Partai Perindo sebagai peserta pemilu hendak membuka ruang mencalonkan kembali Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang telah dua periode menjabat, pada Pemilu 2019. Partai ini mengajukan pengujian konstitusi undang-undang (constitutional review) kepada Mahkamah Konstitusi (MK)atas batang tubuh dan penjelasan ketentuan Pasal 169 huruf n Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ketentuan itu mengatur bahwa seseorang dapat mencalonkan diri sebagai wakil presiden jika belum pernah menduduki jabatan wakil presiden paling lama dua periode, baik berturut-turut ataupun tidak berturut-turut.
Dalam permohonan pengujian ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajukan diri sebagai pihak terkait di Mahkamah Konstitusi. Sebelum mendampingi Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk periode 2014-2019, Jusuf Kalla adalah mantan wakil presiden di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004-2009.
Terhadap perkara ini, MK seharusnya menolak pengujian yang dimohonkan.
Tafsir gramatikal
Dalam pengujian konstitusi undang-undang, MK berwenang untuk menilai kesesuaian suatu norma undang-undang dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Kewenangan itu dipengaruhi oleh pemahaman bahwa konstitusi merupakan sumber hukum tertinggi di suatu negara. Dalam proses menilai kesesuaian itu, pasal-pasal di dalam konstitusi dijadikan sebagai batu uji keberlakuan ketentuan dibawahnya.
Terhadap isu masa jabatan wakil presiden, hanya terdapat satu pasal UUD 1945 yang mengatur, yakni pada Pasal 7. Pasal itu berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Secara gramatikal, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 sebenarnya telah jelas mengatur dua hal, yakni batas masa jabatan dan batas periode menjabat bagi presiden dan wakil presiden .
Ketentuan mengenai batas masa jabatan dapat dilihat dari kalimat: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun”. Kalimat itu berarti satu periode jabatan presiden dan wakil presiden adalah selama lima tahun. Setelah selesai menjabat, maka harus dilaksanakan pemilihan umum kembali.
Sedangkan ketentuan mengenai periode jabatan dapat dilihat pada kalimat berikutnya: “dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Berdasarkan kalimat itu, jika seseorang telah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, maka ia hanya berkesempatan untuk menduduki jabatan yang sama satu kali lagi. Dengan kata lain, yang dibatasi oleh konstitusi adalah jumlah periode menjabatnya, yakni dua periode. Dengan demikian jika seseorang telah menjabat wakil presiden selama dua periode, maka hilang kesempatannya untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden untuk ketiga kalinya.
Dalam asas penafsiran hukum dikenal adagium interpretatio cessat in Clarisatau plain meaning rule, yang berarti penafsiran berhenti ketika suatu teks atau pasal telah jelas.
Tafsir sejarah dan maksud pembentukan pasal (original intent)
Ketentuan Pasal 7 UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan atau amandemen tidak mengatur secara tegas berapa kali seseorang dapat dipilih sebagai presiden atau wakil presiden. Indonesia melakukan perubahan UUD 1945 (amandemen) dari tahun 1999 sampai 2002.
Ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang lama menyebabkan presiden atau wakil presiden yang menjabat sebelum perubahan UUD 1945 dapat menjabat lebih dari dua periode. Ini dibuktikan dengan mantan presiden Soeharto bisa menjabat hingga ketujuh kalinya.
Langkah membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden pertama kali muncul pada Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Melalui sidang itu, MPR menerbitkan TAP MPR No. XIII/MPR/1998 untuk membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. TAP MPR itu hanya berisi satu pasal yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Keinginan membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden ini kemudian dipertahankan dalam pembahasan perubahan UUD 1945. Pada sesi pandangan umum, setiap fraksi menyampaikan maksudnya untuk mengubah Pasal 7 UUD 1945 mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden .
Pada tahap pembahasan, muncul dua pandangan mengenai rumusan pasal 7 UUD 1945.
Pandangan pertama, menggunakan ketentuan TAP MPR No. XIII/MPR/1998, bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya satu kali masa jabatan”.
Sedangkan pandangan kedua, diusulkan fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), berisi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali setelah tenggang waktu tertentu.”
Terhadap usulan pertama, Harun Kamil, Fraksi Utusan Golongan, selaku ketua rapat menjelaskan maksudnya adalah sesudah Presiden menjabat satu periode, boleh menjabat sekali lagi, kemudian tidak boleh selamanya. Sedangkan untuk usulan kedua, Fraksi PDIP melalui juru bicaranya, Aberson Marle Sihaloho, menjelaskan maksudnya adalah kalau dia sudah dua kali berturut-turut, dia tidak boleh lagi dipilih, tapi kalau ada tenggang waktu, satu periode misalnya, dia bisa lagi”.
Dalam pembahasan berikutnya, Fraksi PDIP kemudian berubah pikiran karena menganggap usulannya sudah terwakili dengan rumusan pertama. Ketentuan mengenai Pasal 7 itu kemudian disepakati menjadi ketentuan dalam UUD 1945 perubahan pertama.
Perbandingan dengan negara lain
Pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden merupakan salah satu ciri utama sistem pemerintahan kepresidenan.
Pembatasan itu ditujukan untuk menutup keran munculnya rezim otoritarianisme oleh pemegang kekuasaan eksekutif, seperti yang terjadi pada rezim Orde Baru.
Latar belakang lahirnya pembatasan masa jabatan ini dipengaruhi oleh sejarah ketatanegaraan di Amerika Serikat. Yang memperkenalkan ide pembatasan masa jabatan presiden ini pertama kali adalah Presiden Amerika Serikat pertama, George Washington (1789-1797). Dia menolak menjabat untuk ketiga kalinya sebagai Presiden karena menyadari jika semakin lama seseorang menjabat, maka semakin mengurangi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Sikap Washington itu bertahan sebagai kebiasaan ketatanegaraan yang mengikat baik Presiden maupun Wakil Presiden Amerika Serikat.
Pada perkembangannya, melalui amandemen ke-22 pada tahun 1951, kebiasaan ketatanegaraan itu diatur tegas dalam konstitusi Amerika Serikat. Pada amandemen ke-22 ini berbunyi “no person shall be elected to the office of the President more than twice” atau “tidak ada orang yang dipilih menjadi presiden dua kali”.
Lahirnya amandemen itu karena Presiden Franklin Delano Roosevelt melanggar kebiasaan ketatanegaraan dengan menjabat hingga 4 periode. Meskipun amandemen ke-22 hanya membatasi periode jabatan Presiden, hingga kini tidak pernah ada Wakil Presiden Amerika Serikat yang menjabat lebih dari 2 periode.
Dari paparan di atas, terlihat bahwa batasan menjabat selama dua periode, tidak dapat sekadar dipandang sebagai pilihan kebijakan penyusun UUD 1945. Melainkan kental dengan nilai historis sistem pemerintahan kepresidenan, yang bertahan lebih dari dua abad lamanya. Yang lebih penting lagi, pembatasan masa dan periode jabatan adalah komponen penting demokrasi untuk menghindari otoritarianisme.
Salah forum
Di berbagai belahan dunia, model pembatasan masa dan periode jabatan presiden dan wakil presiden memang berbeda-beda. Dalam konteks masa jabatan, pembatasan itu berkisar dari empat hingga tujuh tahun.
Variasi juga muncul dalam pembatasan periode jabatan. Untuk jabatan wakil presiden, setidaknya ada empat model:
- maksimal dua periode, baik berturut-turut atau berselang seperti di Indonesia dan Filipina
- menjabat 2 periode, dan kemudian dipilih kembali untuk 2 periode setelah satu periode masa tenggang yaitu seperti di Argentina dan Brasil
- terbatas hanya pada satu periode seperti di Paraguay
- satu periode tanpa batas pencalonan ulang di Amerika Serikat.
Namun perlu diingat, dalam konteks Amerika Serikat, wakil presiden terikat oleh kebiasaan ketatanegaraan untuk menjabat tidak lebih dari dua kali.
Berbagai model pembatasan masa dan periode jabatan di atas tentu erat kaitannya dengan sejarah, kebiasaan ketatanegaraan dan desain relasi dan tanggung jawab presiden dan wakil presiden suatu negara. Dalam konteks Indonesia, dari sisi gramatikal, sejarah, dan maksud pembentukan pasal (original intent) UUD 1945 telah jelas mengatur mengenai batas masa dan periode jabatan wakil presiden.
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, MK melalui fungsi utamanya sebagai penjaga konstitusi seharusnya menolak permohonan pengujian konstitusi undang-undang ini.
Sementara itu, pihak pemohon, jika tetap hendak mencalonkan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden lagi meski pun dia sudah menjabat dua periode, maka forum yang tepat adalah melalui perubahan UUD 1945 di Majelis Permusyawaratan Rakyat.
================================================================================
Penulis: Mulki Shader
=================================================================================