Ulang tahun sebuah organisasi biasanya membawa kita ke momentum reflektif; menengok ke belakang, memandang ke sekitar dan menerawang jauh ke depan. Kita membayangkan apa yang seharusnya terjadi. Kita menyesalkan serta menertawakan apa yang pernah terjadi. Kita berharap pada apa yang mungkin terjadi.
Tahun ini, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berusia 22 tahun. Ibarat manusia, dirinya belum lama lulus kuliah, sedang mulai menjelajah dunia kerja dan masih gelisah mencari bentuk. Sebagai organisasi masyarakat sipil menapaki usia 22 tahun, soal kegelisahan mencari bentuk merupakan isu yang sudah selesai. Namun apakah hal itu berarti situasinya status quo? Bagi organisasi dengan mandat riset dan studi dalam kerangka reformasi hukum, kegelisahan merupakan sesuatu yang harus dirawat dan tumbuh-kembangkan.
Apabila kita menengok ke belakang, justru kegelisahaan dari beberapa profesional hukum-lah yang melahirkan PSHK. Kegelisahan tersebutlah yang di kemudian hari mewarnai model serta corak intervensi dan pengembangan jaringan di sektor hukum yang dilakukan PSHK. Kita bisa mengidentifikasi model intervensi dan pengembangan jaringan PSHK sejak awal pendiriannya.
Model intervensi yang pertama adalah dengan melakukan pendekatan atau lobi pada pengambil keputusan; baik dalam ranah peradilan maupun legislasi atau kebijakan hukum lainnya. Hal ini pertama kali dilakukan pada sidang istimewa MPR 1999 ketika para peneliti PSHK menulis mengenai perkembangan ketatanegaraan pada hari-hari pikuk tersebut dan menyebarkan tulisannya ke para anggota DPR/MPR yang bersidang. Semua ini terjadi saat Hamid Chalid menjabat direktur eksekutif PSHK pada tahun 1998-2001.
Model intervensi yang kedua adalah kerjasama dengan pengambil keputusan utama dalam pembentukan kebijakan hukum, yaitu Mahkamah Agung. Aria Suyudi adalah direktur eksekutif PSHK dari 2007-2009 yang sejak awal merintis pola dukungan PSHK untuk kerja-kerja Mahkamah Agung dalam bentuk riset dan studi. Model kerja sama ini kemudian berkembang untuk lembaga negara lain seperti Mahkamah Agung dan di kemudian hari, Bappenas serta KPK. Metode kerja sama ini juga berlanjut dalam program reformasi regulasi yang digagas M. Nur Sholikin bersama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), direktur eksekutif PSHK dari 2015-2019. Pengembangan jaringan ke lembaga donor pembangunan seperti USAID dan DFAT (dahulu AusAid) serta The Asia Foundation untuk memperluas jangkauan hasil studi PSHK mulai menemukan bentuknya pada masa Ibrahim S. Assegaf menjabat sebagai direktur eksekutif pada 2001-2003.
Sementara pengembangan jaringan dengan sesama elemen masyarakat sipil mencapai momentumnya sejak keterlibatan PSHK dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Amandemen Konstitusi sejak 1999; inisiatif yang dimulai oleh Bivitri Susanti sejak menjadi peneliti PSHK hingga dirinya menjadi direktur eksekutif dari 2003 hingga 2007. Model pengembangan jaringan dan intervensi ini kemudian dikombinasikan pada masa Eryanto Nugroho menjabat sebagai direktur eksekutif sejak 2009-2015 dalam bentuk pengelolaan pengetahuan yang kemudian berbuah menjadi pendirian Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera. Kombinasinya adalah pada penggabungan inisiatif untuk mengintervensi pendidikan tinggi hukum dengan mendirikan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera. Dalam perjalanannya, model intervensi kebijakan ikut memperluas jaringan individu di birokrasi yang memiliki ide dan gagasan progresif sehingga memperkaya agenda reformasi hukum yang dilakukan PSHK.
Menjaga Ruang Intervensi Publik Tetap Kritis
Meski menyinggung pada pola intervensi dan pengembangan jaringan yang pernah dilakukan PSHK, tapi tulisan ini bukan bermaksud membawa pembacanya untuk berefleksi pada masa lalu. Toh, hampir semua organisasi masyarakat sipil, baik yang memiliki agenda advokasi ataupun yang tidak, nyaris sudah melakukan intervensinya pada kebijakan sektornya masing-masing. Yang perlu diingat adalah situasi kita sekarang bersumber dari praktik bernegara yang berlanjut kegentingan demokrasi kita pada masa Orde Baru melahirkan ketimpangan, ketidakadilan serta kemiskinan. Hal-hal inilah yang coba dijawab dengan lahirnya berbagai organisasi masyarakat sipil pasca Orde Baru. Perkembangannya kini setelah jatuhnya Orde Baru 22 tahun lalu adalah justru timbul kekhawatiran akan pupusnya relevansi organisasi masyarakat sipil; yang bisa dilihat semakin menciutnya ruang bagi mereka; sebuah istilah yang acap disebut sebagai shrinking civic space oleh Lokataru.
Salah satu bentuk ciutnya ruang tersebut yang diperlihatkan secara telanjang adalah dengan melajunya agenda legislasi sebagaimana kita saksikan di periode akhir DPR 2014-2019. Bersatunya Pemerintah dan DPR melakukan revisi UU KPK padahal nyaris ditolak total oleh semua pemangku kepentingan menunjukkan pembentukan hukum kita seolah terjadi di ruang kedap suara tanpa partisipasi. Penolakan publik yang terbentang dari organisasi pembela lingkungan hingga ekonom merupakan momentum jelas bahwa sebetulnya negara tidak main-main dalam menepikan masyarakat dalam pengambilan kebijakannya.
Namun, ironisnya, dalam penyusunan atau implementasi berbagai kebijakan, negara tetap melibatkan organisasi masyarakat sipil karena kompetensinya dalam berbagai isu. Kita bisa melihat di satu sisi negara meminta masukan dari berbagai individu dan organisasi, mulai dari isu agraria, korupsi hingga draft RUU Omnibus Cipta Kerja. Namun dalam praktiknya kemudian negara seolah abai untuk menyasar dan menjawab berbagai aspek kebijakan yang coba dikritisi oleh individu dan organisasi tersebut.
Kehadiran atau keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam berbagai forum pembahasan acapkali dikemas sebagai persetujuan terhadap rancangan kebijakan tertentu. Apapun narasi yang disampaikan elemen masyarakat sipil; kekuasaan telah mengemas interaksi tersebut sedemikian rupa sehingga unsur kritis yang seharusnya menjadi faktor penentu menjadi gagal hadir. Hal ini menjadi semakin parah ketika organisasi masyarakat sipil yang menjalankan mandatnya untuk mengambil posisi kritis akan kebijakan tertentu; dikemas sebagai lawan politik oleh operator sosial media pro-status quo yang dikenal dengan sebutan pendengung atau buzzer. Posisi kritis berbagai elemen masyarakat sipil diletakkan dalam pojok yang sama dengan lawan politik penguasa.
Dalam situasi seperti ini, ketika pelaksanaan mandat organisasi untuk mengintervensi kebijakan dan perluasan jaringan ditafsirkan secara politis, logika seperti apakah yang dibutuhkan? Inisiatif yang pernah dilakukan PSHK pada masa lalu dengan berjaringan berkoalisi untuk mengawal proses amandemen konstitusi sangat mungkin dimaknai secara politis sekarang. Menjadi mitra pembangunan lembaga luar negeri, meskipun untuk mendukung program pemerintah dengan membuat intervensi kebijakan, bukan tak mungkin dikemas sedemikian rupa seolah membawa agenda asing anti-nasionalis. Kemudian apabila bukan organisasinya yang diserang, individu kritis akan kebijakan Pemerintah rentan dikriminalisasi dan kemudian karakternya diserang sedemikian rupa oleh para operator tersebut via media sosial. Dalam ruang-ruang gelap penuh jebakan anti-demokrasi sekarang inilah, organisasi masyarakat sipil tetap berusaha menjalankan perannya berkontribusi dalam penyusunan kebijakan atau sebagai mitra kritis pemerintah.
Soedjatmoko dalam tulisannya yang berjudul Indonesia: Masalah dan Kesempatan dari pilihan tulisannya Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (LP3ES, 1984) sebetulnya telah mengingatkan hal ini. Meski tak secara spesifik menyebut organisasi masyarakat sipil, Soedjatmoko menyebutkan tentang “tukang jaga demokrasi” yang bertugas “meluruskan, menjernihkan masalah yang terlibat dalam pengambilan keputusan atau perkembangan yang membahayakan kondisi pertumbuhan demokratis”. Soedjatmoko sudah membayangkan adanya situasi anti demokrasi ketika ia menulis kalimat tersebut di tahun 1967; saat Orde Baru baru saja lahir. Terutama sekali, menurut Soedjatmoko, tugas berat yang harus dilakukan adalah “mendesak mundur perbatasan kebebasan dan memupuk kemampuan untuk membela perkembangan yang telah didapat dengan susah-payah”.
Kalimat-kalimat Soedjatmoko yang telah ditulis berpuluh tahun lalu itu menyentak mengingatkan, bahwa mereka yang lahir karena proses demokratisasi haruslah menjadi garda terdepan mempertahankan nilai serta capaiannya. Perlu menjadi daftar periksa bagi setiap organisasi atau individu yang merasa menjadi bagian dari masyarakat sipil apakah pilihannya dalam bertindak menyikapi sebuah kebijakan konsisten dengan perannya sebagai “tukang jaga demokrasi”? Tentu hal ini tidak terbatas pada organisasi yang secara spesifik memangku “demokrasi’ sebagai ruang berkegiatan; namun lintas sektor dari mulai kemiskinan, lingkungan, ekonomi, pendidikan hingga gender. Hal ini menjadi penting karena kita melihat ruang-ruang intervensi kebijakan publik yang telah dirintis dan mulai membuahkan hasil pasca runtuhnya Orde Baru makin terlihat menyempit dan suram.
Perjalanan PSHK dalam melakukan intervensi kebijakan dan perluasan jaringan adalah bagian dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Dalam 22 tahun usia PSHK ini, rintisan jalan serta bangunan pengetahuan secara kelembagaan yang telah dirintis sejak 1998 menemukan batu ujinya yaitu menyempitnya ruang demokrasi. Satu-satunya jalan untuk meluaskan kembali ruang yang kini sempit itu adalah dengan bersama jaringan, baik dalam birokrasi maupun sesama organisasi masyarakat sipil, untuk menegaskan ulang akan komitmennya pada demokratisasi dan negara hukum. Mari berharap pada apa yang mungkin terjadi; yaitu meluasnya kembali ruang intervensi kebijakan publik tersebut berkat agenda bersama jaringan birokrasi dan masyarakat sipil. Mari berharap pada apa yang mungkin terjadi.
Penulis: Gita Putri Damayana