Salah satu isu ketatanegaraan yang terus mengemuka adalah rencana amendemen kelima terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945. Idenya adalah melakukan amendemen terbatas untuk menghidupkan lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) agar pembangunan di Indonesia menjadi terarah.
Isunya tak pernah pudar, bahkan gagasan amendemen konstitusi tersebut terus menggelinding menjadi isu liar yang menyasar banyak persoalan. Selain gagasan menghidupkan kembali GBHN, sejumlah pihak mulai melontarkan gagasan mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode dan mengembalikan sistem pemilihan presiden ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dari segi teori konstitusi, amendemen konstitusi memang bukanlah hal yang tabu. Saldi Isra, Profesor Hukum dari Universitas Andalas dan Hakim Konstitusi, dalam tulisannya berjudul ”Legitimasi Perubahan Konstitusi” (Kompas, 2020) menyatakan, mengubah konstitusi (dalam bentuk tertulis) merupakan sebuah keniscayaan, di mana setiap konstitusi itu menyediakan pengaturan bagaimana proses perubahan terhadap konstitusi itu sendiri.
Adanya mekanisme perubahan tersebut tidak lepas dari fakta bahwa tidak ada konstitusi yang sempurna. Dalam banyak perandaian, konstitusi bukanlah kitab suci yang karena itu tidak boleh diubah.
Dalam konteks Indonesia, mekanisme perubahan konstitusi itu terdapat pada Pasal 37 UUD 1945. Dari ketentuan perubahan yang ada pada pasal tersebut, hanya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dapat diubah.
Selebih dan seterusnya, selalu terbuka peluang untuk dilakukan perubahan, terlebih apabila melihat fakta yang sejak awal hasil empat kali perubahan UUD 1945 memang menyisakan sejumlah masalah.
Sejumlah masalah tersebut sejak awal sudah disadari oleh MPR. Hal itu dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya Tap MPR Nomor I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang salah satu isinya menugaskan Komisi Konstitusi untuk mengkaji hasil perubahan UUD 1945.
Dalam konteks ini, tidak mungkin MPR akan mengeluarkan Tap MPR ini apabila konstitusi yang baru saja selesai diubah sebanyak empat kali telah sempurna. Oleh sebab itu, perubahan terhadap UUD 1945 sebagaimana yang digagas banyak pihak bukanlah sebuah kemustahilan.
Waktu yang salah
Perubahan UUD 1945 kemungkinan selalu terbuka, tetapi menggagas perubahan tersebut dilakukan dalam waktu dekat tidaklah tepat. Mulai dari masalah usulan perubahan yang dianggap tidak relevan dengan semangat reformasi, sehingga mendapat berbagai macam penolakan, sampai masalah pandemi Covid-19 yang nyata menyebabkan kinerja legislatif dalam membentuk UU menurun.
Dari segi usulan substansi perubahan, terdapat kekhawatiran apabila GBHN kembali dihidupkan, MPR akan menjadi lembaga tertinggi negara lagi. Partai politik memiliki kontrol yang kuat untuk mengendalikan presiden, baik dalam pelaksanaan pemerintah, pemilihan presiden, maupun pemberhentian presiden.
Di balik kekhawatiran sejumlah pihak terhadap wacana amendemen konstitusi tersebut, sejatinya terdapat persoalan nafsu politik terlalu dipaksakan.
Amendemen konstitusi (UUD 1945) memang bukan suatu hal yang terlarang. Hanya saja, gagasan mengubah kembali konstitusi disuarakan pada waktu yang salah, yakni disuarakan pada saat kinerja legislatif jauh dari harapan dan di tengah situasi pandemi Covid-19 yang menyebabkan terjadinya masalah serius terhadap masyarakat.
Dari segi kinerja legislatif, hingga 10 Juli 2021, DPR bersama pemerintah belum mengesahkan satu RUU pun yang berasal dari dalam program legislasi nasional (prolegnas) menjadi UU.
Merujuk pada catatan legislasi di situs web DPR pada 19 Agustus 2021, baru tiga RUU yang masuk tahap pembahasan. Ketiga RUU itu adalah RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (RUU Jalan), RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (RUU Penanggulangan Bencana), dan RUU tentang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP).
Dari ketiga RUU tersebut, hanya RUU Jalan yang pembahasannya dimulai tahun ini. Itu pun tahap harmonisasi dari RUU tersebut dilakukan saat sebagian materi muatannya juga direvisi melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan tahun lalu. Sementara untuk RUU Penanggulangan Bencana dan RUU PDP, keduanya masuk melalui mekanisme carry over yang proses pembahasannya telah dimulai sejak tahun lalu.
Selain mengesahkan tiga RUU menjadi UU, hingga 10 Juli 2020 DPR juga telah memulai pembahasan terhadap 4 RUU, yakni RUU Cipta Kerja; RUU Perlindungan Data Pribadi; RUU Bea Meterai; dan RUU Penanggulangan Bencana. Dari keempat RUU tersebut, dua RUU disahkan menjadi UU, yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.
Menggagas amendemen konstitusi di tengah penurunan capaian kinerja legislatif akibat pandemi Covid-19 bukanlah hal yang seharusnya dapat dibenarkan.
Menurunnya capaian kinerja legislatif ini tentu tidak lepas dari faktor pandemi Covid-19 yang tidak kunjung usai. Namun, menggagas amendemen konstitusi di tengah penurunan capaian kinerja legislatif akibat pandemi Covid-19 bukanlah hal yang seharusnya dapat dibenarkan. Memang, UUD 1945 sebagai konstitusi kita masih belum sempurna, tetapi belum saatnya untuk diamendemen.
Sebaiknya, semua pihak memendam dulu keinginan untuk mengamendemen konstitusi. Semua pihak seharusnya memfokuskan energi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendesak terlebih dahulu.
Saat ini, pandemi Covid 19 telah secara nyata menimbulkan masalah yang serius terhadap masyarakat. Tidak hanya dari segi kesehatan, tetapi juga banyak sektor lainnya, seperti ekonomi dan pendidikan.
Dalam konteks ini, DPR bersama pemerintah hendaknya menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas. Saat ini penanganan masalah pandemi adalah yang seharusnya diutamakan.
Penulis: Antoni Putra