RUANG sipil atau civic space di Indonesia terus mengalami kemerosotan. Hal itu terverifikasi dari indeks demokrari dunia yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam dua tahun terakhir.
Dalam indeks itu, Indonesia selalu mendapat penilaian sebagai negara setengah demokrasi atau demokrasi yang cacat.
Bila ditelisik, kemunduran demokrasi Indonesia setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, pandemi Covid-19 yang melanda dunia, juga Indonesia. Pandemi itu memaksa diterapkannya berbagai bentuk pembatasan untuk mencegah penularan.
Kedua, adanya tindakan “negara” yang kontra demokrasi. Pemerintah meletakkan stabilitas politik sebagai dasar pembangunan.
Adanya dua faktor tersebut kemudian memicu munculnya kebijakan pembatasan terhadap hak asasi di bidang sipil dan politik yang mencakup kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat yang menyebabkan kebebasan sipil semakin tergerus.
Sebagaimana yang saya ulas sebelumnya dalam tulisan berjudul “Penyusutan Ruang Kebebasan Sipil dan Kemunduran Demokrasi Indonesia”, beberapa bentuk pembatasan yang dilakukan pemerintah itu di antaranya: mengekang organisasi masyarakat sipil dengan kewajiban terdaftar, pembubaran ormas, penggunaan pasal karet UU ITE untuk kriminalisasi, dan pembentukan undang-undang yang minim partisipasi.
Kewajiban terdaftar dan pembubaran ormas
Dari segi pengekangan organisasi masyarakat (ormas) sipil dengan kewajiban terdaftar dan pembubaran ormas, yang paling menyita perhatian adalah yang menimpa Front Pembela Islam (FPI) pada Desember 2020.
Pembubaran FPI disertai dengan pelarangan segala bentuk kegiatan, termasuk penggunaan simbol dan atribut FPI yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Dalam surat keputusan bersama itu, salah satu alasan yang digunakan pemerintah adalah dengan menyebut anggota FPI ataupun yang pernah bergabung dengan FPI kerap terlibat tindak pidana bahkan aksi terorisme. FPI juga disebut kerap melakukan sweeping atau razia, jika menurut penilaian atau dugaan sepihak (anggota) ormas itu terjadi pelanggaran ketentuan hukum.
Pembubaran FPI itu memang sejalan dengan UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat. Namun tetap saja pembubaran itu cacat dari segi demokrasi karena pembubaran dilakukan tanpa proses peradilan (due process of law).
Pembubaran organisasi sepatutnya dijalankan setelah atau bersamaan dengan mengadili kejahatan pengurus ataupun anggota organisasi tersebut melalui mekanisme peradilan. Dengan demikian, publik bisa melihat perkara ini dengan terang, termasuk membongkar ada kejahatan apa dan siapa saja di balik organisasi yang hendak dibubarkan.
Sayangnya, UU Ormas secara signifikan memangkas prosedur hukum acara pelarangan maupun pembubaran ormas yang dilakukan dengan menghapus mekanisme teguran dan pemeriksaan pengadilan.
Pembentukan UU minim partisipasi
Dari segi pembentukan undang-undang (UU), dalam tiga tahun terakhir, setidaknya terdapat dua proses pembentukan undang-undang yang dapat menjadi gambaran bahwa ruang kebebesan sipil sedang tidak baik-baik saja, yaitu proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Pembentukan dua UU tersebut dijalankan tanpa memberikan ruang partisipasi publik secara memadai. Lembaga negara seperti DPD bahkan sampai memberikan masukan di luar mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang baku dengan mengeluarkan setidaknya satu siaran pers, yakni yang dikeluarkan Komite I DPD RI tentang pembahasan RUU Cipta Kerja pada tanggal 29 April 2020 dan satu pernyataan sikap DPD RI terkait RUU Ibu Kota Negara Nusantara yang dikeluarkan pada 18 Januari 2022.
Hal itu menjadi ironi. DPD merupakan lembaga legislatif yang seharusnya ikut aktif dalam pembahasan justru kesulitan dalam keikutsertaannya membahas rancangan undang-undang.
DPD saja kesulitan, bisa dibayangkan publik jauh lebih kesulitan lagi untuk berpartisipasi dalam proses itu.
Dalam pembentukan UU Cipta Kerja, minimnya partisipasi publik terkonfirmasi dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XIII/2020. Putusan tersebut menyatakan bahwa UU a quo inskonstitusional bersyarat karena terdapat cacat formil dalam proses pembentukan.
Gejala serupa terus berlanjut dalam pembentukan undang-undang setelahnya.
Terhadap proses yang saat ini tengah berjalan, sorotan utama tertuju pada Rancangan Kitap Undang-Undang Hukum Pidana yang prosesnya juga dinilai tidak partisipatif.
Muhammad Nur Ramadhan dalam tulisan di Kompas.com yang berjudul “RKUHP: Ancaman Nyata Ruang Kebebasan Sipil dan Demokrasi”, menyatakan bahwa hingga saat ini masyarakat kesulitan untuk mengakses naskah RKUHP yang resmi dan tidak terlihat adanya keseriusan pemerintah dan DPR untuk secara sungguh-sungguh melibatkan publik dalam proses yang dijalankan.
Ramadhan mengatakan, hal itu setidaknya menyiratkan bahwa pemerintah tidak serius dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang bermakna sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Munculnya “operasi buzzer”
Ruang sipil juga tergerus oleh kehadiran kelompok-kelompok yang terus mencoba memutarbalikan fakta di ruang-ruang media sosial, atau bisa disebut sebagai “operasi buzzer”.
Kelompok-kelompok itu tidak hanya menyerang gagasan, tapi juga menyerang individu dan/atau kelompok yang berseberangan di luar konteks persoalan yang diperdebatkan.
Adanya operasi buzzer itu menunjukkan ketidakdewasaan dalam menerima kritik dan gagasan yang tidak sejalan dengan kelompoknya.
Hal itu tentunya merusak demokrasi karena menyebabkan berbagai diskursus tak lagi digerakkan adu gagasan yang sehat, tetapi oleh perkara seberapa hebat membela junjungan dan seberapa cepat menjatuhkan fandom lawan.
Hal itu perlu menjadi perhatian, sebab demokrasi tidak dibangun hanya dengan kesepahaman.
Sebagaimana yang diungkapkan Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky dalam How Democracies Die (2018), untuk menjaga kohesivitas demokrasi ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu mutual toleration dan institutional forbearance.
Mutual toleration mengacu pada sikap menerima lawan politik sebagai oposisi yang sah.
Editor : Egidius Patnistik
Penulis: Antoni Putra