Disahkannya penggunaan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (28/4), sangat kontroversial. Bukan hanya karena keributan yang terjadi lantaran keputusan tidak diambil secara demokratis. Akan tetapi, secara substansi penggunaan hak angket ini juga terlihat sangat diwarnai kepentingan DPR untuk melindungi anggota-anggotanya dari jerat hukum.
Hak angket ini dilakukan terhadap Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan dipicu oleh penolakan KPK atas permintaan Komisi III DPR untuk menyerahkan rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, anggota DPR dari Partai Hanura, setelah rapat dengar pendapat DPR dengan KPK pada 17-18 April 2017. Pemeriksaan itu terkait penyebutan nama-nama anggota Komisi III DPR yang-menurut penyidik KPK-menekan Miryam agar mencabut keterangannya dalam kasus KTP elektronik (KTP-el).
Hak angket dan politik
Secara undang-undang, hak angket memang dimiliki oleh DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan lembaga legislatif. Hak angket DPR merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang serta kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket diatur dalam Pasal 70 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Bersama dengan hak angket, tersedia pula hak bertanya atau interpelasi dan hak menyatakan pendapat.
Kita bisa berdebat soal “pelaksanaan suatu undang-undang serta kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat”. Penafsiran atas suatu pasal memang bisa dibahas panjang lebar, tetapi penting untuk melihat konsep dan tujuan hak angket ini serta penerapannya pada kasus KTP-el untuk menilai ketepatan penggunaannya.
Perbedaan besar antara hak angket dan kerja-kerja lain dalam fungsi pengawasan DPR sehari-hari terletak pada kekuatan memaksa yang dimiliki dalam pelaksanaan hak angket. Berbeda dengan rapat-rapat biasa dalam rangka fungsi pengawasan DPR, dalam hak angket, DPR bisa memaksa lembaga yang diperiksa menyerahkan dokumen dan memaksa saksi-saksi untuk hadir.
Perbedaan kedua terletak pada opini publik yang terbentuk. Hak angket secara politik dapat membentuk opini masyarakat karena skala kerjanya yang besar. Keluarannya biasanya berupa kesimpulan dan rekomendasi. Misalnya hak angket Bank Century pada 2010 yang berakhir dengan voting untuk menyatakan dana talangan Bank Century menyimpang. Perlu dicatat, sebagian besar rekomendasi hak angket Bank Century tidak terlalu efektif apabila dibandingkan dengan “drama” dan ongkos pelaksanaan hak angket itu sendiri.
Penting untuk digarisbawahi, hak ini tidak termasuk dalam rangkaian proses peradilan (pro justitia). Tujuan utama hak angket memang biasanya untuk memberi tekanan politik. Hak DPR untuk menyelidiki, dan bisa diikuti dengan menyatakan pendapat, dibutuhkan oleh lembaga legislatif mana pun dengan pijakan dasar perannya sebagai lembaga yang mewakili rakyat. Dalam sistem parlementer, biasa dikenal dengan nama “parliamentary questioning“. Sementara dalam sistem presidensial, kita bisa melihatnya pada “house inquiry” di AS sewaktu Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dicecar pertanyaan karena serangan di Benghazi 2012.
Masalahnya, garis pembatas antara mengawasi dan mendorong kepentingan politik DPR sangat tipis sehingga ukurannya harus kasuistis. Dalam kasus KTP-el ini, yang perlu dijadikan batu uji adalah kepentingan langsung DPR dalam kasus ini dan dampaknya bagi proses penegakan hukum.
Mengacaukan proses penegakan hukum
Anggota DPR punya kepentingan langsung yang sangat kuat dalam kasus KTP-el. Sudah banyak nama anggota yang disebut dalam sidang pengadilan, sebab alokasi anggaran proyek KTP-el tentu saja membutuhkan persetujuan DPR. Kepentingan langsung ini bahkan tak bisa ditutupi dalam naskah pengajuan hak angket yang dibahas dalam rapat paripurna 28 April lalu. Tertulis jelas dalam naskah tersebut, DPR secara khusus menyoroti “persoalan pencabutan BAP oleh Sdri Miryam S Haryani dalam persidangan kasus E-KTP karena dugaan mendapat tekanan dari 6 (enam) anggota Komisi III DPR RI.. hal tersebut menjadi polemik di masyarakat dan menempatkan DPR RI dalam sorotan sebagai lembaga yang tidak pro terhadap program pemberantasan korupsi”.
Terlihat jelas kepentingan DPR untuk melindungi lembaganya meski langkah ini justru semakin menurunkan wibawa DPR di mata publik. Konflik kepentingan DPR sangat jelas sehingga permintaan ini sebenarnya sudah melanggar etik.
Naskah pengajuan hak angket memang menuliskan pula hal-hal lainnya, seperti dugaan konflik internal di tubuh KPK dan tata kelola informasi publik. Namun, bukankah hal-hal tersebut dapat diurai dan dijelaskan dalam rapat dengar pendapat biasa dan tidak memerlukan hak angket? Seperti dijelaskan di atas, memang salah satu pembeda terpenting hak angket adalah kekuatannya untuk memaksa dan menekan. Indikasi kepentingan ini juga bisa kita lihat dari rangkaian peristiwa yang mendahuluinya. Diungkapkan dalam “Diskusi Satu Meja” yang diulas juga oleh harian Kompas (Selasa, 25 April 2017), hal-hal tersebut sudah disetujui untuk ditindaklanjuti oleh KPK dalam rapat dengar pendapat 17-18 April 2017. Pada saat itu, KPK hanya menolak menyetujui poin keempat, yaitu untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani. Alasannya, rekaman itu sudah merupakan bagian dari proses penegakan hukum.
Memang, permintaan rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan sebenarnya dapat mengacaukan proses penegakan hukum. Jika proses penyidikan dapat dibuka dengan mudah, apalagi oleh lembaga politik, langkah-langkah maupun argumentasi hukum yang sedang disiapkan oleh lembaga penegak hukum terbaca dengan jelas. Akibatnya, bisa ada langkah-langkah hukum sampingan, seperti pencemaran nama baik, yang akan membuyarkan fokus penegak hukum pada kasus utamanya. Bahkan, bisa jadi ada langkah menyembunyikan ataupun mencelakakan pihak-pihak yang dianggap bisa membahayakan posisi aktor tertentu. Harus diingat, kasus KTP-el ini melibatkan banyak aktor politik kelas kakap dan aktor pendukung modal di belakangnya.
Karena itulah, bahkan dalam UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU No 14/2008) dinyatakan bahwa informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum dikecualikan sebagai informasi yang bisa diakses oleh publik. Informasi semacam ini hanya dapat dibuka oleh penegak hukum semata-mata untuk tujuan penegakan hukum. Jika mau dibuka, ruang pengadilanlah tempatnya. Salah satu acuannya adalah rekaman pemeriksaan terkait kasus “Cicak-Buaya” yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi. Jelas, ruang sidang DPR bukan tempatnya.
Tidak hanya dari segi substansi, dari segi prosedur pun keputusan dalam rapat paripurna tersebut sesungguhnya tidak sah karena tidak sesuai dengan prosedur pengambilan keputusan di DPR. Pimpinan DPR kelihatannya tidak paham bahwa pimpinan DPR bukanlah jabatan pimpinan serupa direktur ataupun jabatan struktural lainnya dalam hal pengambilan keputusan. Pimpinan DPR adalah juru bicara (speaker of the house) dan pemimpin sidang. Pimpinan DPR bertugas memandu jalannya sidang agar ada kesepakatan, sedangkan pengambil keputusan adalah seluruh anggota DPR.
Maka, sepanjang masih ada anggota yang tidak setuju, keputusan tidak bisa diambil. Pengambilan keputusan harus diambil dengan kuorum dan dengan kesepakatan anggota. Tiga fraksi bahkan keluar dari ruang sidang karena keputusan yang diambil secara terburu-buru tersebut. Dengan demikian, keputusan ini tidak sah. Anggota dan fraksi yang tidak setuju semestinya melayangkan protes untuk membatalkan keputusan ini, bahkan bisa mengambil langkah hukum.
KPK tak perlu jawab
Apabila DPR tak mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan konstituennya dan tetap jalan terus untuk menggunakan hak angket, KPK sesungguhnya punya hak untuk tidak memberikan dokumen dan menjawab pertanyaan DPR jika terkait dengan penegakan hukum. Argumentasi yang digunakan KPK sebelumnya mengenai informasi yang sudah terkait proses penegakan hukum sudah sangat jelas dan tegas. Dalam negara hukum, bagaimanapun, tekanan politik tidak boleh mengacaukan proses penegakan hukum.
Penggunaan hak angket ini terlihat sangat diwarnai oleh DPR yang merasa terusik dengan penolakan KPK untuk memberikan dokumen yang diminta. Jika model-model tekanan seperti ini dibiarkan, niscaya pembongkaran kasus yang melibatkan politisi tidak akan pernah terungkap. Padahal, kita paham, banyak sekali korupsi yang dilakukan oleh politisi karena keputusan mengenai penggunaan anggaran negara memang harus dilakukan oleh lembaga politik.
Sekali lagi publik berada di belakang KPK. Lembaga perwakilan yang menghambat pemberantasan korupsi telah mengkhianati aspirasi warga dan tidak perlu didukung.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul “Bukan Kepentingan Publik”.