Minimnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan terus menjadi masalah di Indonesia. Luasnya wilayah, jarak, akses, dan jumlah penduduk turut menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menggandeng partisipasi publik.
Tersumbatnya kanal partisipasi formal kemudian mendorong publik menyalurkan aspirasi lewat medsos – atau terkadang istilahnya “viral-based policy” – demi mendesak respons dari pemerintah. Kita melihat ini, misalnya, pada kampanye #PercumaLaporPolisi atau #BlokirKominfo baru-baru ini.
Kendati pun sesekali manjur memancing upaya korekif dari negara, metode viral bukanlah bentuk partisipasi warga yang ideal.
Selain karena ancaman kriminalisasi UU ITE terhadap warganet, dalam banyak kesempatan, intervensi pemerintah baru muncul selepas suatu kejadian. Padahal, efek dari kebijakan yang merugikan sudah terlanjur diderita sebelum upaya korektif diambil.
Untuk mengatasi ini, pemerintah perlu mewadahi aktivisme digital tersebut lewat portal partisipasi daring – sering disebut e-participation – agar tercipta perdebatan publik yang bermakna antara masyarakat dan perumus kebijakan.
Lantas, seperti apa e-participation yang ada saat ini di Indonesia, dan bagaimana cara memperbaikinya?
Dari DPR sampai kementerian: e-participation di Indonesia belum serius libatkan warga
Sejak 2011, undang-undang (UU) mensyaratkan partisipasi publik dalam proses pembentukan regulasi. Terkini, lewat UU Nomor 13 Tahun 2022 terkait pembentukan peraturan perundang-undangan, pemerintah bahkan bisa memanfaatkan teknologi digital untuk menampung partisipasi publik.
Memang, tak semua masalah teratasi dengan digitalisasi. Tapi, pilihan ini jadi beralasan, mengingat 90,75% penduduk Indonesia dilaporkan merupakan pengguna smartphone.
Persoalannya, fitur pada situs-situs milik kementerian dan lembaga negara belum sepenuhnya mendukung terwujudnya partisipasi (digital) secara bermakna.
Meski laporan PBB tentang indeks e-governance (EGDI) menunjukkan Indonesia naik 30 peringkat ke peringkat 77 dunia dalam lima tahun terakhir, kenyataannya masih banyak portal e-participation yang bersifat “tokenistik”. Artinya, kanal tersebut sekadar formalitas dan hanya menempatkan warga sebagai penerima informasi saja.
Sebagai contoh, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merilis portal Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang (SIMAS PUU) sejak 2017 lalu. Namun, sebagian besar kontennya baru bersifat satu arah dan tidak memungkinkan warga memberi umpan-balik langsung.
Belum lagi, informasi publik seperti naskah akademik atau draf RUU yang semestinya tersedia nyatanya belum lengkap terunggah. Ini menghambat akses publik untuk mengawal proses legislasi yang tengah berjalan di parlemen.
Sedikit lebih inovatif, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) punya situs interaktif Evaluasi Database Hukum Nasional (EVADATA) dan E-partisipasi Pembentukan Perundang-Undangan.
Hanya saja, selain data-data hukumnya belum lengkap, ada masalah teknis lain seperti belum adanya fitur registrasi akun yang membuat publik belum tentu bisa mengakses portal tersebut.
Ditambah lagi, ada beragam persoalan lain dalam portal e-governance seperti banyaknya situs dan aplikasi sejenis milik masing-masing kementerian yang belum terintegrasi satu sama lain.
Alih-alih memudahkan, ini justru mempersulit dan membingungkan masyarakat awam dalam memilih portal untuk menyampaikan aspirasinya.
Berkaca dari e-participation di negara lain
Di Amerika Serikat (AS), Kantor Kejaksaan California punya mekanisme daring untuk pengusulan peraturan atau amandemen konstitusi. Di Kanada, parlemen menyediakan portal untuk membuat petisi ke wakil rakyat dan menggalang dukungan. Sementara, Komisi Eropa punya situs konsultasi publik terkait kebijakan yang berkembang di Uni Eropa – dari emisi mobil sampai perpajakan.
Berbeda dengan Indonesia, e-participation di negara dengan skor indeks e-governance yang lebih tinggi dari Indonesia ini memungkinkan konsultasi kebijakan secara interaktif dan transparan.
Pemerintah negara tersebut pun menyediakan panduan penggunaan portal yang relatif mudah bagi orang awam.
Setiap masukan publik mereka pilah berdasarkan relevansi dan urgensi. Jika ada masukan yang memenuhi kriteria dan relevan, perancang kebijakan wajib menindaklanjuti dengan jawaban beserta penjelasan.
Dialog pun tak lekas selesai setelah ada tanggapan dari otoritas. Jika warga menganggap tanggapan itu tidak memuaskan, mereka bisa mengajukan keberatan. Ini juga bermanfaat bagi pemerintah karena jadi peluang untuk meluruskan miskomunikasi terkait suatu kebijakan atau membedahnya kembali jika ada data tandingan.
Selain itu, sistem ini juga “memaksa” pembuatan regulasi jadi lebih tertib prosedur. Alasannya, perancang hukum wajib memastikan bahwa naskah RUU, misalnya, sudah harus bisa diakses masyarakat sebelum tahap konsultasi publik mulai, dan baru bisa ditutup jika seluruh masukan rampung ditindaklanjuti atau mencapai konsensus.
Masyarakat juga berkesempatan mengintervensi prosesnya, baik melalui petisi atau rancangan legislasi tandingan seandainya produk rancangan versi pemerintah dinilai abai terhadap kepentingan publik.
Peran masyarakat semacam ini selaras dengan “teori tangga partisipasi”, yang mengatakan bahwa dalam pembuatan kebijakan, ‘kendali warga’ adalah prioritas tertinggi.
Mengapa harus jadi prioritas
Kendati fiturnya masih perlu banyak perbaikan, pemanfaatan portal e-participation perlu menjadi prioritas karena membawa beragam manfaat lain bagi pemerintah dan publik.
Pertama, dalam analisis biaya-manfaat, memperbarui fitur e-participation akan meminimalisir pemborosan anggaran negara untuk konsultasi publik luring yang seringkali mahal, minim manfaat, dan kerap formalitas belaka.
Ambil contoh roadshow sosialisasi RKUHP di 11 kabupaten/kota pada tahun lalu. Asumsikan saja acara ini berlangsung di auditorium hotel berkapasitas 150 orang, berdurasi 3 jam, dengan mendatangkan 1 wakil menteri, 2 anggota DPR, 1 pejabat daerah, 4 pakar, dan 15 staf panitia.
Berdasarkan Satuan Masukan Biaya Tahun 2022 terbitan Kementerian Keuangan, estimasi kasar untuk pengeluaran satu sesi konsultasi ini bisa melebihi Rp 240 juta, atau sekitar Rp 2,65 miliar untuk seluruh rangkaian kegiatan. Ini baru untuk satu produk RUU saja dan belum menghitung ongkos tiket pesawat, personel keamanan, tunjangan, serta pengeluaran lain.
Dengan puluhan RUU dalam Prolegnas Tahunan mengantre untuk melewati tahap konsultasi publik tiap tahunnya, pengeluarannya bisa menumpuk jadi puluhan miliar setahun. Itu pun tanpa jaminan bahwa berbagai masukan publik bisa dibahas dengan mendalam, terutama mengingat durasi sesi tanya jawab terbuka biasanya amat terbatas.
Bandingkan dengan pengembangan e-Court milik Mahkamah Agung yang terbilang mutakhir untuk harga Rp 1,9 Miliar. Meski biaya pengembangannya sekian kali lebih mahal berkat kebutuhan fitur pendukung serta server yang lebih besar, anggaran operasionalnya tetap tidak seboros konsultasi luring, tak hanya berlaku untuk satu produk hukum saja, dan bisa menjangkau lebih banyak orang.
Kedua, dalam perspektif keadilan sosial, e-participation membuat dialog kebijakan lebih inklusif karena bisa melibatkan warga di wilayah 3T (terluar, terdepan, tertinggal).
Minimnya akses selama ini membuat advokasi kebijakan level nasional seolah jadi privilese kelompok kepentingan ibu kota saja. Hadirnya portal e-participation memberi kesempatan lebih bagi organisasi masyarakat sipil (OMS) di daerah untuk terlibat aktif dalam legislasi nasional dari jarak jauh.
Ketiga, pemanfaatan e-participation juga meminimalisasi efek buruk yang kerap ditemui dalam konsultasi luring, misalnya fenomena groupthink (sekadar ikutan pandangan mayoritas), manipulasi forum dengan mengundang peserta secara partisan, hingga sikap sinis pejabat terhadap kelompok oposisi.
Dalam cuplikan dialog RUU Cipta Kerja ini, misalnya, Menkopolhukam Mahfud MD mencecar balik mahasiswa yang menyampaikan kritik.
“Saudara mengerti tidak apa artinya omnibus law? Coba sini (saudara) jelaskan. Kalau tahu, baru saya jawab, jangan-jangan saudara nggak tahu,” tantang Mahfud.
Selain tidak peka dengan kesenjangan relasi kuasa atas lawan bicaranya, sikap sinis ini juga berpotensi membuat orang awam makin sungkan untuk berdialog dengan elit.
Partisipasi publik bukan ajang bagi pejabat untuk meredam kekhawatiran akar rumput atas nama teknokrasi. Partisipasi bermakna bertujuan memberi kesempatan luas agar publik ikut mengendalikan arah kebijakan yang dampaknya akan mereka pikul.
Dengan kanal e-participation yang tepat, aktivisme warganet adalah modal sosial untuk mencegah lahirnya kebijakan-kebijakan yang merugikan.
Penulis: Auditya Saputra
Artikel ini meraih predikat Honorable Mention pada Kompetisi Menulis Hari Ulang Tahun ke-5 The Conversation Indonesia.
Ronal Rofiandri (PSHK) dan Budi Hartadi (PUSILKOM-UI) turut berkontribusi dalam tulisan ini.