Presiden Joko Widodo telah mengesahkan 49 peraturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja yang terdiri atas 45 peraturan pemerintah dan empat peraturan presiden. Jumlah ini masih berpotensi meningkat, mengingat terdapat lebih dari 450 ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang mengamanatkan adanya peraturan delegasi. Fakta ini bertentangan dengan misi penyederhanaan regulasi yang digaungkan pemerintah sejak menggagas rancangan undang-undang ini pada akhir 2019.
Dari 49 peraturan pelaksana yang telah disahkan tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menemukan sekitar 466 ketentuan delegasi. Ketentuan itu berupa 11 delegasi ke peraturan pemerintah, 11 ke peraturan presiden, 377 ke peraturan menteri, 60 peraturan lembaga pemerintah non-kementerian, dan 7 peraturan daerah. Pendelegasian peraturan itu tidak hanya ke peraturan yang lebih rendah, seperti peraturan menteri, tapi juga memuat ketentuan pendelegasian sejajar antara peraturan pemerintah dan antar-peraturan presiden. Sedikitnya, terdapat 11 peraturan delegasi dari peraturan pemerintah ke peraturan pemerintah dan satu peraturan delegasi dari peraturan presiden ke peraturan presiden.
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memang tidak melarang adanya pendelegasian peraturan sejajar. Hal itu dituangkan dalam ketentuan teknisnya yang mengatur bentuk pendelegasian sejajar antar-undang-undang dan antar-peraturan daerah. Namun pendelegasian sejajar dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menyederhanakan regulasi karena justru berpotensi menyebabkan kerumitan baru dalam regulasi.
Selain itu, peraturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja memuat 22 ketentuan pendelegasian peraturan ke peraturan perusahaan. Peraturan tersebut terdapat di dua peraturan pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (19 delegasi) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (3 delegasi)
Secara normatif, pemberian delegasi ke peraturan perusahaan memang dibenarkan dalam hukum perburuhan untuk mengatur persoalan yang bersifat mikrokondisional. Meski demikian, pembentukan peraturan oleh perusahaan itu haruslah dilakukan dengan pengawasan yang ketat agar tidak menyebabkan lahirnya peraturan yang “bermasalah”, sehingga dapat merugikan salah satu pihak.
Kegagalan Cipta Kerja
Banyaknya peraturan delegasi yang diamanatkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya tersebut menjadikan undang-undang ini telah gagal dalam mencapai tujuan utamanya, yakni untuk menyederhanakan regulasi. Regulasi yang disusun dengan metode omnibus law ini ternyata tidak berbeda dari undang-undang yang disusun dengan metode biasa dalam hal melahirkan peraturan delegasi karena sama-sama mengamanatkan peraturan delegasi yang terlalu banyak.
Bila dikaji dengan lebih teliti, keberadaan peraturan menteri dan peraturan lembaga memiliki andil besar dalam terjadinya hiper-regulasi (peraturan yang terlalu banyak), sekalipun dua jenis peraturan tersebut tidaklah masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
PSHK mencatat, selama pemerintahan Presiden Jokowi, yang dimulai dari 2014 hingga Desember 2020, terbit sekitar 13.401 peraturan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang. Ia didominasi oleh peraturan menteri dan peraturan lembaga non-kementerian dengan rincian 587 peraturan pemerintah, 942 peraturan presiden, 9.383 peraturan menteri, dan 2.489 peraturan lembaga pemerintah non-kementerian. Ini tentu jumlah yang tidak sedikit. Bila dirata-rata, lebih dari enam peraturan lahir setiap hari.
Lahirnya dua jenis peraturan tersebut tidak lepas dari adanya ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan pada pasal tersebut membuka dua pintu pembentukan peraturan menteri dan peraturan lembaga non-kementerian, yakni melalui pendelegasian dari peraturan yang lebih tinggi dan melalui kewenangan yang dimiliki masing-masing kementerian/lembaga.
Dalam hal ini, metode apa pun yang digunakan dalam pembentukan undang-undang, baik itu omnibus law maupun cara biasa, sepanjang masih terdapat ketentuan Pasal 8 tersebut, penyederhanaan jumlah regulasi tidak akan pernah tercapai. Undang-Undang Cipta Kerja merupakan contoh nyata dari kegagalan omnibus law dalam penyederhanaan regulasi. Alih-alih menyederhanakan, ia justru kebablasan dalam peraturan delegasi.
Penulis: Antoni Putra