Di tengah bencana banjir yang melanda sejumlah daerah di Kalimantan, kuasa hukum Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor mengeluarkan somasi atas unggahan foto ataupun video yang berhubungan dengan banjir tersebut. Dia mengancam akan melaporkan setiap perbuatan yang menyudutkan kliennya ke polisi menggunakan pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Somasi itu mendapat respons dari banyak kalangan, seperti Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Martapura-Banjarbaru dan Koalisi Masyarakat Sipil. Peradi menyatakan kesiapannya untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (probono) apabila nanti ada anggota masyarakat yang dipolisikan oleh Sahbirin. Bahkan mereka akan memberikan bantuan hukum di semua tingkatan, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun di pengadilan.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil mengecam somasi tersebut serta meminta Gubernur Sahbirin mencabut somasinya dan memprioritaskan penanganan terhadap kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas manusia di provinsinya. Sebab, foto dan video yang dipermasalahkan itu mengandung kritik terhadap Gubernur atas kerusakan lingkungan hidup di sana.
Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, 50 persen dari luas Kalimantan Selatan atau sekitar 3,7 juta hektare sudah dibebani izin tambang, dengan 33 persen oleh izin perkebunan sawit serta 17 persen untuk hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak tanaman industri (HTI). Walhi juga mencatat ada 814 lubang tambang milik 157 perusahaan tambang batu bara, yang sebagian masih aktif dan sebagian lagi telah ditinggalkan tanpa reklamasi, di provinsi itu.
Dari sudut pandang normatif, somasi Sahbirin yang berisi ancaman kriminalisasi itu adalah langkah yang keliru serta bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi. Sebagai pejabat publik, Sahbirin tidak memiliki dasar kewenangan yang kuat untuk dapat mengkriminalkan warga negara. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa kritik ataupun hinaan terhadap pejabat negara tidak dapat dipidana karena rawan disalahgunakan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa kriminalisasi berdasarkan jabatan publik berbahaya karena penggunaan pidana oleh pejabat publik atas kritik rentan pada tafsir yang keliru apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan yang berpotensi akan menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi, yang dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Hal itu dijelaskan oleh Mahkamah ketika membatalkan atau menyatakan inkonstitusional pasal yang mengatur penghinaan terhadap presiden.
Ancaman Demokrasi
Ancaman kriminalisasi oleh pejabat negara atas kritik di media sosial tidak terlepas dari berlakunya UU ITE, yang gagal menjadi undang-undang yang seharusnya berorientasi untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi yang didasari prinsip negara hukum. Pembuat undang-undang, saat merumuskan pasal-pasal UU ITE, terperangkap dalam jebakan pasal-pasal karet yang berpotensi menyebabkan pelanggaran HAM dan mengancam demokrasi.
Kasus somasi Gubernur Kalimantan Selatan ini hanyalah satu dari banyak ancaman yang muncul setelah UU ITE berlaku. Berdasarkan catatan Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), selama 2008-2019, terdapat 271 laporan kasus UU ITE dan selama Januari sampai Oktober 2020 setidaknya terjadi 59 kasus pemidanaan terhadap warganet. Dari jumlah pemidanaan pada 2020 tersebut, 14 orang dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Selain dari Pasal 28 ayat 2, ancaman kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat datang dari Pasal 27 ayat 1 dan 3 serta Pasal 29 UU ITE. Pasal-pasal itu memuat perkara soal larangan mendistribusikan informasi yang melanggar kesusilaan; penghinaan atau pencemaran nama; kebencian dan terkait dengan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA); dan ancaman kekerasan.
Bagi pejabat negara, UU ITE bahkan menjadi semacam imunitas atau tameng untuk menghindari kritik. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang dipidana atau diproses dengan hukum pidana yang menggunakan pasal-pasal karetnya. Sekarang pasal-pasal karet itu juga dipakai oleh Gubernur Kalimantan Selatan untuk membungkam kritik atas kerusakan hutan yang ditengarai menjadi salah satu penyebab banjir di Kalimantan Selatan saat ini.
Adanya pasal-pasal karet ini juga membuat orang-orang takut menyatakan pendapat serta melayangkan kritik terhadap negara dan pejabatnya karena pidana yang selalu mengancam. Tentu hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, yang menempatkan kebebasan berekspresi sebagai syarat mutlak yang harus ada.
Kebebasan berekspresi merupakan bagian dari hak-hak sipil dan politik yang memiliki esensi sebagai sarana untuk ikut serta dalam menentukan arah kebijakan serta menjadi teropong untuk mengontrol dan mengawasi peran, fungsi, dan kewenangan pemerintah agar selalu berjalan dalam koridor demokrasi. Karena itu, kebebasan berekspresi seharusnya tidak dimusuhi. Dalam hal ini, seorang gubernur seharusnya lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat daripada mengurusi urusan nama baik. Sebab, nama baik seorang gubernur tidak akan ada artinya bila masyarakat menderita selama ia memimpin.
Penulis: Antoni Putra