Ketika mengevaluasi kinerja legislasi dari aspek kuantitas, kita akan mendapatkan fakta yang sama dari tahun ke tahun, bahkan DPR antar periode. Ukuran yang digunakan adalah capaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang tidak sesuai dengan target yang direncanakan, baik untuk prioritas tahunan maupun lima tahunan. Persoalan capaian Prolegnas yang rendah sebenarnya bukan hanya terjadi pada periode sekarang, tapi sudah yang ada sejak periode DPR 2004-2009.
Pada 2015 lalu, DPR dan Presiden hanya mampu menghasilkan satu RUU (yaitu RUU Penjaminan), di luar (pengesahan) jenis RUU kumulatif terbuka (seperti penetapan Perppu, APBN, dan pengesahan perjanjian internasional). Lantas, bagaimana dengan situasi kinerja legislasi yang terkait dengan aspek kualitas? Beberapa temuan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) mengkonfirmasi adanya sejumlah kemunduran akibat ketidakpatuhan terhadap syarat prosedur sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) hingga absennya politik legislasi.
Ketidakpatuhan Syarat RUU Prioritas
Dari dinamika kinerja legislasi 2015, awalnya sempat ada beberapa perbaikan dan kemajuan, misalkan DPD yang cukup aktif dalam mengusulkan dan membahas usulan RUU. Artinya, ada ruang aktualitas kewenangan dan relasi yang diakui secara kelembagaan. Bahkan DPD diberikan peran menyiapkan Naskah Akademik (NA) dan naskah RUU Wawasan Nusantara dalam Prolegnas Prioritas 2015.
Ada kehendak DPR dan Presiden tidak terlampau tinggi dalam menentukan target. Terlihat jumlah RUU prioritas 2015 kurang dari rata-rata target tahunan pada DPR periode 2009-2014 yang bisa mencapai kisaran 50-60 RUU, yaitu 37 RUU. Pemerintah sendiri konsisten dalam mengusulkan jumlah RUU prioritas tahunan, yaitu 12 RUU. Dalam visi misi calon presiden pada pilpres lalu, pemerintahan Jokowi memang menargetkan maksimal 20 RUU untuk Prolegnas tahunan. Selain itu, merujuk dari berbagai dokumen yang beredar selama penyusunan dan pembahasan penyusunan Prolegnas 2015-2019 dan Prioritas 2015, ada seleksi yang cukup ketat agar suatu RUU bisa diloloskan. Misalkan kelengkapan syarat NA dan naskah RUU, konsepsi deskripsi, dan konfirmasi urgensi dari tiga lembaga (DPR, Presiden, dan DPD).
Dalam perjalanannya, ternyata syarat NA dan naskah RUU untuk setiap pengusulan rancangan undang-undang(yang akan ditempatkan dalam Prolegnas Prioritas 2015) tidak dipenuhi sejak awal oleh DPR, DPD, dan Presiden. Sebagai salah satu contoh, RUU Penyandang Disabilitas (yang dalam hal ini diusulkan oleh DPR). Hingga Agustus 2015, belum tuntas penyelesaian naskah akademik dan RUU-nya. Dari sisi pemerintah, hingga akhir Agustus 2015 baru empat RUU (yang disampaikan kepada DPR) dari 11 RUU yang diusulkan. Ini juga menjadi catatan kritis. Begitu pula DPD (yang hanya mengusulkan satu RUU, yaitu RUU Wawasan Nusantara) tapi baru awal Agustus 2015 menyampaikannya kepada DPR dan Presiden. Jelas sudah alasan mengapa kinerja Prolegnas khususnya prioritas tahunan keteteran. Syarat untuk sebuah RUU diprioritaskan tidak konsekuen dipenuhi sejak awal. Bahkan yang terjadi adalah kelambanan.
Jadwal Pembahasan Prolegnas Prioritas Tahunan yang Telat dan Tidak Konsisten
Imbas dari konteks politik perseteruan KMP dan KIH turut mengakibatkan penyusunan Prolegnas (2015-2019 dan Prioritas 2015) baru selesai di awal Februari 2015. Pengalaman dari DPR periode 2004-2009 dan 2009-2014 terutama ketika menetapkan Prolegnas lima tahunan dan prioritas tahun pertama, biasanya dijadwalkan paling lambat minggu kedua Desember.
Tidak hanya telat, bahkan untuk penetapan Prolegnas Prioritas 2016 pun DPR dan Presiden tidak melakukannya sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UU 12/2011 yang menyatakan bahwa penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan (sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah) dilakukan setiap tahun sebelum penetapan RUU tentang APBN. Dengan kata lain, seharusnya DPR dan Presidenmenargetkan penetapan Prolegnas Prioritas 2016 sebelum penetapan RUU tentang APBN 2016. Namun, hingga RUU APBN 2016 disahkan pada Jum’at, 30 Oktober 2015, DPR dan Presiden belum sama sekali menetapkan Prolegnas Prioritas 2016. Salah satu temuan menarik yang diperoleh PSHK adalah DPD malah lebih dulu siap dengan dengan daftar usulan Prolegnas Prioritas 2016, yang sudah dilengkapi dengan NA dan naskah RUU (berdasarkan keterangan dari rapat koordinasi tripartit antara Badan Legislasi, Kementerian Hukum dan HAM serta Panitia Perancang Undang-Undang pada 10 Desember 2015).
Prolegnas Minim Politik Legislasi
Politik legislasi menjadi kunci penting kemana sesungguhnya arah Prolegnas. Politik legislasi berawal dari adanya kepekaan politik para pihak yang terlibat dalam kerja legislasi. Kepekaan politik akan menjadi isu tersendiri ketika misalkan DPR lebih memilih menyiapkan RUU Pertembakauan dan RUU Kebudayaan. Dua RUU yang sebenarnya tidak menjadi prioritas yang sedemikian mendesak, bahkan jika tidak hati-hati malah akan menyulut polemik berkepanjangan di tengah masyarakat. Atau Pemerintah yang sejak Prolegnas Prioritas 2015 menyerahkan dan lebih mendahulukan pembahasan RUU KUHP.
Temuan PSHK pada sejumlah rancangan undang-undang memperlihatkan politik legislasi tersendiri berupa ketentuan pembentukan lembaga/badan baru. Rancangan undang-undang dimaksud antara lain:
Mempertanyakan Sifat “Terencana” dan “Sistematis” Prolegnas pada RUU Pengampuan Pajak dan RUU Perubahan UU KPK
Dari temuan PSHK pada kinerja legislasi 2011, hampir sebagian besar pembahasan RUU mengalami kemacetan hingga deadlock disebabkan persoalan kelembagaan atau dengan kata lain materi RUU awalnya sempat memandatkan adanya pembentukan lembaga/badan baru (contohnya RUU Bantuan Hukum, RUU Rumah Susun, RUU Pencegahan dan Pembalakan Liar, dan RUU Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh). Praktek menciptakan lembaga/badan baru melalui undang-undang mengulang kebiasaan (yang ternyata) lebih sering menjadi inisiatif dan dilakukan oleh DPR. Di sisi lain, Pemerintah berkepentingan untuk lebih selektif bahkan menghapus sejumlah lembaga/badan yang dianggap tidak efisien maupun tumpang tindih atau duplikasi kewenangan.Tidak tertutup kemungkinan kondisi yang sama akan melanda 6 (enam) rancangan undang-undang di atas. Pembahasannyaakan memakan waktu yang lama, akibat sejak awal politik legislasi tentang parameter pembentukan lembaga/badan baru tidak disepakati.
Pasal 1 angka 9 UU 12/2011 menyebutkan bahwa Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa suatu rancangan undang-undang yang hendak diusulkan dan ditempatkan dalam rencana legislasi, untuk kemudian dibahas dan diselesaikan dalam kurun waktu tertentu, harus dibicarakan secara matang, tidak tergesa-gesadan cukup waktu serta mempertimbangkan pandangan dari seluruh pemangku kepentingan. Ketika DPR dan Presiden menyepakati RUU Pengampunan Pajak dan RUU Perubahan UU KPK masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015 dan dilaporkan pada Rapat Paripurna 15 Desember 2015, jelas patut dipertanyakan. Mengingat hanya tersisa 3 (tiga) hari kerja sebelum DPR menjalani masa reses. Bagaimana mungkin sebuah rancangan undang-undang dapat selesai dibahas dan disahkan dalam waktu tiga hari. Di sini terlihat Prolegnas kehilangan identitas dan sifat perencanaannya yang sistematis.
Pasal 43 ayat (1) UU 12/2011 juga mengatur bahwa rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. Penggunaan kata “atau” pada ayat tersebut berarti tidak terdapat kemungkinan suatu rancangan undang-undang dibuat bersama oleh pemerintah dan DPR. Pemisahan tegas otoritas penyusun tersebut dapat dibaca sebagai upaya memperjelas pihak yang bertanggung jawab dalam menyusun rancangan undang-undang. Dengan demikian, penggunaan istilah “usulan bersama” terhadap RUU Perubahan UU KPK tidak dikenal dalam teknis legislasi dan berpotensi menciptakan ketidakjelasan pertanggungjawaban antara DPR dan Presiden.
Selain kehilangan sifat “terencana” dan “sistematis” serta ketidakjelasan pengusul, keberadaan RUU Pengampunan Pajak danRUU Perubahan UU KPK juga mengandung permasalahan prosedural. Hingga saat ini belum pernah ada NA maupun naskah RUU yang secara resmi dihasilkan dan dipublikasikan oleh DPR. Padahal Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011 mensyaratkan keberadaan NA dalam pembuatan suatu rancangan undang-undang.
Rekomendasi
Undang-undang tidaklah sekadar teks dan DPR bukanlah pabrik undang-undang. DPR, DPD, dan Presiden sebaiknya menyediakan definisi yang lebih operasional, terutama dalam merespon setiap usulan RUU. Terlalu mudah mendalilkan suatu usulan RUU sebagai pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat (sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e UU 12/2011) akan menimbulkan kompleksitas baru seperti potensi ketidakharmonisan, tumpang tindih peraturan maupun beban secara sosial, politik, dan ekonomi.