Penataan kota akhir-akhir ini telah menjadi salah satu fokus banyak kepala daerah. Salah satu kebijakan penaatan kota yang dijalankan adalah penataan perkampungan urban yang identik dengan kekumuhan, kepadatan, perusakan lingkungan dan penyakit. Hal ini tampaknya yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung, setelah berbagai program penataan taman-taman kota, Tentu langkah ini patut diapresiasi dan didukung. Namun, tantangan terbesar pada kebijakan ini terletak pada ditegakkannya prinsip keadilan dan kemanusiaan di dalam melakukan penataan.
Pada banyak contoh, ketidakadilan terjadi terletak pada diabaikannya hubungan yang terbentuk antara hunian, lingkungan, dengan pemilik hunian di kampung perkotaan. Hal ini disebabkan oleh pandangan pemerintah yang memandang legalitas hunian kampung perkotaan sebatas pada bukti sertifikat kepemilikan tanah sehingga menyebabkan labelisasi penduduk kampung urban sebagai ilegal dan pelanggar hukum. Tidak berhenti sampai di situ, label ilegal kemudian ditransformasi menjadi penyerobot tanah negara, karena bagi sebagian pendapat tanah tidak bersertifikat merupakan tanah negara.
Paradigma tersebut haruslah ditolak karena dua hal. Pertama, paradigma tersebut tidak tepat secara hukum. Kedua, cap ilegal dan klaim tanah negara hanya mendorong kebijakan agresif dan arogan pemerintah untuk secara cepat merebut kembali lahan “milik” negara yang diduduki sehingga mengabaikan pendekatan bermartabat di dalam penataan kampung perkotaan.
Bukan domein verklaring
Paradigma tanah tidak bersertifikat sebagai tanah negara bukan merupakan hal baru dalam sistem dan tradisi hukum di Indonesia. Dalam sejarah hukum paradigma hukum terkandung Pasal 1 Agrarisch Wet/Besluit (AB 1870), Pasal ini memuat pernyataan yang dikenal dengan nama Domein Verklaring (DV) atau pernyataan kepemilikan negara. Pada praktiknya, konsep ini menimbulkan ketidakadilan bagi penduduk pribumi. Hal ini dikarenakan, pembuktian kepemilinan tanah didasarkan pada bukti tertulis kepemilikan. Seperti diketahui penduduk pribumi pada saat itu, bahkan sampai saat ini banyak tidak memiliki sertifikat karena perolehan dilakukakan secara turun temurun. Prof. Boedi Harsono, Guru Besar Hukum Agraria, bahkan menyatakan secara keras bahwa DV merupakan sarana pemerintah Hindia Belanda untuk merampas tanah-tanah rakyat pribumi.
Penolakan bangsa Indonesia terhadap konsep DV ini terekam jelas pada masa awal berdirinya Republik Indonesia. Beberapa panitia dibentuk untuk memformulasikan kebijakan pertanahan secara umum, yang rekomendasi peratamanya adalah untuk menghapuskan konsep DV dalam sistem tanah Indonesia. Pada tahun 1960, Indonesia berhasil memformulasikan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Salah satu point penting dari UUPA adalah digantikannya DV menjadi Hak Menguasai Negara (HMN). Berbeda dengan DV, HMN tidak memosisikan negara sebagai pengatur, penentu dan penyelenggara hubungan-hubungan hukum yang terkait dengan tanah dan sumber daya agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan langsung negara atas negara tidak disebut sebagai hak milik negara, tetapi dinyatakan dalam konsep hak pakai. Pada tanah-tanah yang tidak memiliki kejelasan status hak, bukan berarti dimiliki oleh negara, melainkan negara memiliki kekuasan atasnya untuk mengatur peruntukan termasuk di dalamnya mendaftarkan hak atas tahan terbut atas nama pihak yang telah menguasai dengan itikad baik secara terus-menerus.
Penataan bermartabat
Penataan kampung perkotaan dalam melihat legalitas harus dilaksanakan dengan paradigma HMN. Pada paradigma HMN, legalitas hunian tidak ditentukan ada tidaknya sertifikat, namun dari hubungan yang telah tercipta untuk penduduk, lingkungan dan bangunan di atas yang telah dikuasai dengan itikad baik secara terus menerus selama puluhan tahun dan terbuka. Meletakannya dalam konterks ini akan mendorong aparat pemerintah untuk menciptakan konsep penataan bermartabat dan manusiawi.
Pendekatan bermartabat dan manusiawi di dalam melakukan penataan perkotaan dapat digariskan ke dalam dua prinsip utama, yakni relokasi sebagai upaya terakhir dan jaminan kepemilikan (land tenure security). Pertama, prinsip relokasi sebagai sarana terakhir. Hal ini mengingat bahwa kampung perkotaan yang berdiri puluhan tahun telah memiliki sistem ekonomi, sosial dan budaya sendiri. Pemindahan atau relokasi pada tempat lain akan mengakibatkan putusnya sistem dukungan sosial yang telah terbentuk, pada beberapa kasus menimbulkan kemiskinan yang lebih dalam dari sebelumnya. Kedua, adanya jaminan kepemilikin hunian pasca penataan. Penjaminan terhadap kepemilikan hunian pada kampung yang sudah tertata memberikan dampak yang signifikan kepada peningkatan kualitas sosial dari kampung tersebut. Hal ini terjadi karena hilangnya kekhawatiran akan penggusuran, sehingga mendorong penduduk kampung perkotaan untuk berinvestasi pada daerah tinggalnya, yang pada akhirnya meingkatkan taraf hidup masyarakat kampung tersebut secara keseluruhan. (Luke Miller, 2004)
Pengadopsian kedua prinsip tersebut oleh Pemerintah Kota Bandung dalam program penataan kampung perkotaan hendaknya dipertimbangkan secara serius. Karena hilangnya pendekatan yang bermartabat pada penataan kampung perkotaan, hanya akan melahirkan perlawanan, kekerasan, kekecewaan, keterpurukan dan kesedihan bagi ribuan mereka yang terdampak. Terlebih dalam konteks Kota Bandung, pendekatan bermartabat merupakan ruang nyata bagi implementasi slogan Kota Bandung sebagai Kota Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat (Bermartabat).
============================================================================
Sumber : Surat Kabar Harian Pikiran Rakyat
Terbit pada : Selasa, 8 November 2016