR. Terkait dengan pengajuan usul RUU, MK memutuskan beberapa hal yaitu (i) kedudukan DPD sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU; (ii) DPD dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas; dan (iii) usul RUU dari DPD tidak menjadi usul RUU DPR. Selain itu, pembahasan RUU dilakukan dengan tiga pihak setara (tripartit), yaitu Presiden, DPD, dan DPR (bukan diwakili atau berhadapan dengan fraksi-fraksi di DPR).
Dalam hal pembahasan RUU, MK berpendapat bahwa pembahasan dari DPD harus diberlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula sebaliknya, terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD yaitu DPD diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan.
Frase Ikut Membahas
Tindak lanjut putusan MK akan berdampak pada relasi legislasi DPR dan DPD, terutama bagaimana menerjemahkan frase “DPD ikut membahas”. Konsekuensi inilah yang seharusnya diantisipasi oleh Panitia Kerja (Panja) RUU MD3 ketika membahas perubahan UU 27/2009 sepanjang Februari s/d Juli 2014 lalu.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Panja RUU MD3 pasca putusan MK adalah bagaimana menerjemahkan atau mengoperasionalkan ketentuan berupa frase “DPD ikut membahas”. Sebelum putusan MK, kehendak DPD untuk ikut membahas RUU tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D UUD 1945 belum terjembatani oleh alur Pembicaraan Tingkat I (Pasal 150 ayat (1) UU MD3). Bercermin dari praktek yang selama ini berjalan, saat membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), Pemerintah dan DPR (pada tingkat Komisi atau Pansus) sebenarnya (turut pula) mengambil keputusan. Setidaknya ada dua hal yang diputuskan, yaitu (i) kesepakatan terhadap substansi batang tubuh RUU dan (ii) melanjutkan pembahasan draf RUU pada level berikutnya, yaitu tingkat Panja, Timus (Tim Perumus), dan Tim Sinkronisasi (Timsin). Tidak heran, DPR tidak mengikutsertakan DPD karena saat membahas DIM RUU, tanpa sadar ada proses mengambil keputusan. Jelas, hal demikian melebihi kewenangan yang diberikan konstitusi kepada DPD.
Jika kita ketat pada konsep “ikut membahas” berdasar tafsiran Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, Pasal 249 ayat (1) huruf b (diperkuat pula dengan kewenangan DPD menunjuk alat kelengkapan yang akan membahas RUU sesuai Pasal 166 ayat (4) dan Pasal 277 ayat (2) UU MD3), maka penggunaan DIM seharusnya diarahkan sebagai instrumen untuk membahas RUU, bukan mengambil keputusan.
Penggunaan DIM seperti yang selama ini dianut, sesungguhnya tidak kondusif bagi DPD untuk mengimplementasikan frase “ikut membahas”. DPD harus mendesak DPR dan Pemerintah agar mengganti DIM dan berinovasi menciptakan metode baru. Cara bekerja metode dimaksud bukan untuk memutuskan, tapi membahas dengan segala kepraktisan dan kemudahan. Dengan demikian, DPR dan DPD tidak perlu khawatir terjebak pada situasi bertindak di luar koridor konstitusi, karena tetap leluasa terlibat saat membahas RUU.
Panitia Khusus (Pansus) RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau Komisi X saat membahas RUU Kepemudaan dan RUU Perfilman pernah menerapkan metode membahas RUU dengan cara pemilihan dan pengelompokan (klasterisasi) isu. Kelebihan metode ini adalah anggota DPR bisa lebih fokus kepada persoalan dan tidak terjebak pada hal-hal teknis, yang ini menjadi kekurangan DIM. Satu hal, metode ini potensial untuk disempurnakan oleh DPD, agar peluang “ikut membahas” semakin lebar karena DPD tidak diposisikan untuk mengambil keputusan.
[1]Salinan dokumen resmi Daftar RUU Prolegnas 2015-2019 dan Prioritas 2015 bisa dilihat http://parlemen.net/articles/2015/02/10/program-legislasi-nasional-ranca…
[2]DPD mengusulkan sebanyak 85 RUU untuk Prolegnas 2015-2019 dan 13 RUU untuk Prioritas 2015.
[3]Selengkaapnya dalam dokumen Daftar Rancangan Undang-Undang Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2019 Usulan DPR dan DPD Disertai Catatan Tim Pendukung Penyusunan Prolegnas. Bisa dilihat melalui tautan http://parlemen.net/articles/2015/02/05/daftar-rancangan-undang-undang-p…
[4]Keberadaan UU No 27 Tahun 2009 kemudian diganti dengan UU No 17 Tahun 2014 berdasarkan kesepakatan Rapat Paripurna DPR 8 Juli 2014
[5]Menindaklanjuti putusan MK, pimpinan DPD menyurati pimpinan DPR tertanggal 1 April 2013 dan 8 Mei 2013. Surat 8 Mei 2013 menyinggung beberapa substansi putusan MK.
[6]RUUK DIY merupakan usul inisiatif Presiden