PUTUSAN melawan hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan dalam perkara lingkungan hidup seringkali tidak memberikan dampak positif terhadap perlindungan lingkungan hidup.
Hal ini terjadi karena sebagian besar dari putusan tersebut tidak dipatuhi, terutama putusan yang menjadikan Negara sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Dalam empat tahun terakhir, setidaknya terdapat dua putusan Pengadilan terkait lingkungan hidup yang menyita perhatian karena menjatuhkan vonis melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Pemerintah.
Pertama, pada 16 Juli 2019, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 3555 K/PDT/2018 menguatkan vonis Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Palangkaraya yang menjatuhkan vonis kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) berserta jajarannya telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Putusan ini dijatuhkan atas perkara kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan pada 2015, dengan kerugian ditafsir mencapai 16 miliar dollar AS (Rp 225 triliun) dengan luas lahan yang terbakar mencapai 2,7 juta hektar. Sebanyak 800.000 hektar di antaranya merupakan lahan gambut. Vonis melawan hukum kedua yang dijatuhkan pengadilan terhadap Pemerintah adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis melawan hukum terhadap Presiden Joko Widodo dan beberapa pejabat pemerintahan, termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam hal pengendalian polusi udara di wilayah Ibu Kota.
Vonis dijatuhkan melalui Putusan Nomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst yang dibacakan pada 16 September 2021.
Kedua putusan tersebut di atas, meski vonisnya telah dibacakan, namun putusan tersebut sulit diterima oleh Pemerintah.
Dengan alasan yang beragam, Pemerintah enggan menjalankan perintah pengadilan dalam putusan tersebut, sekalipun putusannya telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Mahkamah Agung dalam perkara kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan pada 2015.
Alih-alih menjalankan putusan pengadilan, Presiden Jokowi beserta jajarannya selalu mengelak dari vonis yang diberikan.
Alasan yang dikemukakan pemerintah dalam merespons setiap putusan “bersalah” hampir selalu sama, yakni “apa yang menjadi perintah pengadilan sudah dijalankan”.
Itu sebabnya, setiap putusan yang dikeluarkan Pengadilan selalu direspons Pemerintah dengan upaya hukum.
Mulai dari banding, kasasi, bahkan peninjuaan kembali untuk putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Akibat keengganan Pemerintah menjalankan putusan pengadilan menyebabkan momentum pembenahan pengelolaan lingkungan hidup terlewati begitu saja.
Padahal, adanya putusan tersebut dapat menjadi preseden yang sangat baik dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah untuk mengendalikan kerusakan lingkungan.
Dalam menyikapi Putusan Mahkamah Agung No. 3555 K/PDT/2018, misalnya. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menilai pemerintah lalai melakukan langkah-langkah antisipasi guna mencegah hutan dan lahan dilalap api.
Sayangnya, putusan ini justru dilawan dengan upaya hukum, yakni Peninjauan Kembali (PK). Pemerintah merasa sudah menjalankan vonis. Klaim ini diungkapkan tanpa menyertakan bukti yang memadai.
Setelah itu, pemberitaan terkait putusan melawan hukum terhadap Jokowi dan jajarannya tersebut lenyap bak ditelan bumi, seiring dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan dahsyat hanya beberapa minggu setelahnya.
Perkara serupa juga terjadi terhadap Putusan Nomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst terkait pencemaran udara di wilayah Ibu Kota.
Alih-alih menjalankan perintah pengadilan, Presiden Jokowi dan tiga menterinya, yakni Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri memilih mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Alasannya, mereka merasa sudah menjalankan semua yang diperintahkan oleh majelis hakim terkait pengendalian polusi udara Jakarta.
Keengganan Pemerintah menjalankan putusan pengadilan menyebabkan eksistensi pengadilan dalam mencegah terjadinya perbuatan melawan hukum yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan tentu patut dipertanyakan.
Sebab terhadap putusannya, terutama yang menjadikan Pemerintah sebagai pihak tergugat, pengadilan justru tidak memiliki daya paksa.
Pada akhirnya putusan berakhir tanpa memberikan dampak apapun terhadap perlindungan lingkungan hidup.
Contempt Of Court
Istilah Contempt of Court (penghinaan terhadap pengadilan) dikenal pertama kali dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pada bagian penjelasan umum butir 4 pada Alinea ke-4.
Pada 2002, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI dalam “Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002” mengungkapkan bentuk-bentuk penghinaan terhadap pengadilan, salah satunya adalah tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders).
Bila merujuk pada hal tersebut, tindakan Pemerintah yang tidak menjalankan putusan pengadilan tentu tergolong sebagai comtempt of court sebagaimana yang dimaksud.
Sayangnya, meski tindakannya tergolong sebagai contempt of court, sampai saat ini belum ada yang dapat “menghukum” Pemerintah atas ketidaktaatannya terhadap putusan pengadilan.
Sukarnya menjalankan putusan pengadilan oleh Pemerintah juga tak lepas dari ketiadaan peraturan yang dapat memaksa pemerintah untuk menjalankannya, sekalipun putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap.
Sejauh ini, memang sangat sulit mengeksekusi putusan perdata yang melibatkan pemerintah menjadi tergugat.
Malah cenderung mengharapkan ada “kemurahan hati” pemerintah untuk patuh pada putusan peradilan.
Walaupun tidak ada aturan yang memaksa, pemerintah seharusnya melihat putusan pengadilan tersebut sebagai momentum untuk berbenah.
Terlebih paradigma pengelolaan lingkungan hidup sejatinya sudah secara tegas diatur dalam konstitusi negara.
Pasal 28H ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 menegaskan hak warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik.
Ada juga Pasal 33 ayat (3) dan (4) mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Ketentuan dalam konstitusi telah diterjemahkan dalam banyak Undang-Undang. Beberapa di antaranya adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Sayangnya, sejumlah pengaturan yang ada tersebut tidak mengakomodasi kewajiban negara dalam menjalankan putusan Pengadilan menyangkut lingkungan hidup.
Hal ini tentu perlu mendapat perhatian serius. Bukan hanya dari Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang putusannya tidak dipatuhi, tapi juga bagi warga negara dan instansi yang berwenang, terutamanya Lembaga legislatif yang berwenang membentuk undang-undang.
Selain itu, meski tak ada aturan yang dapat memaksa pemerintah menjalankan putusan pengadilan, namun secara moral Pemerintah seharusnya menerima dan mematuhi putusan pengadilan dengan lapang dada.
Sebab putusan yang dikeluarkan tersebut adalah demi kebaikan bersama. Dalam hal ini, keengganan pemerintah, salah satunya dengan mengajukan upaya hukum lanjutan, justru menimbulkan kesan bahwa pemerintah lebih mementingkan gengsi ketimbang kepentingan publik.
Penulis: Antoni Putra
Tanggal: 2 Juni 2022