Pernyataan Menteri Dalam Negeri yang akan membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang menolak dan anti Pancasila telah menimbulkan prasangka tersendiri. Tentang siapa ormas dimaksud dan bagaimana pula bentuk konkret penolakan menjadi pertanyaan yang hingga hari ini masih belum terjawab. Semua masih berpusar pada dugaan belaka.
Kementerian Dalam Negeri sebelumnya pernah berjanji akan membeberkan kemungkinan pembubaran ormas penolak Pancasila berdasarkan kajian bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Badan Intelijen Negara. Belakangan, Kementerian Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Dirjen Polpum) telah mengeluarkan surat pemberitahuan kepada seluruh Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) provinsi dan kabupaten/kota (Surat Nomor 220/2065/POLPUM tertanggal 12 Mei 2016) perihal teguran dan penanganan terhadap ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Lantas, apakah keberadaan surat pemberitahuan tersebut merupakan langkah awal? Atau sebaliknya pemerintah urung dan membatalkan rencana membubarkan ormas penolak Pancasila? Sampai saat ini masih belum jelas keterkaitannya.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Dalam Negeri selalu menyatakan bahwa Pemerintah tidak akan gegabah ketika ingin membubarkan suatu ormas. Pemerintah perlu berpedoman pada peraturan perundang-undangan, terutama Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Materi surat Dirjen Polpum Kementerian Dalam Negeri (kepada seluruh kepala kesbangpol di daerah) juga mengutip sejumlah ketentuan dalam UU Ormas.
Bagi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, keputusan membubarkan ormas dianggap sebagai salah satu bentuk sanksi. Sanksi terhadap ormas diatur dalam Pasal 60 s/d Pasal 80 UU Ormas. Secara eksplisit, kita tidak akan menemukan jenis sanksi dalam format pembubaran. Sekalipun ormas penolak Pancasila bisa dijerat karena melanggar UU Ormas Pasal 21 huruf b “menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” dan Pasal 59 ayat (4) “Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila”, namun sanksi pembubaran tidak dapat diberlakukan. Pasal 61 UU Ormas hanya menyebutkan sanksi administrasi yang terdiri atas peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) atau status badan hukum. Jadi, ormas penolak Pancasila bisa dikenakan sanksi administrasi, mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan SKT atau status badan hukum, bukan pembubaran.
Jika diasumsikan ormas penolak Pancasila sudah lebih dulu diberi peringatan tertulis hingga tiga kali sesuai Pasal 62 ayat (1), maka langkah selanjutnya adalah menghentikan bantuan dan/atau hibah. Bagaimana jika ormas (penolak Pancasila) tidak menerima bantuan dan/atau hibah dari Pemerintah? Begitu pula jika ormas penolak Pancasila sejak awal memilih tidak mendaftarkan diri dan memiliki SKT, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 jelas menegaskan bahwa SKT tidak lagi bersifat wajib. Tentu saja sanksi pencabutan SKT menjadi tidak relevan.
Ketika ormas penolak Pancasila tidak berwujud badan hukum seperti yayasan atau perkumpulan, maka sanksi pencabutan status badan hukum tidak cocok pula. Andaikata berbadan hukum (yayasan atau perkumpulan), maka ketika melanggar ketentuan Pasal 21 huruf b dan Pasal 59 ayat (4) UU Ormas, status badan hukum ormas penolak Pancasila akan dicabut. Eksistensi secara organisasi tetap akan ada, hanya tidak berbadan hukum dan bukan lantas dipahami bubar. Sekali lagi, dari jenjang pemberian sanksi sesuai Pasal 61 UU Ormas, tidak ada nomenklatur sanksi berjenis pembubaran.
Surat Dirjen Polpum Kementerian Dalam Negeri tentang teguran dan penanganan ormas yang bertentangan dengan Pancasila rupanya tidak hanya mengandalkan UU Ormas sebagai rujukan. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara khususnya Pasal 107 b turut menjadi pertimbangan. Ketentuan dimaksud adalah sanksi pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun bagi siapapun yang meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda. Pemerintah berupaya mempertegas tindakan, bukan hanya membubarkan tapi juga menghukum ormas. Di saat tidak tersedia konstruksi hukum membubarkan ormas, pemerintah berupaya menghukum ormas. Lantas, seperti apa wujud menghukum ormas?
Mungkin saja di benak pemerintah, dengan menghukum ormas maka dengan sendirinya akan memuluskan langkah membubarkan ormas. Menurut teori hukum, pengenaan sanksi hanya berlaku pada subyek hukum berupa individu perorangan dan badan hukum, yang dalam konteks organisasi sosial, dikenal yayasan dan perkumpulan. Wujud sanksinya pun terbatas pada pencabutan status badan hukum. Bagaimana dengan ormas? Seperti halnya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Ornop/NGO (Organisasi Non Pemerintah/Non Governmental Organization), OMS/CSO (Organisasi Masyarakat Sipil/Civil Society Organization), ormas merupakan istilah praktik. Ormas bukan makhluk hukum. Lantas, bagaimana bisa menghukum ormas jika yang dihukum bukan dalam kategori subyek hukum? Ini bukan sekedar stagnasi tapi memang terlihat mustahil membubarkan ormas.