Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencatat ada tiga hal yang perlu disoroti dalam 100 hari pemerintahan Prabowo dan Gibran, khususnya dalam bidang legislasi dan kebebasan sipil (civic space). Tak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran masih mewarisi sejumlah catatan legislasi dan kebebasan sipil dari pemerintahan era Joko Widodo. Pada waktu yang sama, tindakan perbaikan dan pembaruan di bidang legislasi dan kebebasan sipil perlu dilakukan.
Pertama, warisan legislasi bermasalah yang menghambat ruang kebebasan sipil. Catatan terhadap sepak terjang legislasi era pemerintahan Joko Widodo menyumbang sejumlah permasalahan dalam aspek formil maupun materiil yang bersinggungan langsung dengan ruang kebebasan sipil, yang meliputi implementasi pemenuhan hak atas informasi dan partisipasi bermakna dalam proses legislasi.
Di samping itu, secara substansial, sejumlah undang-undang hadir dan turut andil dalam menghambat kebebasan ruang sipil. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 (UU ITE), UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Lama), UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), dan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 dan ditetapkan menjadi Undang-Undang dalam UU No. 16 Tahun 2017 (UU Ormas) menjadi empat produk legislasi yang paling berpotensi menghambat kebebasan ruang sipil di Indonesia (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2024).
Keempat undang-undang ini berpotensi menjadi ancaman dan hambatan dalam pengejawantahan hak-hak sipil dan politik. Baik yang dilakukan oleh jurnalis, sivitas akademika, kelompok penganut agama dan penghayat kepercayaan, pembela HAM, dan pihak-pihak yang melakukan kerja-kerja organisasi non-pemerintahan di bidang HAM dan pemerintahan.
Sampai dengan hari ini, tak terlihat upaya serius yang dilakukan dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membenahi masalah itu. Sebaliknya, penggunaan metode omnibus dalam RUU Omnibus Politik dan RUU Omnibus Kebudayaan kian mencuat, di tengah masih ada sejumlah permasalahan dalam penerapan metode omnibus, seperti masalah partisipasi bermakna dan penyelundupan pasal bermasalah. Selain itu, terlihat pembahasan RUU yang secara intens pada 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung memiliki kaitan erat dengan kepentingan elit. Hal ini dapat dilihat dari intensitas pembahasan dan proses yang cepat dalam proses pembahasan UU BUMN yang disahkan 7 Februari 2025 kemarin. Selain itu, pembahasan RUU Mineral dan Batubara yang secara intensif membahas mengenai percepatan hilirisasi mineral dan batubara, aturan izin usaha pertambangan (IUP) untuk Ormas Keagamaan, dan Pemberian IUP kepada Perguruan Tinggi.
Penambahan jumlah kementerian dan perombakan di Kementerian Hukum tanpa diimbangi mekanisme pembentukan regulasi yang sistematis, serta kewenangan pemberian rekomendasi Presiden terhadap Peraturan Menteri, kian menambah kekhawatiran terhadap masalah tata kelola regulasi di Indonesia. Situasi itu berpotensi meningkatkan kebutuhan regulasi, khususnya di level Peraturan Menteri. Jumlah pembentukan peraturan menteri dapat kembali tidak terkendali karena fungsi kontrol yang sebelumnya dijalankan oleh Sekretariat Kabinet dalam bentuk meneruskan permohonan kementerian lembaga pemrakarsa, berdasarkan Perpres 68/2021, tidak lagi ada seiring dengan telah meleburnya Seskab ke dalam Setneg.
Selain itu, pemisahan Kementerian Hukum dan HAM menjadi tiga kementerian, menjadikan Kementerian Hukum memerlukan waktu untuk menata ulang kelembagaan internalnya. Hal itu berdampak kepada pembahasan peraturan perundang-undangan akan terhambat, seperti halnya pelaksanaan harmonisasi sejumlah regulasi di 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran.
Dikutip dari Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 3 Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2024 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025, menyebutkan secara jelas memperkokoh demokrasi dan hak asasi manusia merupakan salah satu prioritas RKP yang tertuang dalam Bab III Prioritas Nasional. Sebaliknya, tidak terlihat komitmen nyata dari tindakan kebijakan maupun proses legislasi yang mengarah pada tindakan memperkokoh demokrasi dan hak asasi manusia, setidaknya dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Sejumlah catatan di atas menunjukkan rendahnya komitmen serius untuk membenahi sejumlah masalah legislasi dan ruang kebebasan sipil dalam seratus hari pemerintahan Prabowo-Gibran. Langkah pembenahan dan pembaruan di bidang legislasi dan ruang kebebasan sipil harus menjadi perhatian Prabowo-Gibran beserta jajaran demi merawat demokrasi di Indonesia.
Penulis: Alviani Sabillah
Tanggal: 8 Februari 2025