Tahukah Anda bahwa dari hampir 8 miliar total penduduk dunia, hanya 3,1% (sekitar 250 juta) yang dapat menikmati ruang sipil yang terbuka?
Pada 2021, CIVICUS, jaringan pemantau kebebasan sipil melaporkan bahwa lebih dari separuh populasi global hidup di negara-negara dengan kondisi ruang sipil yang menyempit, terhalang, direpresi, atau tertutup. Indonesia sendiri masuk dalam kategori negara yang terhalang ruang sipilnya.
Istilah civic space atau ‘ruang sipil’ dalam terjemahan bebas, merujuk pada akses dan perlindungan seperangkat hak asasi di bidang sipil dan politik. Ini mencakup kebebasan berpendapat dan berekspresi, berkumpul dan berserikat, serta mengakses dan berbagi informasi.
Praktik ruang sipil berkaitan erat dengan hak masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam perumusan kebijakan, hak bagi individu atau kelompok pembela hak asasi manusia (HAM) untuk membela kepentingan publik, serta hak bagi organisasi masyarakat sipil untuk mendapatkan iklim dan akses sumber daya yang mendukung kerja-kerja advokasinya.
Lebih jauh, krisis penyempitan ruang sipil tidak hanya telah merenggut sebagian besar kebebasan masyarakat, tetapi juga menjadikan para pembela HAM – kelompok yang selama ini bekerja untuk membela kebebasan sipil – sebagai kelompok rentan baru.
Sayangnya, meski krisis ini dilaporkan terjadi di seluruh dunia, respons negara-negara terhadap fenomena ini masih jauh dari harapan. Dalam gelaran G20 yang diketuai oleh Indonesia tahun ini pun, isu ruang sipil masih belum masuk dalam agenda pembahasan prioritas.
Penyebab menyempitnya ruang sipil
Ada banyak penyebab penyempitan ruang sipil. Namun, dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, penyebabnya didominasi oleh obsesi negara terhadap pembangunan.
Dalam mewujudkan obsesi tersebut, negara senantiasa membutuhkan stabilitas politik. Masalahnya, logika “pembangunanisme” kerap memandang bentuk kebebasan sipil – seperti kritik terhadap pemerintah, protes, aksi demonstrasi, dan resistensi publik lainnya – sebagai gangguan bagi stabilitas politik. Akibatnya, penguasa sebisa mungkin berupaya menjinakkan potensi gangguan yang datang dari masyarakat tersebut.
Negara juga seringkali mengklaim bahwa menurunnya kualitas hak-hak sipil merupakan harga yang setimpal untuk upaya meningkatkan hak ekonomi melalui janji-janji pembangunan. Ini merupakan karakter pemikiran Orde Baru.
Bagi negara, cara paling ampuh untuk “menjaga” stabilitas politik yang mereka harapkan adalah dengan membuat aturan hukum dan kebijakan yang membatasi individu atau kelompok untuk menikmati hak sipilnya, atau, lebih parah lagi, dalam bentuk tindakan represif negara melalui aparaturnya.
Contoh modus pemberangusan kebebasan sipil dapat dilihat dari kehadiran polisi siber yang memantau aktivitas warganet. Ada juga wacana pemberlakuan kembali pasal penghinaan presiden dan lembaga negara dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sementara itu, contoh tindakan represif di antaranya adalah penangkapan terhadap pengunjuk rasa, pembubaran organisasi masyarakat tanpa proses hukum, kriminalisasi aktivis, jurnalis, akademisi atau aktor masyarakat sipil lainnya.
Dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), negara berkewajiban untuk bersikap pasif, karena tugas mereka sebenarnya hanya menjamin dan melindungi kebebasan sipil warganya.
Artinya, segala kebijakan yang berdampak pada pengurangan hak sipil dan politik warga dapat dikategorikan sebagai intervensi. Bahkan, apabila dibuat tanpa dasar yang sah, intervensi seperti itu sama halnya dengan pelanggaran HAM.
Pembela HAM menjadi kelompok rentan
Kerja-kerja kritis dari kelompok pembela HAM sangat berisiko mendapat pembalasan negatif dari pihak-pihak yang merasa terganggu oleh kehadiran mereka, baik dari negara maupun dari sektor swasta.
Rasa terganggu itu kerap dibalas dengan ancaman, teror, kriminalisasi, gugatan, bahkan hingga pembunuhan terhadap sejumlah aktivis HAM.
Sewaktu kriminalisasi terjadi, negara kerap mengobral retorika seperti “silakan buktikan di pengadilan”. Padahal, tidak mudah bagi para pembela HAM untuk membela diri akibat adanya ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelapor.
Di satu sisi, pihak korban biasanya hanyalah warga negara biasa, sementara pelapornya merupakan pejabat yang mempunyai kuasa politik untuk memengaruhi keputusan lembaga penegak hukum, bahkan peradilan.
Penyempitan ruang sipil kemudian menjadi semakin parah ketika banyak masyarakat yang cenderung menormalisasi pembungkaman ini. Di Indonesia, kondisi ini dapat dikaitkan dengan kemunculan kelompok pendengung (buzzer) yang selama ini diyakini menjadi perpanjangan tangan penguasa di ruang maya.
Para buzzer yang diduga memiliki relasi kepentingan dengan kekuasaan ini kerap menggiring persepsi publik dan menggencarkan stigma negatif terhadap kerja-kerja pembela HAM, seperti melabeli mereka sebagai kelompok anti-pembangunan, pembela separatis, anti-Pancasila, dan seterusnya. Penggiringan opini seperti itu pada akhirnya turut memupuk prasangka buruk terhadap kerja-kerja pembela HAM di mata masyarakat awam.
Dengan adanya penggiringan opini dan faktor ketimpangan relasi kuasa, ketika terjadi kriminalisasi terhadap pembela HAM, publik awam cenderung mendukung pembungkaman yang dilakukan alih-alih mengutuk tindakan negara tersebut. Kasus kriminalisasi terhadap aktivis Veronica Koman pada 2019 silam jadi bukti nyata kerentanan pembela HAM.
Urgensi memperluas ruang sipil
Berbeda dengan logika “pembangunanisme” pemerintah yang cenderung mewajarkan penyempitan ruang sipil dengan dalih pertumbuhan ekonomi, agenda pembangunan berkelanjutan mensyaratkan adanya ruang sipil yang lebih terbuka.
Ini bisa berupa upaya penciptaan iklim politik yang inklusif, responsif, dan partisipatoris pada setiap tingkat pengambilan keputusan.
Gagasan ini sejalan dengan pandangan peraih penghargaan Nobel Ekonomi tahun 1998, Amartya Sen, bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan, pertama-tama kita harus menghapuskan dulu sumber-sumber ketidakbebasan individu agar semua orang bisa menjalankan perannya sebagai individu merdeka. Sumber ketidakbebasan itu termasuk iklim dan kebijakan politik negara yang menghalangi partisipasi warga.
Ruang kebebasan sipil yang terbuka memungkinkan masyarakat untuk memaksimalkan potensi diri dan kreativitasnya, sehingga bisa terlibat secara produktif dan bermakna dalam proses penyusunan kebijakan.
Masyarakat sudah seharusnya memegang kendali atas berbagai keputusan kebijakan yang akan berdampak ke mereka, alih-alih hanya diposisikan sebagai penonton.
Pendekatan seperti ini akan mampu menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah yang terus merosot. Hal ini sekaligus menghindari terciptanya konflik vertikal antara masyarakat sipil dan negara yang seringkali menuntut ongkos penyelesaian yang mahal.
Dalam konteks fenomena penyempitan ruang sipil, perhelatan multilateral tingkat tinggi seperti G20 sebenarnya bisa menjadi wadah yang strategis untuk bersama-sama mencari solusi.
Jumlah populasi 20 negara tersebut mencapai lebih dari setengah populasi dunia. Artinya, seandainya forum G20 berhasil menyepakati perluasan ruang sipil sebagai komitmen bersama, maka setengah populasi dunia mungkin bisa menikmati kebebasan sipil yang lebih baik.
Langkah konkret yang bisa dilakukan Indonesia, paling tidak, adalah mendorong pembentukan kelompok kerja khusus civic space untuk presidensi G20 di tahun-tahun mendatang.
Penulis: Auditya Saputra