Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) inskonstitusional bersyarat karena terdapat cacat formil dalam proses pembentukan.
Melalui putusan tersebut¸ MK memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU a quo dalam waktu maksimal 2 tahun. Apabila dalam waktu dua tahun perbaikan tidak terlaksana, maka berdasarkan putusan tersebut, UU Cipta Kerja dengan sendirinya menjadi inkonstitusional secara permanen.
Materi muatan
Melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja sebagaimana yang diperintahkan MK dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sejatinya bukanlah hal yang sederhana. Terdapat persoalan yang semestinya menjadi perhatian pembentuk undang-undang, yakni persoalan materi muatan dari UU yang disusun menggunakan metode omnibus law.
Dalam sejarahnya, terdapat dua model materi muatan UU omnibus law yang diterapkan di dunia. Pertama, omnibus law dengan materi muatan lintas sektoral (sebagaimana yang diterapkan dalam pembentukan UU Cipta Kerja); dan kedua, omnibus law dengan materi muatan single subject atau hanya untuk mengatur isu-isu spesifik.
Terhadap omnibus law dengan model materi muatan lintas sektoral, model ini merupakan model awal dari penerapan omnibus law dalam pembentukan undang-undang. Materi muatan omnibus law tersebut terinspirasi dari asal kata omnibus yang digunakan untuk menggambarkan apa pun yang dapat dipakai secara bersama-sama sekaligus. Misalnya di Paris, Perancis pada 1820, dikenal istilah ”Bus Omni”, yaitu sebuah kendaraan yang mampu mengangkut banyak orang dan segala jenis barang bawaanya sehingga dapat memudahkan orang-orang untuk bepergian.
Sayangnya, UU omnibus yang memuat materi muatan lintas sektoral justru acapkali menimbulkan masalah.
Omnibus yang bermakna demikian kemudian diterapkan dalam pembentukan UU untuk pertama kali di Amerika Serikat pada 1850 saat pembentukan Omnibus Compromise of 1850. Sayangnya, UU omnibus yang memuat materi muatan lintas sektoral justru acapkali menimbulkan masalah.
Substansi omnibus law.
Dalam pembentukan Omnibus Compromise of 1850 di Amerika Serikat misalnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Miller Marion Mills dalam “Great Debates in American History”, UU yang dikhususkan untuk menyelesaikan persoalan status di wilayah yang diserahkan Meksiko pasca perang Amerika-Meksiko tahun 1846-1848 justru menuai banyak kritik dan penolakan. Peraturan yang menjadi cikal bakal penerapan omnibus law di Amerika Serikat dan dunia ini menyebabkan perdebatan alot yang hampir tak berkesudahan. Padahal UU tersebut hanya berisi lima UU yang mengatur persoalan berbeda.
Di Amerika Serikat, polemik juga seringkali menyertai pembentukan Omnibus Spending Bill atau UU APBN dalam istilah Indonesia yang dikeluarkan setiap tahun. Polemik tersebut muncul karena materi muatan UU Omnibus tersebut dianggap terlalu luas karena selain mengatur masalah keuangan, Omnibus Spending Bill mengatur berbagai perosalan politik, persoalan Pemilu, teknologi, membatasi pengaruh Rusia, hingga persoalan peraturan tentang penggunaan tentara dalam perang.
Persoalan dalam pembentukan omnibus bermateri muatan lintas sektoral juga terjadi di Inggris. Pada 1860, William Gladstone (Chancellor of the Exchequer) mengajukan RUU Omnibus Budget Finance Bill yang substansinya melenceng dari tata cara pembentukan hukum yang sebelumnya dikenal di Inggris Raya, karena mengubah prosedur budgeting dengan memasukkan seluruh proposal keuangan pada tahun itu dalam satu proposal, sekaligus mencabut paper duties. Akan tetapi, House of Lords menolak keseluruhan usulan budgeting tersebut dan meminta agar usulan RUU tersebut disusun dan diajukan ulang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Polemik yang dalam pembentukan UU omnibus dengan materi muatan lintas sektoral tersebut tidak terlepas dari potensi “kejahatan” yang menyertainya. Salah satunya adalah rawan terjadinya praktik penyelundupan hukum (riders). Dalam konteks Indonesia, praktik riders tersebut terjadi dalam pembentukan UU Cipta Kerja, di mana terdapat penambahan subtansi dan perubahan ketentuan yang terdapat di dalamnya setelah UU tersebut disepakati dan disahkan dalam sidang paripurna DPR. (lihat putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 halaman 408-411).
“Single sectoral”
Materi muatan omnibus law yang single sectoral muncul sebagai antitesa atas persoalan-persoalan yang muncul dari pembentukan omnibus law dengan materi muatan lintas sektoral. Di Amerika Serikat misalnya, di mana beberapa negara bagian menerapkan dua ketentuan khusus khusus untuk membatasi materi muatan UU omnibus, yaitu: pertama, pasal-pasal di dalam omnibus law harus saling terkait untuk mencapai sebuah tujuan tertentu (interrelated topics) dan ketentuan yang tidak berkaitan dengan judul akan dianggap tidak berlaku (void). Kedua, tujuan spesifik tersebut merupakan satu subyek (single subject) yang tergambarkan dari judul rancangan undang-undang.
Bahkan untuk UU negara federal, melalui kampanye One Subject at a Time Act yang digagas oleh Rep Ludmya Love dan Sen Rand Paul, masyarakat dan anggota parlemen pernah mendesak penyusunan sebuah undang-undang yang mewajibkan setiap rancangan undang-undang hanya mengatur satu subyek. Tujuan dari kampanye ini adalah untuk mencegah kemungkinan adanya praktik riders sebagaimana yang terjadi dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
Materi muatan omnibus law yang single sectoral muncul sebagai antitesa atas persoalan-persoalan yang muncul dari pembentukan omnibus law dengan materi muatan lintas sektoral.
Apabila pembatasan materi muatan omnibus di AS masih terbatas pada tingat negara bagian, beda halnya dengan Jerman. Negara dengan tradisi hukum civil law tersebut secara tegas memberikan pembatasan yang dituangkan dalam Manual for Drafting Legislation 2008 yang diterbitkan oleh Federal Ministry of Justice dalam rangka memberikan penegasan bahwa omnibus yang dibentuk hanya boleh mengatur satu subyek saja (single subject rules)
Pembatasan materi muatan omnibus law juga diterakan di Belanda, negara yang menjadi salah satu kiblat hukum Indonesia. Meskit tidak dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, UU omnibus di Belanda hanya diperuntukkan bagi isu-isu spesifik dan semua ketentuan atau peraturan yang diubah menggunakan omnibus semua berkaitan dengan judul. Hal itu tergambar dalam pembentukan Omgevingswet (code lingkungan) yang berisi 26 UU dan disahkan pada 2016.
Perbaikan UU Cipta Kerja
Apabila persoalan materi muatan omnibus law ditarik ke konteks penerapannya di Indonesia, terutamanya dalam perbaikan UU Cipta Kerja, maka perbaikan dengan tetap mempertahankan model materi muatan yang lintas sektoral bukanlah suatu hal yang direkomendasikan. Dalam konteks ini, DPR bersama Pemerintah seharusnya memperbaiknya dengan cara memecah UU tersebut menjadi beberapa undang-undang berdasarkan materi muatan yang mengatur sektor sama.
Apabila melihat struktur dari UU Cipta Kerja, pengelompokkan materi muatan tersebut tidaklah terlalu sulit. Dari awal UU Cipta Kerja telah dirumuskan dalam 11 kluster. Apabila ditarik benang merahnya ke arah model omnibus law dengan materi muatan satu sektor atau omnibus law yang sifatnya mengatur satu subyek saja (single subject rules), maka masing-masing kluster tersebut dapat dijadikan undang-undang yang terpisah.
Memecah UU Cipta Kerja menjadi beberapa undang-undang setidaknya akan memberikan dua dampak positif, baik dalam proses perbaikan maupun dalam pelaksanaannya setelah perbaikan. Dari segi proses perbaikan, pembahasan yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam memperbaiki UU Cipta Kerja akan jauh lebih sederhana karena subtansi pembahasannya tidak terlalu luas. Sementara dari segi implementasi, memecah UU Cipta Kerja menjadi beberapa undang-undang akan memudahkan publik dalam memahami subtansinya karena pasal-pasal yang perlu dipahami tidak terlalu banyak dan hanya mengatur satu sektor saja.
Penulis: Antoni Putra
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/26/materi-muatan-omnibus-law-dan-perbaikan-uu-cipta-kerja