Dalam beberapa hari belakangan ini pemberitaan di media membuat kita paham bahwa ada mahasiswa yang bisa dibeli dengan kekuasaan dan ada kekerasan aparat dalam menghadapi massa aksi. Mahasiswa, sebagaimana aparat, bukan sosok suci dan memiliki banyak dimensi dalam dinamika mereka sebagai kelompok. Publik, dibantu oleh media, menjadi semakin kritis dalam menyikapi tuduhan anarkis pada mahasiswa dan stigma kekerasan yang acap melekat pada pendekatan polisi ke massa aksi.
Tapi mengapa sulit betul untuk kritis terhadap kerja-kerja buzzer? Kita semua tahu nama-nama mereka. Mungkin dalam keriaan Pemilihan Presiden lalu, dengan senang hati kita meneruskan tulisan para buzzer ini karena mereka satu garis dengan pilihan presiden kita.
Namun Pilpres telah lama lewat, kontestasi sudah usai, bahkan pihak yang berseteru sudah berjabat erat dan makan di Sate Khas Senayan. Buzzer kehilangan relevansinya. Tapi karena menjadi buzzer alias pendengung merupakan profesi utama mereka, begitu Pilpres usai, nyaris semua isu tanpa verifikasi disikat jadi konten.
Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sebelah matanya nyaris buta, dituduh sebagai penyebar radikalisme dan diangkat-angkat hubungan darahnya dengan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. KPK secara institusi pun dituduh sebagai Taliban dan disebut dengan istilah “kadal gurun”.
Definisi Taliban untuk institusi penegak hukum seperti KPK adalah tuduhan dengan tujuan menggelorakan semangat perlawanan mereka yang merasa orang berjanggut panjang, dengan dahi bernoktah gelap, dan berhijab panjang (atau bercadar) bertentangan dengan semangat kebinekaan. Tentu saja kita masih bisa berdebat soal kebinekaan ini, tapi buzzer memanfaatkan ketakutan kita semua akan radikalisme agama.
Sulit untuk tidak merujuk pada propaganda Nazi Jerman apabila menilik materi para buzzer ini. Nazi melakukan fabrikasi citra bahwa Yahudi adalah penyebab kekalahan Jerman di Perang Dunia I dan betapa publik Jerman kelak akan dikuasai Yahudi apabila mereka tidak awas dan mengenyahkan Yahudi di Jerman.
Analoginya dengan situasi nasional kita sekarang adalah ada fabrikasi bahwa KPK telah dikuasai kelompok Islam radikal sehingga menciptakan ketakutan pemilih Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang sekuler. Kemudian ketakutan berikutnya yang diciptakan adalah semua penolakan publik terhadap berbagai rancangan undang-undang (RUU), dari mulai revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), revisi UU KPK, hingga RUU Pertanahan akan ditunggangi lawan politik dan berujung pada dibatalkannya Jokowi sebagai Presiden.
Ada beberapa aras narasi dalam memetakan konten para buzzer ini dalam konteks KPK dan presiden, mengingat dua hal tersebut amat saling berkaitan dalam dinamika isu beberapa minggu belakangan ini.
Pertama, KPK telah berada di luar jalur sehingga butuh pembenahan melalui revisi UU sehingga komposisi pimpinan KPK harus “diatur” sedemikian rupa. Kedua, Presiden Joko Widodo terancam tidak dilantik sebagai presiden. Dua poin ini digoreng-goreng dengan varian sedemikian rupa sehingga pemilih Jokowi di Pilpres kemarin merasa terancam dengan konservatisme Islam dan khawatir pilihannya gagal dilantik tanggal 20 Oktober nanti.
Tentu banyak narasi lain mengingat buzzer bergerak berdasarkan pesanan isu tapi dua narasi itu yang menurut hemat saya memiliki pengaruh signifikan dalam pengelolaan negara ke depan. Ketiadaan arah politik hukum pemerintah (baca: Presiden) yang jelas dan tegas menyebabkan banyak pihak di pemerintahan mengambil langkah masing-masing menurut agendanya sendiri. Hal ini menjadi mungkin karena Presiden yang cenderung fokus pada pembangunan ekonomi sehingga perhatiannya tidak terbagi secara memadai pada agenda hukum dan pemberantasan korupsi.
Namun dinamika di publik yang kencang akhir-akhir ini membuat buzzer tergagap mengikuti. Tak jarang pula mereka terjeblos di narasi yang mereka ciptakan sendiri. Ada kasus ambulans berisi batu yang ternyata sebetulnya fiktif, atau tangkapan layar grup Whatsapp siswa STM yang rupanya isinya ditengarai sebagai nomor ponsel polisi. Kasus terakhir ini sendiri sudah masuk ke ranah hukum dan beberapa orang sudah ditahan oleh polisi. Individu dengan profil skala nasional seperti jurnalis televisi Najwa Shihab sendiri pun sampai diserang oleh buzzer di Twitter, yang menampilkan fotonya dengan putra bungsu Presiden Soeharto, sehingga sampai perlu mengeluarkan pernyataan khusus merespons cuitan tersebut.
Bukan rahasia bahwa banyak buzzer adalah individu yang dahulu berprofesi sebaga jurnalis, seperti yang disebut dalam editorial Tempo minggu ini. Hal ini membuat mereka kompeten dalam mengolah teks yang bisa menggugah pembacanya untuk bergerak ke arah yang dikehendaki si pemberi order.
Permasalahan utama dengan buzzer adalah pengabaian fakta bahwa mereka adalah pembuat pesan berbayar, sebagaimana iklan. Bila melihat iklan deodoran, kita paham bahwa pemesan iklan tersebut adalah sebuah perusahaan. Perusahaan tersebut kemudian memberi order pada biro jasa untuk membuat kampanye agar lebih banyak orang membeli deodoran mereka.
Dengan buzzer, kurang jelas siapa sebetulnya yang pemberi order tersebut, berbeda dengan kasus iklan deodoran. Belum lagi produk yang “dijual” buzzer sering merupakan fabrikasi dan pengulang-ulangan berita kabur, yang karena saking seringnya diulang, lama-lama dianggap sebagai kebenaran oleh publik.
Kalau begitu, bagaimanakah menjaga ruang publik kita dari fabrikasi tenunan buzzer? Kehadiran buzzer di ruang publik seperti di laman atau lini masa media sosial tidak bisa tolak. Apa saja yang harus kita lakukan untuk menjaga agar ruang publik kita tetap sehat meski unggahan buzzer bersliweran? Pertama, perlakukan unggahan mereka seperti reklame atau iklan. Anda adalah calon konsumen. Keputusannya di tangan Anda untuk tidak otomatis percaya dan meneruskan iklan tersebut kepada orang lain.
Kedua, berbeda dengan jurnalis yang tergabung dalam perusahaan pers, tidak ada mekanisme redaksi yang bertugas mengecek fakta dan memastikan materi yang Anda baca sudah melalui proses konfirmasi dan verifikasi. Artinya tidak ada proses pertanggungjawaban lebih lanjut mengenai akurasi unggahan buzzer.
Tulisan ini tentu tidak bermaksud untuk mengurangi penghasilan seseorang yang berprofesi sebagai buzzer. Tapi melihat potensi dampak yang dihasilkan oleh mereka, publik perlu untuk secara berkala diingatkan mengenai apa yang sebetulnya dilakukan buzzer. Ruang publik, baik di dunia nyata maupun maya, harus kita jaga bersama kesehatannya. Informasi dan unggahan buzzer takkan mampu kita tahan semua, sehingga kita perlu menyiapkan saringan untuk memilah mana susu versus nanah.
Apabila kita mampu untuk kritis pada kandungan kalori dan gula dari makanan yang kita makan, apa salahnya melakukan hal yang sama ketika berhadapan dengan terusan dan twit buzzer?
Artikel ini telah tayang di magdalene.co dengan judul ‘Buzzer’ dan Merawat Ruang Publik Kita
https://theconversation.com/revisi-uu-kpk-menyalahi-prosedur-hukum-dan-bisa-digugat-ke-mk
Penulis: Gita Putri Damayana
Foto: Magdalene.co