DEWAN Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk pada 1 Oktober 2004 dengan harapan dapat menjadi wadah penyalur kepentingan daerah dalam proses pengambilan keputusan politik penyelenggaraan negara. Sayangnya, kenyataan yang terjadi jauh dari harapan itu, DPD bahkan nyaris menjadi lembaga negara yang tak berguna.
Secara normatif, DPD memiliki kedudukan yang kuat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena dibentuk berdasarkan amanat konstitusi. Hanya saja, hal itu tidak mampu menjadi jaminan bagi lembaga yang menjadi representasi politik daerah di parlemen tersebut menjadi sesuatu yang kaya manfaat.
Saat ini, kewenangan yang dimiliki DPD sangat terbatas, yang membuat DPD seolah hanya menjadi lembaga negara pelengkap.
Wewenang terbatas, capaian minim
Dari segi capaian program legislasi nasional (prolegnas), rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi usulan DPD pun kerap kali terabaikan tanpa pembahasan. Bahkan, bila ditarik pada prolegnas jangka menengah, yakni Prolegnas 2015-2019 dan 2020-2024, RUU yang menjadi usulan DPD tetap belum satu pun yang disahkan menjadi undang-undang.
Bila dirinci dalam prolegnas prioritas tahunan, RUU usulan DPD prosesnya paling jauh hanya sampai tahap pembahasan, tanpa sekalipun pernah disahkan menjadi undang-undang. Dalam lima tahun terakhir, yakni pada 2017-2022, misalnya, DPD hanya mengusulkan lima RUU. Namun tidak satu pun yang berhasil disahkan menjadi undang-undang.
Kelima RUU tersebut adalah RUU tentang Daerah Kepulauan, RUU tentang Bahasa Daerah, RUU tentang Badan Usaha Milik Desa, RUU tentang Ekonomi Kreatif, dan RUU tentang Wawasan Nusantara.
Dalam hal ini, DPD dalam proses legislasi menjadi lembaga yang minim kontribusi. Minimnya kontribusi DPD dalam ranah legislatif ini tentu tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa DPD memang memiliki kewenangan yang terbatas.
DPD diberi kewenangan ikut dalam pembahasan berupa menyampaikan pandangan/pendapat dan mengajukan daftar inventarisasi masalah (DIM) secara tertulis tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan.
Kewenangan yang terbatas dari DPD ini tidak lepas dari kontruksi hukum yang mengaturnya. Secara konstitusional, kewenangan legislasi DPD diatur pada Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
DPD dapat mengajukan dan ikut membahas bersama DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Sayangnya, kewenangan legislasi DPD itu sangat terbatas karena untuk menjalankannya harus bergatung pada DPR.
Hal itu terjadi karena konstruksi undang-undang yang mengatur tentang MPR, DPR dan DPD, dan DPRD (UU MD3) justru hanya menempatkan DPD sebagai lembaga yang tidak merdeka. UU MD3 memberikan kewenangan pada DPD untuk mengusulkan rancangan undang-undang, dapat memberikan pertimbangan atau membahas suatu rancangan undang-undang, dan mengawasi pelaksanaan undang-undang.
Namun, hasil dari semua upaya DPD dalam ranah legislasi tersebut seluruhnya tergantung pada DPR.
Upaya penguatan
Dalam menanggapi kewenangan yang terbatas tersebut, DPD bukan tanpa upaya. Pada 14 September 2012, DPD mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan tersebut kemudian diputus pada 27 Maret 2013 melalui Putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012. Dalam putusan itu, MK menguatkan kewenangan DPD setidaknya dalam empat hal:
- DPD terlibat dalam penyusunan program legislasi nasional (Prolegnas);
- DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945;
- DPD membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22 ayat (2) UUD 1945;
- Pembahasan RUU dalam konteks Pasal 22 D ayat (2) bersifat tiga pihak (tripartit) yaitu antara DPR, DPD dan Presiden.
Putusan MK itu menjadi cerminan konsepsi teoritis pembentukan DPD yang dimaksudkan di awal pembentukannya, yakni menjadikan parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral), yang terdiri atas DPR dan DPD.
Harapannya, proses legislasi dapat terlaksana berdasarkan sistem double-check yang merepresentasikan seluruh kepentingan rakyat Indonesia. Di mana DPR menjadi representasi politik (political representation) dan DPD menjadi representasi teritorial (regional representation).
Sayangnya, putusan MK ini tidak diakomodir dalam UU MD3 yang baru. Melalui UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, kewenangan legislasi DPD kembali direduksi.
Ketentuan yang sudah dinyatakan inskonstitusional oleh MK dalam putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 justru dihidupkan kembali yang menyebabkan DPD dalam ranah legislasi kembali nyaris tak berguna.
Menanggapi hal itu, DPD kembali mengajukan permohonan judicial review ke MK sesaat setalah UU tersebut disahkan. Melalui putusan perkara Nomor 79/PUU-XII/2014, MK kembali menegaskan kewenangan DPD, di mana putusannya sejalan dengan putusan sebelumnya.
Sayangnya, meski sudah ada putusan MK tersebut, kewenangan yang dimiliki DPD tetap bergantung pada kehendak DPR.
Akibatnya, tidak jarang DPD justru menunjukkan ketidakberdayaannya di ranah legislasi dengan cara-cara seperti yang dipakai oleh organisasi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi dari luar ranah legislatif, seperti melalui pernyataan sikap dan kampanye media.
Dalam tiga tahun terakhir, DPD setidaknya mengeluarkan dua pernyataan sikap terkait pembentukan undang-undang, yakni Siaran Pers Komite I DPD RI tentang pembahasan RUU Cipta Kerja yang dikeluarkan pada 29 April 2020 dan pernyataan sikap DPD RI terkait RUU Ibu Kota Negara Nusantara yang dikeluarkan pada 18 Januari 2022.
Hal itu membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran funsi DPD di ranah legislatif. Mulanya ditempatkan sebagai penyeimbang kekuatan politik partai politik dan diharapkan dapat menjadi wadah penyalur kepentingan daerah dalam proses pengambilan keputusan politik penyelenggaraan negara, kini justru menjelma menjadi lembaga negara yang “nyaris tak berguna”.
Editor : Egidius Patnistik
Penulis: Antoni Putra
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2022/08/29/11051171/dpd-lembaga-negara-yang-nyaris-tak-berguna