Rentetan serangan terorisme yang muncul beberapa waktu belakang menghangatkan kembali pembahasan Rancangan Undang-Undang Terorisme. Pembahasan rancangannya sebenarnya sudah bergulir setelah serangan teror di Jalan Thamrin jakarta, pada Januari 2016. Revisi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Terorisme itu diposisikan untuk melengkapi produk hukum anti-terorisme setelah adanya Undang-Undang Pemberantasan Terorisme dan Undang-Undang Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
Perubahan regulasi seharusnya menggabungkan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan keamanan nasional dan perlindungan hak asasi manusia. Bila hanya menyandarkan pada pendekatan keamanan, pemberantasannya akan bernuansa represif belaka. Adapun bila hanya mendasarkan pada pendekatan hak asasi manusia, implikasinya adalah tidak efektifnya penanganan terorisme.
Pendefinisian ini menyangkut sejauh mana batasan tindak terorisme dan kompleksitas pembuktiannya. Apabila frasa “motif politik” dimasukkan, pendakwaan harus juga membuktikan adanya motif politik dalam perbuatan terdakwa.
Selain itu, pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan untuk memasukkan tindakan persiapan dalam rancangan. Tindakan persiapan ini akan menjadi pembeda yang sangat nyata dengan undang-undang yang ada. Dengan dimasukkannya tindakan persiapan, pelaku yang memiliki niat dan melakukan perbuatan permulaan sudah dapat ditindak melalui mekanisme sistem peradilan pidana.
Hal ini juga akan menghindarkan pembunuhan di luar hukum ketika pelaku baru menyandang status terduga. Dengan adanya klausul tindakan persiapan, pelaku dapat dinyatakan sebagai tersangka persiapan terorisme. Pendekatannya pun dilakukan melalui sistem peradilan pidana, yaitu penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan.
Prinsip dalam menentukan definisi terorisme ini harus sesuai dengan prinsip negara hukum, yaitu lex certa (ketentuan harus sejelas mungkin), lex scripta (diatur secara tertulis), dan lex stricta (diatur secara ketat dan tidak membuka ruang untuk tafsir berbeda). Ketiga prinsip ini harus menjadi pertimbangan obyektif bagi pembentuk legislasi.
Persoalan lainnya adalah kewenangan upaya paksa dalam penangkapan, penahanan, dan penyadapan. Soal penangkapan tidak perlu ada penambahan waktu penangkapan karena masa penangkapan bukan dihitung mulai dari perintah penangkapan diterima, melainkan pertemuan penyidik dengan tersangka.
Soal kewenangan penahanan perlu dievaluasi. Insiden berdarah di Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI di Depok Jawa Barat, dua pekan lalu, menunjukkan persoalan serius dalam penahanan, terutama pemisahan lokasi tahanan dengan narapidana.
Persoalan lainnya adalah pelibatan Tentara Nasional Indonesia. Undang-Undang TNI memang sudah mengatur soal operasi militer selain perang, yang salah satunya adalah untuk mengatasi aksi terorisme. Namun hal ini seharusnya menunggu aturan yang lebih lanjut, seperti Undang-Undang Tugas Perbantuan. Pelibatan TNI harus diletakkan dalam kerangka proporsionalitas dan kebutuhan.
Namun, menurut undang-undang, terorisme adalah tindak pidana. Untuk itu, penanganannya harus melalui sistem peradilan pidana. TNI bukanlah aktor dan tidak memiliki kewenangan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana.
Terorisme adalah musuh bersama dan pemberantasan terorisme harus menjadi agenda prioritas. Penguatan sistem deteksi, pencegahan, dan penindakan perlu dilakukan. Namun itu harus dilakukan dalam koridor prinsip-prinsip hukum, proporsionalitas dalam penindakan, dan identifikasi terhadap akar persoalannya.
================================================================================
Dikutip dari: https://kolom.tempo.co/read/1091187/menimbang-rancangan-undang-undang-terorisme
Penulis: Miko Susanto Ginting
=================================================================================