Rencana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) beberapa waktu lalu menuai banyak pemberitaan media. Dua agenda revisi undang-undang ini didorong oleh Pemerintah, tepatnya oleh Kementerian Hukum dan HAM. Untuk yang belum tahu perbedaannya, kurang lebih ilustrasinya adalah seperti ini. Bila di suatu hari yang naas Anda ditangkap polisi, maka bagaimana Anda ditangkap sampai ditahan serta bila rumah Anda digeledah; itu semua diatur dalam KUHAP. Sementara menggunakan pasal apakah Anda didakwa serta dituntut oleh jaksa di pengadilan maka itu berdasarkan KUHP.Jadi bila Anda berurusan dengan aparat penegak hukum; bagaimana prosedur mereka berinteraksi dengan Anda diatur dengan KUHAP sementara dalam konteks apa aparat berhubungan dengan Anda sebagai warga negara; diatur oleh KUHP.
Menjawab pertanyaan mengapa KUHAP perlu direvisi, jawabannya adalah: ya. Mengingat KUHAP adalah dasar hukum negara untuk merampas kemerdekaan warga (ingat, penangkapan dan penahanan berarti Negara, atas nama hukum, telah merampas kemerdekaan warganya) maka pasal-pasalnya harus sedetil mungkin agar tidak terjadi penafsiran bebas oleh aparat di lapangan.
Dalam prakteknya sejak KUHAP diundangkan pada tahun 33 tahun lalu pada tahun 1981; ternyata pasal-pasal di KUHAP tidak mampu melindungi hak warga secara maksimal. Contohnya pasal 18 ayat 1 tentang penangkapan menyebutkan bahwa tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan pada keluarga tersangka segera setelah penangkapan. Dalam prakteknya, kata “segera” didefinisikan sesuai kondisi lapangan saja; tidak ada batas waktu maksimal. “Segera” bisa diartikan 12 jam sampai berhari-hari. Mengenai kewenangan penahanan dari penyidik dan penuntut umum pun bisa memakan waktu berhari-hari; ketika perkara masih dalam proses penyidikan oleh polisi dari maksimal 20 hari bisa diperpanjang 20 hari lagi. Ketika berkas perkara sampai ke jaksa; demi kepentingan perkara, masih bisa ditahan 20 hari dengan peluang diperpanjang sampai 30 hari lagi. Apabila dihitung, total waktu seseorang ditahan untuk kepentingan perkara melebihi hari berpuasa di bulan Ramadhan. Penahanan itu sendiri semua tanpa ijin pengadilan; artinya diskresi dari penyidik sangat besar. Untuk bisa mengajukan penangguhan penahanan pun semuanya ditentukan oleh penyidik lagi.
Mungkin kita bisa berpikir, bukankah itu resiko seorang yang melakukan kejahatan? Yang sering kita semua lupa adalah dijadikannya seseorang tersangka bukan berarti ia sudah terbukti bersalah. Jadi, kemungkinan seseorang yang tidak bersalah atau nilai kesalahannya nyaris tak berarti harus melewati semua proses ini cukup besar.
Contoh di atas hanyalah sekelumit ilustrasi bahwa potensi terlanggarnya hak-hak warga masih belum terjamin di KUHAP kita sehingga agenda revisi KUHAP menjadi salah satu komponen terpenting dalam reformasi hukum kita. Pertanyaannya kemudian, apabila dipandang urgen; mengapa tidak diagendakan sesegera mungkin?
Secara teknis, bila menyelesaikan RUU KUHAP sekarang maka masalahnya bila hendak diselesaikan pada masa sidang DPR periode ini, yang tersisa tinggal beberapa minggu menjelang pemilu legislative tanggal 9 April 2014. Menurut Komite Pemantau KUHAP, meski RUU KUHAP sudah dicanangkan sebagai bagian dari Program Legislasi Nasional 2014, Komisi III DPR tidak pernah membahas materinya secara serius. Hasil pemantauan Komite, seringkali dalam rapat-rapat pembahasan hanya dihadiri oleh 11-12 orang. Ke depan, agenda DPR akan disibukkan oleh pemilu legislative apalagi bila mengingat 90% anggota DPR akan mencalonkan diri lagi.
Sementara dari sisi materi, masih banyak pihak seperti KPK dan Polri yang berkepentingan untuk membahas muatan RUU KUHAP. Naskah yang beredar sekarang masih memiliki kekurangan materi pengadopsian warga penyandang disabilitas, jaminan bahwa tahanan perempuan akan dipisah oleh tahanan lelaki serta adanya hakim komisaris yang mampu mengontrol diskresi aparat penegak hukum dalam penangkapan dan penahanan. Titik temu antara banyaknya pemangku kepentingan dari RUU KUHAP ini pun sampai sekarang belum terjadi.
Mengingat luasnya cakupan materi dan fakta bahwa pembahasan yang dilakukan oleh pembuat UU seperti tersandera oleh agenda pemilu yang diharapkan para pemangku kepentingan, terutama masyarakat sipil; maka adalah menjadi rasional tuntutan untuk menunda pembahasan RUU KUHAP. Menunda pembahasan RUU KUHAP pada saat ini adalah pilihan terbaik; bukan karena konstitusionalitas anggota DPR yang membahasnya menurun karena banyaknya anggota DPR terlibat korupsi. Melainkan karena merevisi peraturan sepenting KUHAP haruslah dilakukan dengan seksama dan melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan karena hasilnya akan mengikat kita semua.
Waktu yang tersisa serta agenda politik yang terbentang menjadikan nyaris mustahil bagi anggota DPR periode 2009-2014 untuk membahasnya secara serius. Kita perlu mengubah KUHAP karena ketertinggalannya melindungi hak-hak kita namun keterbatasan yang ada membuat tak mungkin untuk mengharapkan dituntaskan dalam masa persidangan DPR sekarang. Hal ini menjadikan tugas kita bersama untuk memilih anggota legislatif periode 2014-2019 kelak yang akan bertanggung jawab menyusun undang-undang dengan sebaik-baiknya karena tetes tinta mereka akan mengatur kita.
Ditulis oleh: Gita Putri Damayana (Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia/PSHK)
Dimuat di majalah Esquire edisi Mei 2014, Revisi KUHAP: Sebuah Urgensi Nasional