Salah satu kecenderungan yang bisa dilihat dari perkembangan perundang-undangan di Indonesia adalah banyaknya persoalan yang ingin diatur dalam undang-undang. Seolah-olah undang-undang menjadi obat yang paling ampuh untuk mengatasi persoalan yang ada. Sebagai contoh, untuk mengatasi permasalahan hubungan antar umat beragam, muncul usulan untuk membentuk undang-undang yang mengatur kerukunan antar umat beragama. Contoh lain, merespon aksi terorisme belakangan, pemerintah menggagas revisi undang-undang antiterorisme. Beberapa contoh lainnya dapat dicermati dari daftar RUU yang masuk dalam program legislasi nasional 2015-2019. Pertanyaannya, apakah materi-materi tersebut layak diatur dalam undang-undang dan apakah membentuk undang-undang menjadi solusi tepat mengatasi persoalan masyarakat?
Undang-Undang, Upaya Mencari Legitimasi
Ann Seydman dalam bukunya Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis menuliskan ada dua alasan urgensi pengaturan dalam bentuk undang-undang. Pertama, alasan kebutuhan untuk memerintah. Bagi pemerintah kedudukan undang-undang berguna untuk menjalankan roda pemerintahan. Kedua, alasan tuntutan legitimasi. Kebijakan pemerintah yang diformulasikan dalam bentuk undang-undang memberikan pemerintah suatu legitimasi. Alasan yang dikemukakan oleh Ann Seydman tersebut melihat dari kelanjutan perumusan kebijakan. Pemerintah untuk mengefektifkan kebijakannya perlu mengubah bentuknya menjadi undang-undang yang dapat mengikat secara umum baik masyarakat maupun aparatur pemerintah sendiri. Legitimasi ini dibutuhkan pemerintah dan aparaturnya untuk menguatkan posisi kebijakannya ketika berhadapan dengan publik.
Dari pendapat tersebut juga dapat dilihat bahwa undang-undang diperlukan untuk mengatur kepentingan umum. Pemerintah menjalankan fungsinya untuk melayani kepentingan umum. John Locke sebagaimana dikutip Bayu Dwi Anggono dalam bukunya Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia menyatakan bahwa undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif merupakan undang-undang yang dapat memberikan kebaikan bagi masyarakat luas atau memuat unsur-unsur kepentingan umum.
Undang-undang yang dibentuk harus memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat. Akan tetapi, persoalan yang berkembang dalam sistem undang-undang saat ini tidak jelas batasan materi yang harus diatur dalam undang-undang. Walaupun pengaturan normatif mengenai batasan materi muatan undang-undang sudah terdapat dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi: (i) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945; (ii) perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; (iii) pengesahan perjanjian internasional tertentu; (iv) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau (v) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Jadi sebenarnya sistem perundang-undangan sudah membatasi materi yang dapat diatur dalam suatu undang-undang. Memang kalau diperhatikan,materi muatan kelima yaitu pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat menjadi materi yang terbuka. Undang-undang tidak memberi batasan lebih lanjut mengenai kebutuhan hukum dalam masyarakat tersebut. Hal ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengatur banyak hal dalam suatu undang-undang.
Memperlemah Sistem Hukum
Pakar perundang-undangan yang kini menjadi hakim konstitusi, Maria Farida, menerangkan bahwa saat ini banyak materi muatan yang seharusnya cukup diatur lewat peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang justru dipaksakan diatur dengan undang-undang. Padahal seandainya diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, pelaksanaannya menjadi lebih sederhana dan anggaran yang dibutuhkan relatif kecil (www.mahkamahkonstitusi.go.id).
Kita bisa mempertanyakan urgensi pembentukan berbagai undang-undang yang tidak masuk dalam lingkup pengaturan kepentingan umum, seperti undang-undang yang mengatur mengenai profesi, berbagai peraturan di bidang kesehatan, sampai pada undang-undang yang bersifat sangat teknis. Alasan legitimasi juga ditengarai muncul dalam pembentukan berbagai undang-undang tersebut. Kebutuhan legitimasi yang menurut Ann Seydman hanya tertuju pada pemerintah untuk menguatkan kebijakannya, ternyata juga dibutuhkan oleh organisasi atau masyarakat, sehingga keinginan membentuk undang-undang, didasarkan pada alasan prakmatis. Tanpa mempertimbangkan apakah akan memberi manfaat bagi masyarakat luas atau hanya sebagian kecil kelompok.
Adanya kecenderungan pendapat bahwa setiap persoalan perlu diatur dalam undang-undang, keinginan memperoleh legitimasi melalui undang-undang, keyakinan bahwa undang-undang menjadi alternatif solusi menyelesaikan masalah sosial akan menyebabkan tingginya produksi undang-undang. Jumlah undang-undang akan semakin membengkak. Indonesia masuk dalam situasi hiper regulasi. Banyak hal yang diatur dengan undang-undang. Permasalahan ini juga akan berdampak pada pemborosan anggaran negara. Pembahasan undang-undang melalui proses yang panjang dengan tuntutan ketersediaan alokasi anggaran yang tidak sedikit. Ditambah lagi dengan alokasi anggaran yang tidak relevan misalnya studi banding. Permasalahan lain terkait dengan ongkos sosial yang muncul dari pembahasan undang-undang yang menimbulkan pro kontra yang ekstrem di masyarakat. Padahal belum tentu undang-undang yang diperdebatkan tersebut akan dapat diimplementasikan secara efektif dan memberi manfaat bagi masyarakat luas.
Montesquieu berpendapat bahwa perubahan-perubahan yang tidak penting dalam undang-undang yang ada, undang-undang yang sulit dilaksanakan, dan undang-undang yang benar-benar tidak diperlukan, harus dihindari karena hukum-hukum seperti itu akan memperlemah otoritas hukum secara umum. Jadi membengkaknya undang-undang justru akan berdampak negatif bagi keberadaan hukum itu sendiri. Undang-undang hanya akan menjadi dokumen tertulis yang tidak berpengaruh bagi perubahan masyarakat. Bahkan dapat berpengaruh pada kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Membatasi Produksi
Undang-undang menjadi bagian penting dalam sistem hukum kita. Ketidakcermatan dalam membentuk undang-undang dapat menimbulkan dampak negatif bagi hukum itu sendiri. Oleh karena itu, DPR dan Presiden sebagai pemegang kuasa membentuk undang-undang perlu melakukan penataan ulang dengan melihat pada kecenderungan motiv membentuk undang-undang saat ini. Seleksi usulan undang-undang perlu dilakukan secara lebih ketat, prioritaskan pada undang-undang yang mengatur kepentingan umum.
Selain itu, ketaatan pada ketentuan normatif yang mengatur materi muatan undang-undang juga harus ditingkatkan kembali, sehingga materi yang seharusnya diatur dalam jenis peraturan di bawah undang-undang tidak perlu dibahas untuk menjadi undang-undang. Di sisi lain, perlu mendorong berbagai kalangan untuk lebih memahami kedudukan undang-undang dalam mengatur kepentingan negara dengan mengedepankan pada pengaturan yang bersifat umum dan luas.
============================================================================
Sumber : www.selasar.com
Terbit pada : Senin, 01 Februari 2016
Tautan online: https://www.selasar.com/politik/