Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 (Putusan 36/2012) terkait dengan Pengujian Undang-Undang Minyak dan Gas memberikan dampak yang signifikan bagi kebijakan pengelolaan Migas pada saat ini dan dimasa mendatang. Putusan MK tersebut telah memberikan batasan-batasan tertentu di dalam format kelambagaan pengelolaan Migas, yakni, dengan mengembalikan model pengelolaan Migas sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina.
Model pendekatan yang diusulkan oleh MK ini memberikan persolan tersendiri, baik secara konstitusional maupun praktek. Secara konstitusional, putusan MK telah gagal mempertimbangkan ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Lebih lanjut, secara praktek Putusan MK telah gagal mempertimbangkan praktek-praktek masa lalu yang tidak juga memberikan manfaat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pada tulisan ini saya akan mengelaborasi beberapa pertimbangan terkait dengan model kelembagaan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012, dengan memperhatikan beberapa kritik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, namun berusaha untuk menyesuaikan usulan format kelembagaan dalam alasan memutus (ratio decidendi) dari MK. Namun demikian, sangat penting untuk mendudukan bahwa ulasan ini memiliki batasan-batasan data dan pembahasan yang sangat subtantif dikarenakan terbatasnya waktu. Oleh karenanya, beberapa asumsi yang digunakan masih perlu untuk diuji kembali validitasnya.
Catatan Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi
Secara umum alasan memutus dari Putusan 36/2012 terbagi menjadi 2 (dua) alasan, khususnya di dalam mendefinisikan ketentuan di dalam Pasal 33 ayat (3). Pertama, pada putusan 36/2012 ini MK mengelaborasi konsep penguasaan negara, yang termaktub di dalam Pasal 33. Walaupun bersepakat pada karakterisasi terhadap konsep pengusaan negara, yang meliputi 5 (lima) fungsi, namun putusan ini menolak pendekatan yang digunakan oleh Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 (Putusan 002/2003), yang dianggap telah mereduksi konsep penguasaan negara. Putusan 002/2003 menempatkan 5 (lima) fungsi ditempatkan di dalam posisi yang setara, sehingga jika pemerintah mampu menunjukan peran di dalam kelima fungsi tersebut maka unsur penguasaan negara di dalam Pasal 33 telah dipenuhi.2
Pada Putusan 36/2012, alasan yang dikemukakan oleh Majelis untuk menolak pendekatan Putusan Nomor 002/2003 ialah dengan mengemukakan alasan bahwa frase menguasai negara harus dikaitkan dengan konsep sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga, jika di dalam penguasaan negara maka tidak memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat maka suatu UU dapat dinyatakan inkonstitusional.3Hal ini merupakan alasan kedua dari, sebagai pelengkap dari alasan tersebut di atas. Putusan 36/2012 menyatakan bahwa terdapat gradasi efektifitas di dalam memaknai konsep penguasaan negara.4 Bagi MK, aspek yang memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ialah MK dengan melakukan pengelolaan langsung terhadap sumber daya yang ada, dalam hal ini Migas. Kemudian baru disusul dengan fungsi kebijakan dan pengurusan, dan fungsi terakhir hanya melakukan pengaturan dan pengawasan.5
Pada analisis terkait dengan BP Migas, sebagai model kelembagaan, MK di dalam Putusan 36/2012 menyatakan bahwa peran terbatas dari BP Migas menghalangi negara untuk melakukan pengelolaan secara langsung dan proses pelaksanaan kegiatannya dilakukan oleh Badan Usaha Negara maupun badan usaha bukan milik negara berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, efisien dan transparan.6 Oleh karenanya, hal ini ada bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Pendekatan yang diajukan di dalam Putusan 36/2012 memiliki beberapa kelemahan. Pertama, MK di dalam Putusan 36/2012, mendasarkan pada asumsi bahwa pengelolaan langsung akan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat yang ditunjukan dengan berapa pendapatan negara yang diterima. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah MK di dalam putusannya tersebut mendasarkan pada sebuah pertimbangan empirk yang tervalidasi, sehingga dapat menyatakan gradasi efektifitas penguasaan negara pada tingkat pertama merupakan bentu yang paling memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Beberapa studi menunjukan bahwa model kelembagaan pengelolaan Migas tidak memiliki korelasi signifikan terhadap “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” – penerimaan negara-. Namun, penerimaan negara lebih ditentukan pada faktor-faktor model kontrak yang dikembangkan antara negara/NOC dengan kontraktor/operator perusahaan Migas.
Persoalan model kelembagaan terkait pada model good governance, bukan pada kecil besarnya penerimaan negara, dimana dalam Industri Migas dikenal dengan konsep seperation function (the Norwegian Model), antara policy dan regulator dengan operasi teknis/bisnis dan model konsolidasi (model Pertamina UU Nomor 8/1971), yang mengkonsolidasikan semua aspek ke dalam satu entitas, umumnya, NOC. Secara konstitusional, berdasarkan Pasal 33 ayat (4), seperation model merupakan bentuk yang masuk ke dalam rumusan “demokrasi ekonomi”. Dimana pada demokrasi ekonomi, selain mendorong partisipasi publik di dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi juga menolak konsentrasi kekuasaan ekonomi pada satu entitas tertentu (monopoli), baik institusi negara ataupun swasta.
Beberapa Pertimbangan Pemilihan Model
Tantangan terbesar dari pemilihan model kelembagaan Migas di Indonesia terletak pada pilihan untuk menghindari kesalahan pada proses pengelolaan Migas di masa lalu (Model Pertamina), sambil memperhatikan konstruksi yuridis sebagaimana dimaksud di dalam Putusan 36/2012. Pada kertas kerja ini posisi yang diambil adalah untuk terus mengadvokasikan seperation function dengan beberapa perbaikan yang luput di dalam model pengelolaan UU Nomor 22/2001. Pengadopsian separation function, didukung oleh beberapa alasan sebagai berikut :
- Secara konstitusional, ketentuan di dalam Pasal 33 ayat (4) merupakan bagian penting untuk mendorong demokrasi ekonomi, yang mendorong partisipasi publik dalam pengambil kebijakan ekonomi maupun menolak konsentrasi kekuasaan ekonomi pada satu entitas;
- Secara praktik, separation functioncocok untuk diterapkan di dalam negara-negara demokratis dimana kompetisi politik dipraktekan dan kapasitas institusi sudah kuat (NOC). Pada konteks Indonesia, kompetisi politik sudah dipraktekan. Kapasitas institusi, terkait dengan kemampuan teknis operasional entitas bisnis, pasca refokus Pertamina sebagai entitas bisnis murni, kemampuan kapasitas Pertamina, bahkan kapasitas perusahaan swasta nasional Migas sudah semakin mumpuni.
- Konsepsi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara telah mengalami perubahan dan reposisi. Mengembalikan model kelembagaan Migas kembali ke UU Pertamina, berpotensi untuk mengorbankan prinsip kedaulatan negara pada bidang Migas.
Namun demikian, mengembalikan model seperation function ke UU Nomor 22/2001 juga tidak tepat, karena berpotensi untuk menjadi inkonstistusional berdasarkan Putusan 36/2012. Salah satu model yang perlu dipertimbangkan adalah seperation function dengan memandatkan pengikusertaan BUMN di dalam setiap pengelolaan blok Migas.
Skema yang dibangun adalah Pemerintah, melalui kementerian memegang kuasa pertambangan – tanpa diserahkan kepada BUMN tertentu-, kemudian melakukan penawaran blok secara terbuka, dengan syarat bagi pihak swasta –baik nasional ataupun bentuk usaha tetap- untuk mengikusertakan proses pengelolaan blok kepada BUMN dengan participation agreement –Joint Venture ataupun Join Operation, dengan komposisi keikustertaan (hak partisipasinya) ditentukan dengan batas minimal tertentu dalam undang-undang. Hubungan hukum antara pemerintah dan gabungan BUMN & Swasta, dapat dikendalikan melalui Kontrak Kerjasama, baik berupa PSC ataupun Kontrak Jasa.
Gagasan ini mempersyaratkan beberapa hal, diantaranya adalah bahwa BUMN migas di Indonesia tidak boleh dilakukan oleh satu entitas bisnis, namun dilakukan oleh beberapa entitas bisnis BUMN.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka konstruksi di dalam Undang-Undang yang harus dibangun adalah sebagai berikut :
1.Pemerintah :
- Pemegang kuasa pertambangan;
- Melakukan penawaran blok;
- Melakukan hubungan kontraktual (konsensi ?) dengan operator melalui skema kontrak kerjasama sebagai instrumen pengendalian;
- Melakukan pengendalian dan pengaturan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas secara umum.
2.BUMN :
- Terdiri dari beberapa BUMN Migas, yang terpisah dan melakukan praktek bisnis secara independen; dan
- Melakukan kegiatan pengelolaan blok Migas secara mandiri atau secara bersama-sama dengan swasta nasional ataupun asing, melalui kontrak kerjasama partisipasi.
3.Swasta Nasional/Asing :
- Melakukan kegiatan pengelolaan blok Migas bersama-sama dengan melakukan kontrak kerjasama partisipasi di dalam pengelolaan Migas.
Prasyarat :
- Diperlukan pendirian beberapa BUMN migas baru; dan
- Dibutuhkan kapasitas permodalan yang kuat bagi BUMN di dalam melakukan kegiatan Joint Venture-nya, dapat dihubungkan dengan kebutuhan pengembangan Petroleum Fund.
Kesimpulan
Pada model kelembagaan Migas, separation function model merupakan pilihan terbaik bagi kelembagaan di Indonesia. Namun demikian, mengembalikan kepada model UU Nomor 22/2001 bukan merupakan bukan pilihan karena akan berbenturan dengan Putusan 36/2012. Oleh karenanya, kebijakan yang harus diambil ialah untuk mengatur terkait dengan operasionaliasi bisnis di dalam pengembangan sebuah blok Migas. Penawaran pengelolaan blok Migas harus direncanakan secara terbuka, dengan melakukan penawaran terhadap beberapa peserta BUMN, baik secara mandiri ataupun dengan melakukan Joint Venture/Operation dengan pihak swasta baik asing maupun nasional.
Namun demikian, pengujian dan pengkajian lebih mendalam masih perlu dilakukan, terutama sekali terkait dengan feasibilitas usulan ini masih perlu diuji terutama terkait dengan bisnis industri Migas, termasuk di dalamnya mengkaji implikasinya terhadap investasi industri Migas di Indonesia.
Daftar Bacaan
Benny Lubiamtara, Ekonomi Migas : Tinjaun Aspek Komersil Kontrak Migas, Grasindo, 2012;
Ernest E. Smith, International Petroleum Transactions, 3rd Edition, Rocky Mountain Mineral Law Foundation, 2010;
Mark Thurber, et al., The Limits of Institutional Design in Oil Sector Governance : Exporting the “Norwegian Model”.
Tengku Nathan Machmud, The Indonesian Production Sharing Contract, Kluwer Academic Publishers, 2000.
*Ditulis oleh: Giri Ahmad Taufik (Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia – 2014)
2Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012, hlm. 100
3Ibid, hlm.101
4Ibid, hlm.101
5Ibid, hlm.102
6Ibid, hlm.105