Lebih dari seminggu sesudah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja disetujui menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah pada Senin, 5 Oktober 2020, publik masih belum dapat mengakses naskah resmi peraturan yang pertama kali diwacanakan oleh Presiden Joko Widodo tersebut.
Hingga 13 Oktober 2020, berbagai pesan berantai dan kiriman warganet di kanal-kanal media sosial mensirkulasikan setidaknya tiga versi non-resmi naskah RUU Cipta Kerja, dengan jumlah halaman bervariasi: 905, 1.035, dan 812 halaman. Sementara itu, laman resmi DPR hanya menyediakan satu versi naskah RUU Cipta Kerja, yaitu draf setebal 1.028 halaman usulan presiden yang disampaikan sebagai lampiran Surat Presiden bertanggal 7 Februari 2020.
Tak hanya masyarakat biasa, sejumlah anggota DPR bahkan sempat menyatakan tidak mengetahui draf final RUU Cipta Kerja yang telah melalui proses persetujuan bersama di Rapat Paripurna lalu. Padahal, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan DPR dan pemerintah untuk menyebarluaskan setiap rancangan undang-undang sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga ketika diundangkan nanti menjadi undang-undang yang sah.
Abainya DPR dan pemerintah dalam memberikan akses atas draf final RUU Cipta Kerja kepada masyarakat merupakan pelanggaran atas prosedur pembentukan undang-undang. Namun, tak hanya terjadi pada tahap akhir menjelang disahkan, setidaknya empat pelanggaran prosedur juga telah mewarnai perjalanan pembentukan peraturan ini sejak awal proses penyusunan.
Empat pelanggaraan prosedur
Pertama, pemerintah mengabaikan partisipasi publik sejak tahap penyusunan. RUU Cipta Kerja mulai disusun pada akhir 2019 oleh pemerintah di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Selama proses penyusunan itu, pihak pemangku kepentingan yang akan terdampak—seperti kelompok buruh—tidak dilibatkan sama sekali. Padahal, pemerintah sejak awal mengklaim bahwa RUU itu disusun dengan tujuan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Selain itu, publik juga sulit memperoleh naskah RUU Cipta Kerja yang sedang disiapkan pemerintah. Bukannya menyediakan akses yang terbuka bagi publik untuk mendapatkan naskah resmi, pemerintah pada saat itu justru mengklaim draf RUU Cipta Kerja yang beredar luas di publik melalui media sosial dan pesan berantai sebagai hoaks. Langkah pemerintah yang serba tertutup itu bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan keharusan penyediaan partisipasi masyarakat yang diatur dalam Pasal 5 dan 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kedua, DPR memotong tahapan dalam proses pembahasan. Pembahasan RUU Cipta Kerja dilaksanakan oleh Badan Legislasi yang berisi 80 anggota DPR dari 9 fraksi di DPR. Mengacu Pasal 155 ayat (1) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, seluruh materi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta Kerja harus dibahas terlebih dahulu dalam Rapat Kerja Badan Legislasi.
Faktanya, Badan Legislasi justru langsung membentuk Panitia Kerja dan menyerahkan proses pembahasan DIM RUU Cipta Kerja kepada Panitia Kerja tanpa dibahas terlebih dahulu dalam Rapat Kerja Badan Legislasi. Pemangkasan proses itu mencederai prinsip keterwakilan fraksi mengingat jumlah anggota Panitia Kerja hanya separuh dari jumlah anggota Badan Legislasi, dan tidak semua fraksi memiliki perwakilan di dalam Panitia Kerja itu.
Ketiga, DPR melakukan pembahasan pada masa reses. Meskipun hal itu tidak dilarang, Pasal 1 angka 13 dan Pasal 239 ayat (2) Tata Tertib DPR menentukan bahwa masa reses seharusnya digunakan oleh para anggota DPR untuk mengunjungi daerah pemilihannya dalam rangka menyerap aspirasi konstituen. DPR beralasan, situasi pandemi Covid-19 memaksa mereka untuk mempercepat proses pembahasan dengan menggunakan masa reses.
Namun, sejumlah kalangan membalikkan argumentasi itu: dengan alasan yang sama yaitu situasi pandemi, DPR seharusnya memprioritaskan pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi, bukan justru membahas sebuah RUU yang tidak memiliki urgensi di tengah masa kedaruratan kesehatan masyarakat.
Keempat, DPR dan pemerintah memasukkan materi yang belum pernah dibahas. Dalam naskah yang dibawa ke Rapat Paripurna, terdapat materi dari tiga undang-undang terkait perpajakan yang dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja, yaitu UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, dan UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
Padahal, selama proses pembahasan sejak April hingga akhir September, berdasarkan dokumen pembahasan yang dapat diakses oleh publik, materi itu belum dibahas secara memadai dan tanpa konsultasi publik. Pemerintah sendiri sejak awal telah mengusulkan RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian sebagai salah satu dari tiga RUU omnibus—selain RUU Cipta Kerja dan RUU Ibu Kota Negara—yang diajukan pemerintah ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020.
Karakter omnibus yang problematik
Sejak pemerintah menentukan bahwa RUU Cipta Kerja disusun dengan metode omnibus, para akademisi telah mengidentifikasi sejumlah pelanggaran prosedur yang akan terjadi dalam proses pembentukan RUU itu. Sebagai sebuah metode pembentukan peraturan, omnibus tidak dikenal di dalam sistem legislasi Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Di negara dengan tradisi common law,seperti Amerika Serikat dan Australia, undang-undang omnibus lazim digunakan untuk mengatur berbagai persoalan multisektor dan mengamendemen berbagai undang-undang lain secara sekaligus.
Menurut Massicotte (2013), pembentukan RUU dengan teknik omnibus menguntungkan bagi pemerintah sebagai pengusul karena waktu pembahasannya di parlemen lebih singkat jika dibandingkan dengan proses pembahasan secara terpisah-pisah atas sejumlah undang-undang berbeda. Di sisi lain, karakter RUU omnibus yang rumit, kompleks, dan secara fisik lebih tebal daripada RUU biasa, dianggap menyulitkan pihak oposisi untuk melakukan analisis dan melancarkan kritik atasnya. Apabila diberlakukan, undang-undang omnibus juga sulit dipahami oleh masyarakat umum. Padahal, peraturan yang baik adalah peraturan yang dirumuskan dalam bahasa dan format yang sederhana agar mudah dipahami oleh semua orang.
Lebih dari 40 negara bagian di Amerika Serikat bahkan melarang penggunaan metode omnibus dalam penyusunan RUU karena dianggap dapat membuka peluang masuknya pasal titipan yang menguntungkan pihak tertentu secara tidak transparan. Konstitusi California misalnya, menentukan bahwa sebuah undang-undang hanya boleh mengatur tentang satu topik tertentu—ketentuan yang sering disebut sebagai single subject rule.
Sementara di negara bagian Quebec, Kanada, pengaturan mengenai pembahasan RUU omnibus diatur secara khusus dalam tata tertib parlemennya. Hal yang sangat berbeda terjadi di Indonesia: pemerintah menyusun RUU omnibus meskipun tidak ada dasar legitimasi yang memungkinkan metode itu diterapkan, sementara DPR membahas RUU itu tanpa memiliki pedoman yang memadai tentang cara pembahasan RUU omnibus.
Preseden buruk omnibus dan perbaikan ke depan
Pemerintah mengklaim metode penyusunan undang-undang dengan omnibus dapat mengurangi jumlah regulasi yang terlalu banyak—meskipun pada kenyataannya belum tentu demikian mengingat RUU Cipta Kerja mendelegasikan ratusan materi untuk diatur lebih lanjut dalam puluhan peraturan pelaksana. Namun, menggunakan metode omnibus sebagai strategi untuk membenahi kompleksitas problem regulasi adalah langkah keliru.
Persoalan regulasi di Indonesia bukan hanya soal jumlah, atau yang biasa disebut “hiper-regulasi”. Kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan indonesia bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2019 menemukan, kondisi hiper-regulasi hanya merupakan gejala di permukaan, sementara akar permasalahan yang menyebabkan semrawutnya regulasi di Indonesia, antara lain, adalah tidak sinkronnya perencanaan legislasi dengan perencanaan pembangunan, absennya mekanisme pemantauan dan peninjauan regulasi dalam siklus legislasi, dan tidak adanya otoritas khusus yang menangani persoalan manajemen regulasi.
Preseden RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan omnibus memberikan nama buruk bagi metode itu di mata publik. DPR harus melakukan evaluasi atas penggunaan metode itu. Jika ingin mengaturnya, perubahan menyeluruh atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan harus segera dilakukan.
Sepanjang teknik omnibus belum memiliki dasar pengaturan yang jelas, pemerintah dan DPR sebaiknya tidak menggunakan metode itu dalam pembentukan regulasi ke depan. Selain ketiadaan dasar hukum, karakteristik omnibus yang dikhawatirkan oleh para akademisi sejak awal—seperti proses pembahasan yang terburu-buru dan mengabaikan partisipasi pemangku kepentingan—pun terbukti.
Langkah selanjutnya: uji formil
RUU Cipta Kerja telah disetujui oleh DPR bersama presiden. Kini, tinggal menunggu pengesahan oleh Presiden Jokowi dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal persetujuan. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa apabila dalam batas waktu itu presiden tidak menandatangani RUU yang sudah disetujui di DPR, RUU tersebut tetap sah menjadi Undang-Undang sehingga dapat langsung diberi nomor dan diterbitkan dalam Lembaran Negara.
Langkah tidak menandatangani RUU yang sudah disetujui pernah dilakukan oleh Presiden Jokowi terhadap revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) tahun lalu. Saat itu penolakan masyarakat terhadap revisi tersebut sangat kuat, dan Presiden Jokowi mengambil langkah politik itu seakan-akan menunjukkan keberpihakannya pada keberatan masyarakat. Padahal, langkah itu sama sekali tidak memiliki dampak hukum terhadap keberlakuan revisi UU KPK.
Sama seperti RUU Cipta Kerja, revisi UU KPK tahun lalu juga diajukan oleh pemerintah, sehingga sulit menerima logika bahwa presiden akan menolak undang-undang usulannya sendiri. Seandainya Presiden Jokowi pada akhirnya tidak menandatangani RUU Cipta Kerja, hal itu dapat dilihat sebagai sebuah manuver politik untuk merespons tekanan publik, tetapi tidak berdampak hukum terhadap keberlakuan UU Cipta Kerja.
Logika yang sama dapat pula digunakan untuk melihat opsi penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut atau menunda pelaksanaan UU Cipta Kerja. Meskipun jalur itu disediakan oleh konstitusi sebagai instrumen yang dapat digunakan oleh presiden dalam situasi kegentingan yang memaksa, tetapi publik telah memahami bahwa subjektivitas presiden justru mengingingkan UU Cipta Kerja diberlakukan sesegera mungkin.
Dengan demikian, upaya hukum tersisa yang dapat dilakukan oleh publik adalah mengajukan permohonan pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Selain pengujian secara materiil atas pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, pengujian secara formil terhadap keabsahan proses pembentukan undang-undang juga sangat relevan menimbang begitu banyak prosedur yang dilanggar.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 36 huruf c Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, jika uji formil dikabulkan, maka UU Cipta Kerja kehilangan kekuatan hukumnya.
Meskipun belum sekali pun Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji formil atas suatu undang-undang, langkah itu layak ditempuh setidaknya untuk memastikan ketegasan sikap perlawanan masyarakat terhadap kepentingan sesaat pemilik modal yang—ironisnya—diwakili oleh pemerintah dan DPR.
Penulis: Rizky Argama