Setelah kurang lebih tiga bulan sejak diumumkan oleh Joko Widodo saat pelantikannya sebagai Presiden periode kedua, kebijakan omnibus law (UU sapu jagat) cipta lapangan kerja mulai kelihatan arah pengaturannya. Kementerian Koordinator Perekonomian pada Jumat, (17/1) lalu menjelaskan isi UU sapu jagat tersebut.
Ada 11 klaster pengaturan yang berdampak pada 79 undang-undang dan 1244 pasal. 11 klaster pengaturan tersebut meliputi penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi khusus.
Selain penjelasan tersebut, beredar juga naskah RUU Penciptaan Lapangan Kerja. Naskah RUU yang beredar itu berisi tujuh bab dengan 553 pasal. Pengaturannya meliputi penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, pengembangan dan perlindungan usaha mikro, kecil dan menengah, kawasan ekonomi, dukungan inovasi dan riset, pengadaan lahan, dan sanksi administratif.
Ruang lingkup pengaturan dalam naskah RUU yang beredar hampir sama dengan 11 klaster pengaturan yang disampaikan oleh Kemenko Perekonomian dalam rilisnya. Namun, anehnya Kemenko Perekonomian melalui siaran pers-nya segera mengklarifkasi bahwa naskah RUU yang beredar bukan dari pemerintah. Meskipun, dalam siaran pers tersebut Kemenko Perekonomian juga menjelaskan bahwa substansi RUU Cipta apangan Kerja telah selesai disusun.
Apabila memang substansi RUU telah selesai disusun maka seharusnya naskah akademiknya pun sudah selesai terlebih dahulu. Namun, naskah akademik yang merupakan dokumen riset yang menjelaskan latar balakang, urgensi dan solusi RUU juga tidak dapat diakses publik. Apakah dokumen tersebut memang belum disusun atau memang tertutup untuk publik?
Tak Ada Ruang Dialog
Keterbatasan informasi ini yang memunculkan beragam kecurigaan publik terhadap substansi RUU Cipta Lapangan Kerja. Bahkan, dalam beberapa hari terakhir penolakan UU sapu jagat cipta lapangan kerja ini semakin meningkat. Penolakannya sudah masuk ke dalam substansi pengaturan. Sejumlah serikat pekerja menyatakan menolak UU sapu jagat ini karena dianggap merugikan hak-hak pekerja yang sudah diatur dalam UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Beberapa organisasi masyarakat sipil juga menilai UU untuk menarik investasi ini berpotensi melanggar hak asasi manusia dan berdampak buruk pada lingkungan hidup.
Penolakan tersebut justru direspon oleh Presiden Joko Widodo dengan menginstruksikan Kapolri, Kepala BIN, Jaksa Agung dan kementerian/lembaga terkait melakukan pendekatan kepada organisasi yang melakukan penolakan UU sapu jagat cipta lapangan kerja ini. Penolakan yang seharusnya disikapi dengan dialog malah dihadapi oleh aparat penegak hukum dan intelijen.
UU sapu jagat cipta lapangan kerja ini salah satu “proyek” besar Presiden Joko Widodo untuk membuka lebar pintu investasi. Tidak hanya soal substansi yang akan berdampak pada puluhan undang-undang, dari sisi proses pembahasan Joko Widodo memasang target 100 hari sudah bisa selesai dibahas pemerintah dan DPR.
UU Sapu Jagat Dirancang Elit
Teknik penyusunan UU melalui pendekatan UU sapu jagat ini baru diterapkan dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Beberapa pihak menyamakan dengan kodifikasi atau penyatuan dalam satu naskah. Dua pendekatan tersebut sebenarnya berbeda. Pendekatan UU sapu jagat untuk menyelesaikan hambatan regulasi yang tersebar dan tumpang tindih, sedangkan kodifikasi merupakan cara mengintegrasikan naskah perundang-undangan yang memiliki lingkup pengaturan sama.
Penerapan teknik baru yang berimplikasi pada puluhan UU dengan pengaturan multisektor ini sebenarnya memberi konsekuensi pada ketepatan proses terutama transparansi dan pelibatan masyarakat. Namun sebaliknya, proses yang dilakukan oleh pemerintah saat ini bersifat elitis. Pertama, bisa dlihat dari komposisi satuan tugas UU sapu jagat cipta lapangan kerja yang didominasi oleh pengusaha baik dari Kamar Dagang dan Industri maupun asosiasi pengusaha. Kedua, minimnya transparansi proses pembahasan oleh pemerintah. Ketiga, pendekatan terhadap kelompok kritis melalui aparat penegak hukum dan intelijen.
Memang proses legislasi yang ditempuh oleh UU sapu jagat ini masih harus melalui berapa tahapan. Proses ini masih di wilayah eksekutif. Akan tetapi, partisipasi masyarakat dalam proses legislasi yang dijamin oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berada dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam Pasal 96 ayat (4) ditegaskan bahwa untuk memudahkan partisipasi maka rancangan peraturan perundang-undangan harus mudah diakses oleh masyarakat.
Inti dari pelibatan masyarakat tersebut adalah adanya ruang dialog yang terbuka luas antara pembentuk kebijakan/peraturan perundang-undangan dengan masyarakat. Dalam proses penyiapan UU sapu jagat cipta lapangan kerja di eksekutif, ruang dialog tersebut nampak ditutup. Draf RUU yang tersebar di masyarakat pun segera diklarifikasi bahwa bukan draf dari pemerintah.
Proses legislasi yang mengambil jarak dengan publik ini mengingatkan pada pembahasan sejumlah RUU di akhir periode pemerintahan September tahun lalu. Ketiadaan partisipasi dan transparansi harus dibayar mahal dengan banyaknya aksi penolakan RUU yang berlangsung masif dan merenggut korban jiwa. Selain untuk memperoleh legitimasi publik, partisipasi juga sebenarnya untuk mengontrol kualitas peraturan.
DPR Bukan untuk Memberi Stempel
Rancangan UU sapu jagat cipta lapangan kerja dengan proses penyiapan di pemerintah yang elitis akan terus melenggang ke DPR. Statusnya dalam Prolegnas sebagai RUU super prioritas sehingga pembahasannya didahulukan dibandingkan RUU lain. Kompromi politik untuk memuluskan pembahasan UU ini sudah dibangun sejak lama. Apalagi melihat konstelasi politik parlemen saat ini hanya menyisakan sedikit kursi yang berseberangan dengan pemerintah. Proses pembahasan yang elitis bisa jadi berulang di parlemen.
Meskipun demikian, pembahasan di parlemen merupakan ruang baru dalam proses legislasi UU sapu jagat cipta lapangan kerja ini. Akses partisipasi publik pun lebih banyak baik formal maupun non formal melalui anggota, fraksi, alat kelengkapan maupun sistem pendukung di DPR.
Pembahasan UU sapu jagat cipta lapangan kerja ini akan menjadi salah satu RUU yang dibahas di awal periode DPR 2019-2024. Prosesnya akan menjadi pembuktian kapasitas politik dan legislasi DPR yang baru. Sebagai representasi rakyat, DPR wajib mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat terkait substansi UU sapu jagat cipta lapangan kerja. Bahkan, seharusnya ruang dialog menampung aspirasi ini sudah dibuka sejak saat penyiapan RUU ini oleh eksekutif. Sehingga masyarakat yang menolak mempunyai ruang menyampaikan aspirasinya dan sebagai bahan dalam membahas RUU bersama eksekutif.
Ruang dialog yang terbuka saat pembahasan di DPR nanti, juga harus diikuti dengan keterbukaan informasi dari DPR. Dokumen pembahasan baik itu naskah akademik, RUU, daftar inventarisasi masalah, laporan singkat rapat, ringkasan rapat harus selalu tersedia dan mudah diakses.
Dalam membahas UU sapu jagat, DPR juga harus membuktikan bahwa pasca amandemen UUD fungsi legislasi ada di bawah kendalinya. Bukan lagi executive heavy, seperti praktik orde baru yang lekat dengan anggapan DPR lembaga “stempel” setiap RUU yang diusulkan eksekutif. Pembahasan setiap RUU, apalagi UU sapu jagat, menuntut peran kritis setiap anggota DPR dengan kompetensi politik dan dan dukungan teknokratik dari sistem pendukung keahlian yang sudah ada. (MNS)
Penulis: M. Nur Sholikin, Peneliti PSHK
Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww