Bugivia Maharani & Nurul Fazrie
Rubrik ASEAN dan Hukum Internasional, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
ASEAN, sebagai organisasi regional Asia Tenggara, menghadapi tantangan besar dalam mengambil sikap bersama terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di Myanmar. Ada dualisme pendekatan diplomasi oleh ASEAN, di mana beberapa anggota mendukung aksi tegas dan kritik terhadap junta militer (Tatmadaw), sementara yang lain lebih condong ke arah pendekatan diplomatis dan non-intervensionis.
Kompleksitas diplomasi ASEAN semakin rumit dengan dugaan perdagangan senjata antara beberapa negara anggota dan Tatmadaw. Aktivitas ini diduga dilatarbelakangi oleh kepentingan politik dan ekonomi dalam mempertahankan hubungan bisnis dengan Tatmadaw, sekalipun di tengah krisis kemanusiaan yang bereskalasi. Di luar dampak langsungnya terhadap stabilitas regional, situasi ini menimbulkan pertanyaan etis dan moral tentang tanggung jawab bersama ASEAN dalam mengatasi krisis Myanmar.
Di satu sisi, ASEAN berkomitmen untuk mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi, HAM, dan perdamaian di kawasan. Di sisi lain, realitas perdagangan senjata antara negara-negara Asia Tenggara dan Tatmadaw menjadi hambatan besar dalam mencapai tujuan tersebut.
Misi Pencarian Fakta Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Myanmar (United Nation Human Rights Council Facts Finding Mission in Myanmar) secara resmi menetapkan serangan bersenjata yang dilakukan Tatmadaw terhadap etnis Rohingya sebagai pelanggaran berat terhadap HAM maupun hukum humaniter internasional. Militer yang menggulingkan pemerintahan demokratis itu ditetapkan sebagai pelaku utama atas rangkaian aksi kekerasan, penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, dan pelanggaran HAM berat lainnya, yang terus meningkat tiap tahunnya dan menambah daftar panjang kelompok etnis Rohingya sebagai korban.
Dugaan Keterlibatan Anggota ASEAN
Menurut laporan Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Tatmadaw telah mengimpor senjata senilai total 1 Miliar USD sejak kudeta militer 2021. Transaksi itu juga termasuk peralatan dan bahan baku yang digunakan untuk produksi senjata oleh Directorate of Defense Industries (DDI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Menteri Pertahanan Myanmar.
Singapura dan Thailand, yang merupakan anggota ASEAN, diidentifikasi sebagai basis kunci jaringan dan pemasok suku cadang, bahan baku, dan peralatan manufaktur lainnya untuk Tatmadaw. Setidaknya 138 perusahaan berbasis di Singapura dan 12 perusahaan di Thailand telah terlibat sejak kudeta terakhir.
Dugaan keterlibatan Indonesia mencuat sejak tiga BUMN Indonesia yang bergerak di industri pertahanan—PT Pindad, PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia—dilaporkan kepada Komnas HAM karena diduga melakukan perdagangan senjata dengan Tatmadaw. Transaksi semacam ini diyakini terjadi selama satu dekade terakhir, termasuk setelah pembantaian terhadap etnis Rohingya pada Februari 2021.
Tanggung Jawab Negara Berdasarkan Hukum Internasional
Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly/UNGA) telah mengadopsi Resolusi A/RES/75/287 yang mendesak negara-negara anggota untuk memberlakukan embargo senjata berdasarkan kerangka hukum domestiknya. Meski didukung oleh 119 dari 193 negara anggota, resolusi ini tidak memiliki sifat mengikat seperti resolusi Dewan Keamanan PBB, sehingga sulit untuk memastikan implementasinya dalam upaya penyelesaian krisis Myanmar.
Hukum Internasional, sebagaimana tercantum dalam Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field 1949 (Konvensi Jenewa 1949), mewajibkan setiap negara untuk menahan diri dalam melakukan transfer persenjataan jika diduga atau terdapat fakta bahwa persenjataan tersebut digunakan untuk melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional (HHI). Perjanjian Perdagangan Senjata atau Arms Trade Treaty (ATT)–perjanjian internasional yang mengatur perdagangan senjata–secara khusus melarang negara untuk melakukan transfer senjata apabila diketahui senjata tersebut digunakan untuk kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap konvensi Jenewa 1949, dan berbagai kejahatan internasional lainnya yang ditujukan kepada warga sipil.
Jika dikaitkan dengan tanggung jawab negara berdasarkan hukum kebiasaan internasional (customary international law), suatu negara dapat dianggap sebagai pembantu dalam kejahatan internasional jika negara tersebut menjual atau memasok persenjataan kepada negara yang melakukan kejahatan internasional. Hal itu termasuk apabila negara mengetahui telah terjadi atau terdapat indikasi bahwa senjata yang dijual tersebut digunakan untuk melakukan kejahatan internasional. Oleh karena itu, negara-negara yang melakukan perdagangan senjata berperan penting dalam memastikan agar senjata tersebut tidak digunakan untuk kejahatan internasional dan pelanggaran terhadap HHI.
Pada konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara tidak secara eksplisit melarang penjualan senjata kepada negara yang sedang terlibat dalam konflik. Terlebih lagi, dalam melakukan hubungan perdagangan persenjataan, Indonesia tidak memiliki kewenangan dalam menentukan batasan penggunaan senjata tersebut.
Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Singapura (MFA) merespon laporan PBB berkenaan dengan barang senilai 254 juta USD atau Rp3,8 triliun yang dikirim dari entitas berbasis di Singapura selama 2 tahun, di mana bank Singapura juga digunakan secara luas oleh pemasok senjata. MFA menegaskan bahwa Singapura telah berupaya mencegah aliran senjata ke Myanmar dengan menolak pengesahan pengiriman barang yang berpotensi mendukung kekuatan militer untuk menyerang warga sipil di Myanmar.
Dilema dan Tanggung Jawab ASEAN
ASEAN, sebagai organisasi regional memiliki tanggung jawab dalam memajukan perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan di kawasan. Komitmen itu sedikitnya tercantum dalam dua dokumen, yaitu Deklarasi Bangkok 1967 sebagai dasar pendirian ASEAN dan Piagam ASEAN, yang pada intinya menegaskan tekad ASEAN untuk mengupayakan kawasan yang aman dan damai.
Menanggapi situasi pelanggaran HAM berat di Myanmar, ASEAN menginisiasi pembentukan Konsensus Lima Poin (5PC). Setelah berlaku selama 2 tahun, nyatanya tidak ada perubahan dan dampak yang signifikan dari adanya konsensus tersebut. Setidaknya terdapat 2 aspek yang mengakibatkan sulitnya ASEAN untuk mengimplementasikan 5PC; selain aspek regulasi dengan mengedepankan prinsip non-intervensi, aspek politis yang didasari kepentingan masing-masing negara anggota juga menjadi faktor penghambat.
Diplomasi dualistik ASEAN dalam menangani krisis Myanmar dengan munculnya dugaan perdagangan senjata oleh negara-negara anggota kepada Tatmadaw, menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana ASEAN dapat bertindak untuk mencegah dukungan tidak langsung terhadap rezim yang terlibat dalam aksi genosida terhadap etnis Rohingya.
Berkaca pada upaya diplomasi yang telah dilakukan, ASEAN saat ini perlu menyeimbangkan antara prinsip non-intervensi dengan keharusan mengatasi dilema etis dan moral yang ditimbulkan dari krisis Myanmar. ASEAN perlu mengevaluasi kembali peran dan kewajibannya sebagai organisasi regional. Langkah-langkah konkret untuk mencegah perdagangan senjata dan mendesak pemulihan demokrasi di Myanmar menjadi penting. Koordinasi yang lebih erat dan konsisten antar negara-negara anggota dalam menangani isu pelanggaran HAM di Myanmar perlu diwujudkan untuk mencapai tujuan bersama menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan.
Rekomendasi
Berikut adalah beberapa rekomendasi untuk ASEAN dalam menangani krisis Myanmar:
- ASEAN perlu mengambil sikap tegas terhadap dugaan perdagangan senjata oleh negara-negara anggota. ASEAN harus mengecam aktivitas tersebut dan mendesak negara-negara anggota untuk mematuhi hukum internasional dan perjanjian perdagangan senjata.
- ASEAN perlu meningkatkan upaya diplomatik untuk mendorong pemulihan demokrasi di Myanmar. ASEAN dapat mendorong dialog dan rekonsiliasi antara para pemangku kepentingan di Myanmar, serta memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban pelanggaran HAM berat.
- ASEAN perlu meningkatkan kerja sama dengan organisasi internasional lainnya dalam menangani krisis Myanmar. ASEAN dapat bekerja sama dengan PBB, Uni Eropa, dan negara-negara mitra lainnya untuk memberikan tekanan kepada junta militer Myanmar agar menghentikan pelanggaran HAM dan memulihkan demokrasi.
Foto: AFP / Romeo Gacad