SALAH satu isu ketatanegaraan yang terus mengemuka sebelum pemilihan umum (pemilu) adalah persoalan aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Keberadaan syarat itu dinilai tidak lagi relevan dengan pemilu serentak, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden dan pemilihan anggota legislastif yang dilaksanakan secara serentak di hari yang sama.
Saat ini, ketentuan tentang tersebut terdapat pada Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam UU itu, ambang batas yang mesti dipenuhi partai politik dan/atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau memiliki perolehan suara nasional 25 persen berdasarkan hasil pemilu legislatif sebelumnya.
Ketentuan ini sudah berulangkali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan pengujian terhadap presidential threshold sudah dilakukan saat pemilu presiden (piplres) masih merujuk pada UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Hingga saat ini, dengan merujuk pada catatan rekapitulasi perkara di website MK, ketentuan presidential threshold sudah diuji sebanyak 37 kali. Dalam lima tahun terakhir saja, terdapat 22 perkara yang diputus MK.
Banyaknya permohonan yang diajukan tersebut sejatinya adalah bukti bahwa penerapan presidential threshold bermasalah.
Sayangnya, dari jumlah putusan tersebut, tidak sekalipun MK mengabulkan permohonan yang diajukan. Putusan terakhir adalah putusan Perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Salah satu alasan yang terus dikemukakan dalam mendukung adanya presidential threshold adalah untuk menjaga stabilitas pemerintahan.
Namun alasan ini sesungguhnya tidak masuk akal, sebab tidak ada jaminan partai politik peserta pemilu sebelumnya akan memperoleh suara yang sama di pemilu berikutnya. Misalnya partai politik di pemilu sebelumnya, yakni Pemilu 2019, tidak ada jaminan akan memperoleh suara yang sama di Pemilu 2024. Bahkan tidak ada jaminan partai yang bersangkutan akan memenuhi ambang batas (parliamentary threshold) empat persen dari jumlah suara sah secara nasional agar dapat memperoleh kursi di DPR sebagaimana ketentuan Pasal 414 UU Pemilu.
Selain itu, keberadaan presidential threshold juga tidak sesuai dengan desain sistem presidensial sebagaimana yang dianut Indonesia. Sebab, presiden mendapatkan mandat langsung dari rakyat karena dipilih melalui pemilu, sehingga cabang kekuasaan legislatif serta yudikatif seharusnya tidak dapat memengaruhi proses pencalonan.
Secara teoritis, penggunaan hasil pemilu legislatif untuk mengisi jabatan eksekutif adalah pola sistem pemerintahan dalam sistem parlementer.
Dari sudut pandang konstitusi, dengan merujuk pada UUD 1945, yakni Pasal 6A ayat (2), secara eksplisit mengatur bahwa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional partai politik, tanpa adanya ambang batas sebagaimana yang diterapkan saat ini.
Dalam konteks ini, konstitusi mengatur secara eksplisit atau tegas (expresis verbis), di mana bila kita merujuk pada teori konstitusi, maka hal itu seharunya telah menutup celah untuk menafsirkan secara berbeda dari teks yang ditulis konstitusi itu sendiri, seperti menerapkan adanya ambang batas pencalonan presiden.
Dari segi studi komparasi, dengan melihat praktek di negara lain, misalnya Amerika Serikat yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial atau Timur Leste yang merupakan negara tetangga terdekat Indonesia, kedua negara tersebut sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden.
Dalam konteks Timur Leste, negara tersebut memiliki 16 calon presiden pada Pemilu yang dilakukan pada awal tahun ini, padahal negara itu hanya memiliki jumlah penduduk sekitar 1,4 juta jiwa. Kontras dengan Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari 270 juta jiwa.
Mempersempit ruang gerak masyarakat
Mempertahankan presidential threshold hanya akan berdampak pada memburuknya sistem demokrasi. Hal itu terjadi karena persyaratan tersebut menutup peluang adanya pilihan calon presiden yang beragam bagi masyarakat. MK sebagai penjaga konstitusi justru mengamini hal tersebut dengan terus menolak permohonan judicial review yang diajukan.
Tidak hanya itu, dari beberapa putusan yang dikeluarkan, MK juga mempersempit ruang gerak masyarakat sipil. Hal ini terjadi karena MK membatasi yang siapa yang dapat menjadi pemohon pengujian undang-undang dalam perkara ambang batas pencalonan presiden, yakni hanya partai politik dan/atau gabungan partai politik.
Tentu hal ini sangat menyakitkan, karena yang dirugikan dari adanya ketentuan ini bukan hanya partai politik, tapi juga masyarakat yang memiliki hak pilih dalam pemilu.
Dalam memutus judicial review terkait ambang batas pencalonan presiden, MK menutup mata pada prinsip kedaulatan rakyat yang menempatkan kehendak rakyat pada posisi tertinggi. MK dalam banyak putusannya menyatakan bahwa pengaturan ambang batas pencalonan presiden sebagai open legal policy dari pembentuk undang-undang.
Namun hal ini juga berada pada posisi dilematis, sebab adanya ketentuan ambang batas ini jelas hanya menguntungkan kekuatan politik tertentu yang memiliki kursi mayoritas di DPR, sehingga penghapusan ambang batas pencalonan presiden di DPR akan sulit terwujud.
Selain itu, bila mengingat praktek pembentukan undang-undang yang selama ini terjadi, mengharapkan penghapusan presidential threshold kepada pembentuk undang-undang juga akan seperti mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Selama ini, dalam pembentukan undang-undang, keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh seberapa besar pembentuk undang-undang memiliki himpitan kepentingan (conflict of interest) dengan norma atau undang-undang itu sendiri.
Sementara dalam penghapusan presidential threshold hanya partai politik yang memiliki kursi minoritas di DPR yang mendukung, sehingga upaya penghapusan melalui proses legislasi hampir mustahil untuk dilakukan.
Selain itu, kondisi partai politik yang ada juga tidak dalam keadaan baik-baik saja. Kita bisa melihat beragam konflik di dalamnya, termasuk dengan menerapkan kepemimpinan partai hanya berdasarkan silsilah keluarga.
Kondisi partai politik yang demikian hanya akan menjadikan ambang batas pencalonan presiden sebagai alat untuk memperkuat oligarki partai politik, di mana calon yang diusung tidak akan jauh dari orang-orang yang berpengaruh di partai atau memiliki hubungan “mesra” dengan pertinggi partai, sekalipun yang bersangkutan bukanlah pilihan yang ideal.
MK seharusnya melakukan peran dan fungsi konstitusionalnya mengoreksi atau melakukan review terhadap substansi undang-undang. Dalam konteks ini, MK seharusnya memberikan prioritas pada pemenuhan hak konstitusional (constitutional rights) maasyarakat sebagai perwujudan dari pemenuhan daulat rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Sayangnya, MK gagal dalam mewujudkan hal itu. Sehingga, apa yang katakana Yusril Ihza Mahendra yang menuding MK bukan lagi the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi the guardian of oligarchy menjadi masuk akal.
Pasalnya, MK terus mempertahankan syarat pencalonan presiden yang tidak lagi memiliki relevansi dengan sistem pemilu yang dijalankan. Dalam perkara ini, meski MK tidak merumuskan norma baru, namun putusan yang dikeluarkan dalam pengujian materil UU Pemilu terkait presidential threshold adalah putusan yang menyakitkan.
Tidak dapat dipungkiri, putusan tersebut menghilangkan esensi dari kedaulatan rakyat dan berpotensi menjelma menjadi putusan yang menguatkan oligarki partai politik.
Editor : Egidius Patnist
Penulis: Antoni Putra