Salah satu peristiwa ketatanegaraan penting yang terjadi di pengujung tahun lalu adalah tercapainya kesepakatan bersama antara DPR dan pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau menjadi undang-undang. Kesepakatan itu diambil dalam Sidang Paripurna DPR yang dilaksanakan pada 6 Desember 2022.
Selanjutnya, RKUHP tersebut disahkan (diundangkan) oleh Presiden pada 2 Januari 2023 menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini tentu mengakhiri dinamika panjang pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Dua sisi
Persoalan KUHP Indonesia tentu tidak berakhir hanya dengan disahkannya RKUHP menjadi UU. Terdapat dua sisi yang menjadi sorotan. Pertama, keputusan pengesahan RKUHP ini perlu diapresiasi sebab proses legislasi yang dijalankan dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional tersebut sudah berlangsung sangat lama, berdasarkan catatan Aliansi Nasional RKUHP, digagas sejak digelarnya Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963. Namun, berbagai upaya yang dilakukan tidak kunjung membuahkan hasil.
Kedua, KUHP yang berlaku juga merupakan warisan Pemerintahan Kolonial Belanda, yang diberlakukan secara nasional di Indonesia sejak 1918. Keberadaan KUHP peninggalan Belanda juga tidak sesuai dengan norma hukum yang hidup dalam masyarakat. Meminjam kalimat yang diucapkan Mahfud MD pada Maret 2021, keberadaan KUHP di Indonesia menggusur seluruh hukum yang ada di Nusantara, dari hukum adat hingga hukum pidana agama yang juga mengakibatkan nilai-nilai lokal tergerus.
Karena itu, pengesahan RKUHP ini menjadi sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Selain karena mengakhiri polemik panjang pembahasannya di DPR, juga memberikan kita KUHP sendiri yang substansinya sesuai dengan nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat. Di sisi lain, keputusan DPR bersama pemerintah tersebut juga perlu dikritik sebab diambil saat RKUHP masih banyak mendapat kritik dan penolakan, baik dari segi proses legislasi yang dijalankan maupun dari segi substansi.
Dari segi proses, salah satu persoalan yang selalu menjadi polemik adalah persoalan partisipasi masyarakat. Merujuk kepada putusan MK Nomor 91/PUU-XXIII/2020, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu adanya hak untuk didengar (right to be heard); adanya hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan adanya hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Pertanyaannya, apakah ketiga prasyarat partisipasi publik yang bermakna tersebut telah dilaksanakan dalam pembahasan RKUHP? Berangkat dari dinamika yang ada, partisipasi masyarakat yang bermakna tersebut tentu terlihat belum secara optimal dilaksanakan. Misalnya pada rapat dengar pendapat umum yang dilaksanakan Komisi III DPR pada 14 November 2022 bersama Aliansi Nasional RKUHP.
Pada saat itu, Komisi III secara terang-terangan mengatakan bahwa DPR sebagai wakil rakyat tidak memiliki kewajiban dan tidak memiliki waktu untuk memberikan jawaban atas masukan yang diberikan Aliansi. Komisi III juga menganggap bahwa RDPU yang saat itu dilaksanakan merupakan bentuk kemurahan hati DPR dan karena itu DPR berhak menerima atau tidak menerima masukan bergantung pada kehendak partai-partai politik.
Komisi III secara terang-terangan mengatakan bahwa DPR sebagai wakil rakyat tidak memiliki kewajiban dan tidak memiliki waktu untuk memberikan jawaban atas masukan yang diberikan Aliansi.
Tentu hal tersebut menunjukkan setidaknya dua kesalahan fatal DPR dalam memahami partisipasi publik yang lebih bermakna. Pertama, masukan masyarakat, baik melalui RDPU maupun mekanisme lainnya, bukanlah buah dari kebaikan hati DPR, melainkan bentuk partisipasi publik yang dijamin dalam Pasal 96 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 13/2022 (UU PPP). Dalam hal ini, kewajiban DPR tidak hanya mendengarkan masukan yang diberikan, tetapi juga mempertimbangkan dan memberikan penjelasan atau jawaban atas masukan tersebut sebagaimana tiga prasyarat partisipasi publik yang lebih bermakna sebagaimana ditegaskan MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Kedua, DPR menempatkan kedaulatan rakyat di bawah kedaulatan partai politik karena menganggap bahwa masukan dari masyarakat hanya akan dipertimbangkan apabila partai politik menghendaki. Dalam konteks ini, DPR lupa bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan kedaulatan rakyat sebagaimana Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, bukan berdasarkan atas kedaulatan partai politik.
Dalam konteks partisipasi, masyarakat juga tidak menginginkan secara mutlak masukannya terhadap pasal terkait diterima dan diakomodasi, tetapi lebih pada bagaimana kelanjutan dari masukan yang telah diberikan. Apabila diterima, tentu tergambar dari naskah RUU yang ada. Apabila tidak diterima, yang dibutuhkan masyarakat hanyalah penjelasan mengapa pendapat tersebut tidak diakomodasi. Namun, hal yang demikian tidak pernah terjadi sekalipun MK menyatakan salah satu syarat partisipasi masyarakat yang bermakna adalah adanya hak untuk mendapat penjelasan mengenai pendapat yang diberikan.
Respons pemerintah
Tanggapan pemerintah atas kritik dan penolakan RKUHP disahkan menjadi undang-undang adalah dengan mempersilahkan yang tidak setuju melakukan pengujian undang-undang (judicial review) ke MK. Pola yang sama dalam merespons kritik dan penolakan juga dapat kita lihat dalam proses pembentukan undang-undang lainnya, UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja misalnya.
Ironisnya, meski UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil oleh MK melalui Putusan Nomor 91/PUU- XVII/2020 yang di dalamnya juga menyatakan bahwa perbaikan harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna, pemerintah tetap saja ”lalai” dan mengabaikan pentingnya partisipasi. Hal itu dibuktikan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Tawaran pengujian undang-undang sebagaimana yang disarankan pemerintah tersebut memang merupakan upaya yang diatur secara konstitusional, baik dari segi proses karena tidak memenuhi syarat formil maupun dari segi substansi yang memberikan kerugian secara konstitusional atau bertentangan dengan konstitusi.
Baca juga: Setelah Uji Formil Dikabulkan
Namun, persoalannya adalah sejauh mana judicial review mampu memperbaiki proses pembentukan undang-undang di DPR? Pertanyaan ini muncul apabila mengingat uji formil seringkali kandas tanpa meninggalkan bekas sekalipun dalam proses pembentukan UU a quo terdapat persyaratan formil yang tidak terpenuhi.
Sejak MK didirikan, baru uji formil UU Cipta Kerja yang membuahkan hasil, itupun direspons pemerintah dengan keputusan yang tidak demokratis. Alih-alih menjalankan putusan MK, pemerintah justru meresponsnya dengan membentuk perppu yang secara normatif merupakan peraturan perundang-undangan tidak demokratis.
Selain itu, pengujian formil di MK sering kali hanya menjadi semacam uji checklist karena melihat persyaratan formil hanya sebatas dilakukan atau tidak dilakukan. Hal ini pernah diungkapkan oleh Bivitri Susanti saat memberikan keterangan ahli dalam Perkara Nomor 82/PUU-XX/2022 tentang uji Formil UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sementara itu, substansi dari persyaratan formil itu jarang dinilai. Misalnya dalam hal partisipasi masyarakat yang telah diatur dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XXIII/2020.
Pengujian formil di MK sering kali hanya menjadi semacam uji checklist karena melihat persyaratan formil hanya sebatas dilakukan atau tidak dilakukan.
Akibatnya, muncul klaim ”fiktif” dari pembentuk undang-undang. Misalnya, saat pembuktian di uji formil, pembentuk undang-undang (DPR) mengajukan bukti berupa catatan RDPU dengan berbagai organisasi masyarakat sipil. Namun, dalam klaim yang diajukan DPR tersebut tidak menjelaskan posisi lembaga apakah mendukung atau menolak.
Dalam konteks ini, RDPU yang dilakukan bersama organisasi-organisasi tersebut sekadar untuk justifikasi bahwa partisipasi telah dilakukan. Sementara masukan yang diberikan oleh lembaga-lembaga itu justru tidak dipertimbangkan sama sekali. Hal ini kemudian juga menyebabkan masyarakat setengah hati atau bahkan enggan memberikan masukan apabila suatu RUU yang dibahas DPR mendapat kritik dan penolakan.
Menghormati partisipasi masyarakat
Dalam konteks pembentukan undang-undang, terutama RKUHP, yang diinginkan masyarakat sejatinya bukan soal keharusan masukan yang diberikan diakomodasi, melainkan yang dibutuhkan adalah penghargaan terhadap masukan yang telah disampaikan.
Dalam hal ini, apabila masukan yang diberikan diterima dan diakomodasi, tentu tidak ada persoalan. Namun, apabila tidak diakomodasi, masyarakat akan merasa dihormati apabila pembentuk undang-undang, baik pemerintah maupun DPR, memberikan penjelasan secara tertulis dan secara lisan mengapa masukannya tidak diakomodasi. Apabila itu bisa dilakukan, kritik dan penolakan terhadap proses pembentukan undang-undang akan jauh berkurang.
Beranjak kepada persoalan pengujian formil di MK, sejauh ini pengujian formil di MK belum mampu memperbaiki proses pembentukan undang-undang. Selain karena faktor sulitnya permohonan pengujian formil yang dikabulkan, juga ada persoalan MK yang minim memberikan penilaian terhadap persyaratan formil yang dianggap pemohon tidak terpenuhi karena MK hanya melihat sebatas sudah atau belum dilaksanakan. Untuk itu, agar uji formil di MK tidak terkesan hanya menjadi uji checklist, maka dalam pengujian formil seharusnya kualitas dari persyaratan formil dalam pembentukan undang-undang, khususnya yang dinyatakan pemohon tidak terpenuhi, penilaian secara mendalam perlu dilakukan.
Dalam hal partisipasi masyarakat, misalnya, MK harus menilai sejauh mana keterlibatan partisipasi masyarakat di dalamnya. Apabila ada kelompok masyarakat atau organisasi masyarakat sipil yang disebut oleh pembentuk undang-undang, MK seharusnya menggali argumentasi masukan yang diberikan untuk selanjutnya diakomodasi atau tidak.
Apabila tidak diakomodasi, yang dilihat adalah apakah kelompok masyarakat atau organisasi masyarakat sipil yang bersangkutan mendapat penjelasan atau tidak. Dengan begitu, diterima atau tidak diterimanya masukan yang diberikan, masyarakat dan/atau organisasi masyarakat sipil akan merasa partisipasinya lebih dihargai.
Penulis: Antoni Putra
Tanggal: 11 Februari 2023
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/09/kuhp-uji-checklist-dan-jaminan-partisipasi-masyarakat