Beberapa hari terakhir aktivis di Yogyakarta menyebarkan beberapa pesan tulisan, video, dan pernyataan sikap sehubungan dengan pengosongan lahan di Kabupaten Kulon Progo untuk New Yogyakarta International Airport (NYIA). Dalam beberapa video yang tersebar, tampak warga bertahan menolak menjual tanah dan menerima ganti rugi yang menurut mereka dipaksakan sepihak.
Kasus Kulon Progo adalah satu contoh proses pengadaan tanah yang kerap memicu konflik antara pengembang atau pemerintah dengan rakyat.
Hingga 2019, yaitu dua tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, ada paling tidak 245 proyek strategis nasional yang harus dirampungkan. Dari Aceh di barat hingga Papua di timur, proyek infrastruktur dibangun dengan giat dan cepat.
Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Sumatra Selatan adalah wilayah-wilayah yang terpengaruh dengan berlangsungnya Asian Games 2018. Keempat provinsi ini sudah pasti mengalami percepatan pembangunan infrastuktur pendukung perhelatan olahraga tersebut, seperti kereta penghubung antar terminal di dalam Bandar Udara International Soekarno-Hatta, mass rapid transit (MRT) di Jakarta, light rail transit (LRT) di Palembang dan di jalur Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi, jalan tol Palembang Indralaya (Palindra), dan satu set rute kereta lagi dari stasiun Manggarai ke Bandara Soekarno-Hatta.
Para ekonom mendukung agenda infrastruktur Presiden Jokowi dan kemajuan yang sudah terwujud. Tapi di tengah kesibukan pengadaan tanah, gunting pita proyek, dan peletakan batu pertama, banyak warga yang harus merelakan tanah dan rumah tempat mereka tinggal berpindah kepemilikan. Warga-warga ini tidak memiliki banyak daya untuk memastikan apakah nafkah masa depan mereka terjamin setelah tanah mereka dipakai untuk pembangunan.
Biaya manusia
Pengadaan tanah adalah fase yang paling menantang dari pembangunan infrastruktur. Hal ini diakui oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution ketika ia mengatakan 44% masalah seputar proyek infrastruktur berkaitan dengan pengadaan tanah.
Mereka yang harus pindah tempat tinggal kerap mendapatkan kompensasi yang lebih kecil dari yang diharapkan. Dalam beberapa kasus bahkan mereka tidak mendapatkan kompensasi apapun. Orang-orang ini harus pindah ke tempat yang cukup jauh dari pusat pelayanan publik dan ekonomi. Ada yang kehilangan mata pencaharian dan berjuang untuk beradaptasi di lingkungan yang baru.
Studi-studi mengungkapkan bahwa pengadaan tanah secara paksa di Indonesia telah menimbulkan konflik dan hilangnya nafkah bagi orang yang terdampak.
Dalam satu proyek yang diterapkan di zaman pemerintahan Presiden Soeharto, korban penggusuran kehilangan sekitar 50% pendapatan bahkan setelah mereka menerima kompensasi tunai. Di era pasca-Soeharto, keadaan hampir-hampir tak berubah.
‘Kalau tidak mau ya sudah’
Indonesia sebenarnya memiliki peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk melindungi orang-orang yang terdampak pengadaan tanah. Tapi peraturan-peraturan ini juga tidak memastikan ruang transparansi yang ideal dalam proses pengadaan tanah. Di bawah aturan-aturan ini, warga terdampak juga diberi ruang tawar menawar yang sempit untuk mendapatkan kompensasi.
Pelaksana pengadaan tanah baik pemerintah maupun perusahaan pelaksana proyek diharuskan bertemu dengan warga terdampak. Tapi forum ini biasanya hanya formalitas. Warga terdampak kerap tidak mendapatkan kesempatan bernegosiasi untuk mendapat kompensasi yang mereka inginkan dalam pertemuan ini karena pihak pelaksana pengadaan tanah biasanya telah menentukan jenis dan jumlah kompensasi sejak awal.
Peraturan perundang-undangan pengadaan tanah terkait mengharuskan pihak pelaksana pengadaan tanah untuk mengungkapkan sejumlah informasi dalam rencana pengadaan tanah mereka. Mereka harus mengungkapkan tujuan proyek, lokasi, lamanya proses pengadaan tanah, dan rangkaian kegiatan.
Baca juga: Bukan sekadar berita palsu: media sosial dan kampanye politik yang disetir pasar
Tapi pihak pelaksana pengadaan tanah tidak diharuskan mengungkapkan tawaran opsi mereka terkait kompensasi dan relokasi pada tahap awal sebelum penetapan lokasi pengadaan. Informasi ini sebenarnya sangat penting bagi warga terdampak; mereka bisa menimbang-nimbang apakah akan menerima atau menolak rencana pengadaan tanah.
Warga terdampak tidak diberi kesempatan untuk menawarkan solusi alternatif. Misalnya, komunitas yang tinggal di Sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Jakarta, telah meminta, dengan bantuan aktivis perkotaan dan arsitek, untuk membangun “kampung susun”. Tawaran mereka memungkinkan mereka tetap tinggal di dekat sungai, tapi pemerintah juga tetap bisa membeton dan melebarkan sungai untuk mengantisipasi banjir.
Pemerintah Provinsi Jakarta menolak proposal ini. Untuk mencegah banjir di Ibu Kota negara, pemerintah provinsi membuldoser Kampung Pulo di pinggir Kali Ciliwung dan merelokasi warganya ke rumah susun sederhana sewa di Jakarta Timur.
Prinsip “kalau tidak mau ya sudah” menjadikan forum pertemuan sekadar basa-basi karena warga hanya bisa merespons tawaran kompensasi dari pemerintah secara pasif. Apalagi di tengah akselerasi penyediaan infrastruktur yang massif, tekanan terhadap pelaksana pengadaan tanah lumayan berat baik dari pemerintah di atas maupun dari warga di bawah. Akan tetapi, korban dari akselerasi dan tekanan tersebut adalah warga atau masyarakat.
Bagi warga yang tidak puas dengan nilai kompensasi tersebut, pelaksana pengadaan tanah menitipkan uang ganti rugi pengadaan tanah ke pengadilan negeri setempat. Hal ini menunjukkan kesan bahwa pelaksana pengadaan tanah buang badan soal tuntutan warga dan membiarkan pengadilan negeri sebagai pemutusnya.
Untuk menentang keputusan pihak pelaksana pengadaan tanah, warga terdampak harus mengajukan permohonan keberatan ke pengadilan negeri. Bagi warga terdampak yang miskin dan tidak memiliki pengetahuan hukum yang cukup, proses hukum tak hanya mahal tapi juga membuat mereka tertekan.
Sehubungan dengan berlakunya peraturan perundang-undangan baru mengenai pengadaan tanah sejak 2012, saya melakukan studi singkat terhadap 25 putusan perkara pengadaan tanah pada laman Putusan Mahkamah Agung. Saya menemukan bahwa warga yang kalah di pengadilan negeri tidaklah sedikit. Berdasarkan penelusuran pada sejumlah perkara pengadaan tanah tersebut, saya menemukan pula jika pun warga menang di pengadilan negeri, Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan pengadilan negeri di tingkat kasasi.
Perkara ini belumlah termasuk perkara New Yogyakarta International Airport yang mencapai jumlah 222 perkara yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Wates.
Kekalahan ini umumnya disebabkan kurangnya alat bukti warga dalam menentukan jumlah kompensasi yang layak dan tepat. Kebalikan dari itu, pelaksana pengadaan tanah menggunakan argumentasi soal standar penilaian yang valid dengan menghadirkan profesi penilai sebagai saksi ahli.
Secara umum, sistem seperti ini dianggap merugikan masyarakat dan bahkan dianggap bersifat sepihak serta merampas. Akibat kekalahan di lembaga peradilan, warga dipaksa mengosongkan rumah tinggalnya dan tidak jarang mengalami intimidasi pada saat eksekusi. Perkara pengadaan tanah untuk bandar udara baru di Kulon Progo adalah salah satu contoh saat intimidasi terjadi dalam proses pengosongan paksa.
Partisipasi dan transparansi
Indonesia harus memiliki regulasi yang lebih memastikan transparansi dan partisipasi warga terdampak dalam setiap tahapan pengadaan tanah. Warga terdampak harus memiliki kesempatan meninjau jumlah kompensasi dalam pertemuan-pertemuan baik dengan pemerintah maupun perusahaan pelaksana proyek. Pemerintah dan perusahaan pelaksana proyek juga harus membahas rencana relokasi dengan warga terdampak.
Melibatkan warga terdampak akan membuat prosesnya lebih lama. Tapi diskusi setara bisa memberi solusi yang lebih baik, sehingga proyek bisa memberi hasil positif baik bagi pemerintah, perusahaan pelaksana proyek, dan warga yang terdampak.
============================================================================
Sumber : The Conversation
Diakses pada : Selasa, 05 Desember 2017
Website: theconversation.com