Diskusi tentang peran dan efektivitas komisi negara kembali mencuat, sebagai respons atas pemberitaan mengenai kenaikan honorarium Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).
Tentu, diskusi soal ini menjadi menarik bukan sekadar tentang besaran jumlah honorarium yang bisa menjadi relatif buat sebagian orang. Soal relevansi, peran, dan efaktivitas dari berbagai komisi negara yang ada, lebih merupakan suatu hal yang pokok untuk didiskusikan. Utamanya, karna kehadiran deretan komisi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks reformasi di Indonesia.
Bisa dikatakan, salah satu tonggak penting berdirinya berbagai lembaga berupa state auxiliary agencies ini dimulai dari Komnas HAM tahun 1993, Cornelis Lay dari Universitas Gadjah Mada menyebutkan sebagai “lembaga-lembaga sampiran negara”. Sulit dipungkiri selain rujukan pengalaman negara lain, kelahiran Komnas HAM telah menjadi inspirasi bagi kelahiran berbagai komisi negara pasca reformasi 1998.
Mengutip Bryan Giling (1998), Cornelis Lay menjelaskan, sejarah kelahiran “lembaga-lembaga sampiran negara” dimulai dengan Ombudsman yang berfungsi melindungi hak masyarkat lemah. Beberapa diantaranya adalah“Tribunal Plebis” di era kekaisaran Romawi dan “Control Yuan” di era dinasti Tsin di negeri China (Cornelis Lay, Jurnal Jentera 2006).
Pasca reformasi 1998, ada banyak lembaga sampiran negara yang lahir untuk melakukan berbagai perubahan yang dicita-citakan. Ada yang disebut dalam konstitusi UUD 1945, seperti Komisi Yudisial (Pasal 24B) dan Komisi Pemilihan Umum (Pasal 22E). Ada pula yang langsung dibentuk oleh undang-undang ataupun peraturan dibawahnya, seperti KPPU, Komnas HAM, Komisi Informasi Publik, Komisi Hukum Nasional, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mengenai jumlah total lembaga sampiran negara yang ada, masih sulit diketahui secara pasti. Kompas mengidentifikasi ada 42 lembaga (2005), Denny Indrayana menyebut 54 lembaga (2006), sedangakan sekretariat Negara menyebutkan 93 lembaga. Salah satu penyebab perbedaan pengitungan ini adalah karena perbedaan definisi dan ketidakjelasan batasan tentang berbagai lembaga ini (Dian Rosita, LeIP 2012). Dari segi penggunaan nama saja sudah menimbulkan kesimpangsiuran. Ada yang menggunakan nama komisi, dewan, badan, komite, dan lainnya.
Sudah ada beberapa upaya dan tawaran solusi atas kondisi yang rancu ini . Pada 2010, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), mengajukan gagasan agar dalam amandemen konstitusi diletakkan suatu bab khusus mengenai komisi negara yang memuat lima komisi negara, yaitu KPU, KPK,KY, Komnas HAM dan Komisi Kebebasan Pers. Sekretariat Negara juga membentuk Tim Pengkajian Penataan Lembaga Non-Struktural untuk mengkaji keberadaan lembaga ini.
Jangan sampai ada upaya penataan, padahal sesungguhnya pelemahan terhadap komisi negara.
Ketidakpercayaan publik
Ada banyak analisis mendalam menganai sebab musabab munculnya berbagai lembaga sampiran negara ini. Salah satu yang cukup menonjol adalah faktor ketidakpercayaan ini bisa disebabkan lembaga negara yang ada tidak efektif. Contoh paling nyata, lahirnya KPK. Dalam konsiderans menimbang huruf b UU KPK jelas dinyatakan: “bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tidak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”.
Latar itu menjadi menarik ketika kini mulai timbul pertanyaan mengenai efektivitas kerja lembaga-lembaga sampiran negara yang dibentuk pasca reformasi 1998. Mengukur efektivitas berbagai lembaga tersebut, tentu bukan suatu hal yang mudah, mengingat variasi perbedaan lingkup tugas dan kewenangan antar lembaga tersebut di mana ada beberapa saling tumpang tindih.
KPK bisa dinilai efektif karena mereka telah menunjukkan beberapa capaian yang signifikan. Berbagai penganganan kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara di berbagai tingkatan merupakan suatu indikator baik dan efektifnya kerja KPK sampai saat ini.
Lain halnya dengan Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk pada masa pemerintahan Gus Dur. Komunikasi atau permintaan pendapat dari presiden kepada KHN berubah dari satu presiden ke presiden lain. Belum lagi kini terdapat potensi keberadaanya yang tumbang tindih dengan Dewan Pertimbangan Presiden.
Penataan jelas perlu dilakukan untuk membenahi tumpang tindih ini. Hal itu tentunya penting dilakukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi juga termasuk dalam hal penggunaan anggaran. Penataan menjadi suatu keniscayaan agar kita memiliki perencanaan yang baik. Penataan yang baik bisa menghentikan hasrat berlebihan dalam membentuk komisi negara baru. Dalam pembahasan berbagai RUU, misalnya, parlemen dan pemerintah kerap tergiring untuk mengusulkan pembentukan badan atau komisi baru tanpa pertimbangan aspek efektivitas maupun dampak anggarannya.
Namun yang juga perlu dicermati adalah kemampuan untuk memilah antara upaya penataan dan pelemahan kelembagaan, agar bisa memberikan respons yang tepat. Kita sadari bersama bagwa kehadiran lembaga sampiran ini ialah untuk melakukan perubahan perbaikan atas berbagai permasalahan lembaga negara yang terjadi di rezim sebelumnya. Memahami hal itu, sudah bisa dipastikan akan ada upaya perlawanan balik ataupun upaya pelemahan kelembagaan dari berbagai kelompok yang diuntungkan oleh kondisi lama. Jangan sampai ada upaya yang mengatasnamakan penataan, dengan tujuan untuk mempertahankan atau kembali ke kondisi lama yang bermasalah.
Upaya pelemahan ini bisa terjadi melalui berbagai bentuk dan cara. Terhadap KPK, misalnya, upaya pelemahan bisa dilakukan melalui kriminalisasi pimpinan dan penyidik KPK. Pelemahan juga bisa datang dari internal. Contoh, situasi kisruh soal fasilitas mobil yang terjadi di Komnas HAM, tidak hanya ironis dan memalukan, tapi juga bisa melemahkan lembaga tersebut . Untuk itulah, diperlukan peran dan kerjasama semua pihak untuk terus mengawal dan mengawasi berbagai komisi negara yang ada, agar keberadaanya bisa konsisten dan semakin efektif.