Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada tahun 2002 di saat tampuk kekuasaan negara dipegang oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Pada saat itu, kejaksaan dan kepolisian dianggap terlalu kotor, sehingga tidak efektif dalam melakukan penegakan hukum pemberantasan korupsi. Jauh sebelum KPK benar-benar dibentuk, ide akan adanya lembaga khusus yang melakukan pemberantasan korupsi sudah muncul di awal reformasi, saat tampuk kekuasaan dipegang oleh Presiden BJ Habibie. Hal itu ditandai dengan lahirnya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Selain itu, juga dibentuk sejumlah komisi atau badan, seperti KPKPN, KPPU dan/atau lembaga Ombudsman.
Saat tampuk kekuasaan dipegang oleh Presiden Abdurrahman Wahid, juga sebuah tim gabungan yang dipimpin oleh Hakim Agung Andi Andojo yang bernama “Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” (TGPTPK). Sayangnya, tim ini bubar setelah judicial review di Mahkamah Agung. Di saat yang bersamaan, korupsi semakin mekar, tumbuh bak jamur di musim huja yang membutuhkan upya serius untuk memberantasnya. Berdasarkan hal tersebut, lahirlah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang menjadi dasar berdirinya KPK.
Sepanjang perjalannya, UU KPK yang menjadi dasar berdirinya KPK terus diupayakan untuk dilakukan perubahan oleh sejumlah pihak. Namun, upaya-upaya untuk melakukan perubahan atau revisi terhadap UU KPK tersebut seringkali kandas karena mendapat penolakan secara massif dari publik. Hingga pada akhirnya, di penghujung 2019, UU KPK direvisi melalui UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Revisi yang dilakukan pada 2019 tersebut meninggalkan sejumlah masalah. terjadi pengabaian prinsip-prinsip pembenteukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga banyak pihak menilai bahwa revisi teresebut cacat secara formil karena mengabaikan banyak ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), sementara dari segi subtansi perubahan juga dinilai melemahkan KPK dalam memberantas korupsi.
Sementara itu, dari segi waktu proses pembentukan, Perubahan UU KPK dilakukan diwaktu yang tidak tepat dan penuh dengan penuh dengan intrik politik dan minim partisipasi publik. Proses pembentukan dan pengesahan RUU Revisi menjadi UU dilakukan disaat Hasil Pemilu 2019 telah diketahui. Pengesahan revisi tersebut dilakukan hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo untuk periode pertama dan masa jabatan DPR periode 2014-2019. Padahal, di saat itu penolakan terjadi secara besar-besaran dam peranan dan fungsi UU KPK sangat vital dan strategis dalam upaya untuk memberantas korupsi.
Pembahasan RUU revisi UU KPK di DPR juga berlangsung sangat cepat, yakni hanya 12 hari. Bahkan tidak ada satu fraksi di DPR pun yang menolak disahkannya perubahan UU KPK, baik partai pendukung pemerintah maupun oposisi satu suara meski penolakan demi penolakan terus terjadi. Buruknya proses legislasi yang dijalankan dalam merevisi UU tersebut juga tercermin dari banyaknya permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan latar belakang di atas, melalui penelitian ini, penulis hendak menguraikan bagaimana penerapan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam proses revisi UU KPK, baik dari segi ketaatan asas sebagaimana yang terdapat dalam UU PPP, maupun perosalan yang muncul akibat pengabaian dari asas-asas tersebut.
Penulis: Antoni Putra
Sumber: https://ejournal.unib.ac.id/index.php/supremasihukum/article/view/14459/8690