Wajah representasi rakyat hasil Pemilu 2014 mulai mengisi “kursi-kursi” di DPRD. Pelantikannya sudah dimulai lebih cepat dari wakil rakyat di DPR. Sesuai penetapan KPU, terdapat 13.525 kursi untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota dan 1.770 kursi anggota DPRD Propinisi. Ribuan wakil rakyat di DPRD ini yang akan mengatur dan mengurus daerah masing-masing secara mandiri bersama eksekutif. Mereka akan memproduksi beragam peraturan daerah sejalan dengan kewenangan legislasi yang dimiliki. Salah satu cara untuk membawa kemajuan atau malahan menciptakan kemunduran daerah masing-masing.
Peraturan daerah sebagai intrumen hukum di daerah memiliki dua peran pokok yaitu mengatur lebih lanjut regulasi pusat dan mengatur daerah sesuai kondisi masing-masing. Ada dua sumber kepentingan yang menjadi wilayah pengaturan peraturan daerah. Pertama, kepentingan pemerintah pusat untuk menjalankan kebijakan pembangunannya sampai di tingkat daerah. Kedua, kepentingan daerah sebagai realisasi kemandirian dalam desentralisasi. Pada tataran normatif, pembatasan peran peraturan daerah tersebut nampak jelas. Namun tak jarang muncul persoalan dalam praktik pembentukan peraturan daerah. Dasar permasalahannya beragam bisa karena alasan politik maupun perbedaan kebijakan pembangunan pemerintah (pusat) dengan daerah.
Peraturan daerah sebagai instrumen hukum dapat disalahgunakan untuk alat politik tertentu. Menarik simpati publik bagi penguasa daerah untuk kepentingan Pilkada sehingga materi muatan peraturan daerah menjadi terabaikan. Konsistensi terhadap peraturan yang lebih tinggi bahkan konstitusi juga menjadi persoalan. Di sisi lain, konstelasi politik di tingkat pusat dengan daerah juga dapat menjadi sebab bagi kegagalan peraturan daerah untuk memajukan daerah. Pemerintah daerah dengan “warna” politik yang berbeda dengan pemerintah pusat (Presiden dan koalisinya) dapat mempengaruhi implementasi program pembangunan nasional. Kondisi ini menjadi pendorong gagalnya peraturan daerah untuk mencapai tujuan desentralisasi yaitu mensejahterakan masyarakat.
Pembentuk peraturan daerah (legislator daerah) dituntut untuk piawai dalam menjalankan fungsi legislasinya. Tak hanya menjadi kepanjangan pemerintah pusat dengan membentuk peraturan daerah sebagai tindaklanjut peraturan yang lebih tinggi. Namun, juga mampu memanfaatkan peraturan daerah untuk menggali potensi di daerah. Bukan sebaliknya, membuat peraturan daerah yang malah menambah persoalan atau beban baru bagi masyarakat di daerah. Anggota DPRD sekarang harus mampu menjauhi pakem membuat perda hanya berkutat soal retribusi daerah, pajak daerah, atau soal organisasi daerah. Inovasi gagasan dan kebijakan diperlukan untuk menguatkan penerapan desentralisasi.Peraturan daerah sebagai instrumen hukum memiliki sifat yang memaksa. Masyarakat tak bisa mengelak untuk mentaatinya. Namun jika tak suka, masyarakat dapat menempuh prosedur hukum untuk mengujinya melalui judicial review di Mahkamah Agung. Sifat perda ini seharusnya digunakan oleh legislator daerah untuk mendorong atau bahkan memaksa perbaikan terjadi di daerahnya.
Di sisi lain, pemerintah (pusat) juga perlu mendorong terciptanya peraturan-peraturan daerah yang mendukung kemajuan daerah. Langkah tersebut dapat dimulai melalui penataan kelembagaan dalam memfasilitasi pembentukan peraturan daerah. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan selama ini menjadi lembaga yang memiliki peran fasilitasi pembentukan peraturan daerah. Masing-masing memiliki peran yang dalam praktiknya sering terjadi tumpang tindih maupun inefisiensi. Oleh karena itu, perlu penataan kelembagaan dan fungsi sehingga tidak menjadi beban bagi daerah dalam menyusun peraturan daerah. Salah satu bentuk kontrol terhadap peraturan daerah adalah pengawasan yang dilakukan melalui executive review oleh pemerintah maupun judicial review oleh Mahkamah Agung. Namun, kedua mekanisme tersebut belum efektif bekerja. Persoalan pengaturan teknis pengawasan melalui dua langkah tersebut juga perlu dilakukan perbaikan. Pembahasan RUU Pemerintahan Daerah oleh DPR saat ini menjadi momen penting bagi penataan kembali sistem yang mengatur pembentukan peraturan daerah. Untuk mendorong terbentuknya peraturan daerah yang mendukung kemajuan daerah serta munculnya legislator baru yang memberi harapan kemajuan.
Sebagai penutup, beberapa tahun terakhir muncul Bupati/Walikota (eksekutif) yang memberi harapan baru bagi perubahan di daerahnya. Mendorong ketertiban melalui penegakan hukum, meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, menata lingkungan, memperbaiki pelayanan publik dan dorongan lainnya merupakan sebagian contoh inovasi yang didorong oleh pemimpin daerah. Selama ini, pubik hanya dikenalkan penggerak inovasi lokal dari kalangan eksekutif. Walikota Surabaya, Walikota Bandung, Bupati Banyuwangi adalah beberapa pemimpin daerah yang sudah diakui inovasinya dan masih ada beberapa yang lain. Kini saatnya menaruh harapan baru untuk anggota DPRD baru menciptakan gagasan atau kebijakan inovatif melalui pembentukan peraturan daerah yang secara riil mampu menggerakkan perubahan dan perbaikan di daerah.