Divestasi saham PT Freeport Indonesia memasuki babak baru dengan ditandatanganinya head of agreements antara Indonesia dan Freeport McMoran.
Walaupun penandatanganan ini bukan merupakan langkah definitif dalam divestasi Freeport Indonesia, hal itu tetap memiliki nilai simbolik untuk mengatur detail teknis divestasi selanjutnya.
Pada wilayah detail selanjutnyalah kehati-hatian dan transparansi harus diterapkan secara total agar divestasi ini ditujukan untuk sebesar-besaranya kemakmuran rakyat.
Salah satu kritik dari keseluruhan proses yang telah dilakukan adalah tingkat kejelasan dan koherensi informasi dari negosiasi yang sudah dilakukan. Harus diakui pemerintah secara berkala memberikan informasi terkait proses negosiasi, tetapi informasi yang diberikan sering kali ambigu dan tidak sinkron.
Publik yang menyimak proses ini secara dekat, setidaknya saya, sering kali kehilangan orientasi, terutama terkait arah divestasi yang akan dilakukan. Pada satu kesempatan arah divestasi mengindikasikan akan membeli hak partisipasi (participation interest) Rio Tinto, tetapi pada kesempatan lain terlihat seolah-olah akan melakukan akuisisi langsung saham Freeport Indonesia.
Keterangan pers yang diberikan pemerintah terkait penandatanganan head of agreements (HoA) setidaknya memberi terang arah divestasi yang akan dilakukan, yakni melakukan pembelian hak partisipasi Rio Tinto dan melakukan akuisisi saham Freeport Indonesia melalui pembelian Indocooper Investama dari Freeport McMoran.
Terdapat beberapa catatan penting dari arah ini. Pertama, pembelian hak partisipasi Rio Tinto tidak dapat secara otomatis diterjemahkan sebagai kepemilikan saham terhadap Freeport Indonesia. Hal ini menjadi problematik dikarenakan Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) mengamanatkan divestasi saham dilakukan oleh perusahaan tambang penerima konsesi, dalam hal ini Freeport Indonesia.
Kedua, proses divestasi besar seperti pada kasus Freeport Indonesia selalu melibatkan transaksi bisnis yang rumit dengan melibatkan banyak pihak. Berdasarkan pengalaman divestasi Freeport Indonesia sebelumnya, penting untuk mendorong keterbukaan secara penuh untuk meningkatkan pengawasan publik untuk memastikan penerima manfaat terbesar adalah rakyat Indonesia.
Hak partisipasi Rio Tinto
Arah dengan cara membeli hak partisipasi Rio Tinto dalam divestasi Freeport Indonesia mungkin merupakan langkah optimal yang dapat dilakukan, dibandingkan opsi untuk membeli saham Freeport Indonesia dari Freeport Amerika (Freeport McMoran) secara langsung.
Saya menangkap salah satu rasional dari kebijakan ini, bahwa akuisisi langsung saham Freeport Indonesia tidak membuat Pemerintah Indonesia lantas menguasai porsi terbesar dari produksi tambang. Hal ini disebabkan Freeport Indonesia hanya menguasai 60 persen hasil produksi, sedangkan 40 persen lainnya adalah hak Rio Tinto.
Penguasaan 60 persen hasil produksi ini masih harus dibagi lagi dengan Freeport McMoran sebagai pemegang saham lainnya di Freeport Indonesia sehingga hasil ekonomi yang didapat berpotensi menjadi tidak optimal.
Meski demikian, rute divestasi dengan membeli hak partisipasi Rio Tinto menjadi problematik. Hak partisipasi Rio Tinto merupakan joint venture (JV) yang distrukturkan secara kontraktual. Pada model ini para pihak tidak mendirikan badan hukum untuk melaksanakan kegiatan usahanya, tetapi menstrukturkan berdasarkan kontribusi terhadap biaya yang dikeluarkan untuk kemudian membagi hasil dari hasil produksi.
Secara sederhana, Freeport McMoran mengijonkan 40 persen hasil produksi kepada Rio Tinto untuk menopang pembiayaan. Oleh karena itu, 40 persen yang dimaksud bukan merupakan kepemilikan saham terhadap Freeport Indonesia, melainkan kepemilikan atas 40 persen dari total hasil tambang yang diproduksi.
Persoalan akan muncul jika membaca UU Minerba secara literal.
Hal ini disebabkan divestasi yang dimaksud adalah divestasi terhadap Freeport Indonesia sebagai pemegang konsesi. Karena membeli 40 persen hak partisipasi Rio Tinto, bukan berarti membeli 40 persen saham Freeport Indonesia.
Dalam situasi ini, menjadi penting untuk melenturkan pembacaan terhadap kewajiban divestasi di UU Minerba dengan mengontekskannya ke dalam filosofi yang lebih luas terkait dengan divestasi sebagai implementasi Pasal 33 UUD 1945. Hakikat dasar dari dikuasai negara tidak terbatas pada penguasaan kontrol pada perusahaan yang diberikan konsesi semata, tetapi lebih dari itu konteks kontrol lebih menitikberatkan pada kontrol terhadap hasil tambang.
Saya berpendapat, penguasaan hak partisipasi juga merupakan bentuk kontrol langsung dari pengertian dikuasai negara, di samping juga model penguasaan saham dari perusahaan pemegang konsesinya.
Selain itu, struktur JV pada umumnya selalu memuat klausul bagi pihak pemegang hak partisipasi untuk turut serta dalam pengambilan keputusan strategis sehingga secara tidak langsung pemegang hak partisipasi juga memiliki kontrol terhadap perusahaan pemegang konsesi.
Tampaknya juga pemerintah hanya menggunakan ini sebagai strategi antara, di mana pemerintah akan mengubah JV kontraktual ini menjadi JV entitas, di mana hak partisipasi yang dibeli akan dikonversikan menjadi saham di dalam Freeport Indonesia.
Keterbukaan total
Catatan kedua yang terpenting adalah mendorong transparansi secara maksimal. Perlu dicatat bahwa divestasi saham Freeport Indonesia bukan baru pertama kali ini dilakukan. Sebelumnya Freeport Indonesia telah melakukan divestasi pada akhir tahun 1991, sebesar 10 persen, kepada entitas Indonesia. Proses divestasi itu diwarnai pencarian rente, yang dilakukan ”pebisnis Indonesia penting dengan koneksi Jakarta”. (Danise Leith, 2002)
Ironisnya, tujuan divestasi menjadi gagal karena ujung akhir dari akrobat pencarian rente ini adalah kembalinya saham yang sudah didivestasikan kepada Freeport McMoran melalui kepemilikan saham di Indocopper Investama. Tentu saja proses yang lalu harus menjadi pelajaran penting bagi divestasi kali ini.
Saya dapat membayangkan pemerintah/Inalum akan mencari pembiayaan yang cukup signifikan untuk menutupi biaya pembelian saham Indocopper dan hak partisipasi Rio Tinto yang mencapai 3,85 miliar dollar AS. Hal ini tentu melibatkan skema yang rumit di antara banyak pihak.
Sumber: Surat Kabar Harian Kompas
Terbit pada: 18 Juli 2018