Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terus dikebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditargetkan selesai awal Oktober tahun ini.
RUU yang disusun menggunakan konsep omnibus law ini akan merevisi setidak 79 Undang-Undang (UU).
RUU Cipta Kerja bertujuan menyederhanakan regulasi yang terlalu banyak dan tumpang tindih di sektor pembangunan ekonomi dan investasi.
Namun, proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang tidak direncanakan dengan baik malah berpotensi menciptakan konflik antar regulasi.
Beberapa dari 79 UU yang masuk dalam RUU Cipta Kerja tersebut, sebagai contoh, juga diagendakan direvisi dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) tahun ini.
Artinya, anggota DPR merevisi beberapa UU yang menjadi materi RUU Cipta Kerja pada saat yang sama dengan penyusunan RUU tersebut.
Salah satu UU yang akan direvisi oleh omnibus law, bahkan baru saja disahkan revisinya, yaitu UU tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba).
Meski UU Minerba baru telah disahkan, dalam pembahasan RUU Cipta Kerja anggota DPR masih menggunakan materi-materi dalam UU Minerba yang lama.
Tidak sinkron
Revisi UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba menunjukkan betapa buruknya sistem perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan kita.
Bahwa satu UU akan direvisi lewat dua produk undang-undang yang berbeda menunjukkan penyusunan RUU Cipta Kerja tidak dilaksanakan dengan perencanaan materi yang solid.
Pada 10 Juni 2020, DPR mengesahkan revisi UU Minerba No. 4 tahun 2009 lewat UU No. 3 tahun 2020.
Sementara, draf RUU Cipta Kerja akan merevisi sebagian materi UU Minerba yang lama.
Padahal, materi UU Minerba yang lama sebagian besar sudah tidak berlaku setelah keluarnya UU Minerba baru.
Sebagian besar ketentuan UU Minerba lama yang akan direvisi melalui omnibus law telah diubah, bahkan telah dihapus melalui UU Minerba baru.
Hal ini tentu ganjil dan belum pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Misalnya, RUU Cipta Kerja berencana menghapus 10 pasal di antara Pasal 40 dan Pasal 82, sementara dalam UU Minerba yang baru, tidak ada satu pun ketentuan yang di hapus.
Secara substansi ini menimbulkan persoalan.
Soal perizinan, misalnya, RUU Cipta Kerja mengindikasikan semua proses perizinan akan berada di pemerintah pusat dan peran pemerintah daerah (pemda) hanya memiliki peran koordinasi.
Sementara, UU Minerba yang baru justru memberikan peran yang lebih pada pemda, yakni dalam menentukan wilayah pertambangan sebelum izin dikeluarkan.
Contoh lain adalah soal penjatuhan sanksi. Pada UU Minerba yang baru, penjatuhan sanksi menjadi kewenangan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, sementara dalam RUU Cipta Kerja kewenangan tersebut menjadi ranah pemerintah pusat tanpa merinci akan ada pendelegasian ke mana: apakah ke kementerian tertentu atau ke pemda.
Adanya tumpang tindih regulasi ini tentu akan menyebabkan kebingungan, terutama bagi pelaku bisnis dalam proses perizinan.
Alih-alih memudahkan perizinan, hal ini justru memperumit.
Contoh perbedaan lain antara UU Minerba baru dan RUU Cipta Kerja adalah soal penambahan satu ketentuan baru dalam UU Minerba adalah tentang pengolahan mineral. Draf RUU Cipta Kerja juga menambahkan ketentuan yang sama.
Bedanya, UU Minerba baru telah memberikan ketentuan tambahan terkait pengolahan mineral, sementara ketentuan tambahan itu tidak ada di RUU Cipta Kerja.
Contoh lain lagi, UU Minerba baru merevisi tiga pasal, yaitu Pasal 72, 73, dan 75 yang mengatur syarat perizinan. Sementara, RUU Cipta Kerja menghapus tiga ketentuan tersebut.
Dalam hal ini, RUU Cipta Kerja bukan menghapus ketentuan dalam UU Minerba baru, melainkan ketentuan dalam Minerba lama yang yang sudah tidak berlaku.
Ini tentu berpotensi menimbulkan kebingungan lain lagi bila kelak nanti RUU Cipta Kerja disahkan.
Karena, bila merujuk pada asas hukum yang mengatakan bahwa UU yang baru mengesampingkan UU yang lama (lex posterior derogat legi priori), maka UU Minerba lama tidak berlaku.
Bila RUU Cipta Kerja hendak merevisi ketentuan tentang minerba, maka yang harus direvisi adalah ketentuan dalam UU Minerba yang baru saja disahkan, bukan UU Minerba tahun 2009.
Kenyataannya draf RUU Cipta Kerja masih mengacu pada UU Minerba lama.
Ini tentu menyebabkan kerancuan dan kebingungan tentang ketentuan mana yang harus dipatuhi jika kelak RUU Cipta Kerja telah disahkan.
RUU Cipta Kerja akan menyebabkan terciptanya dua norma yang berbeda tapi keduanya sama-sama berlaku.
Potensi serupa
Dari 79 UU yang akan direvisi oleh RUU Cipta Kerja, beberapa ada dalam agenda revisi tahun ini di DPR.
UU tersebut antara lain UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan, dan UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Merujuk persoalan terkait UU Minerba di atas, tentu ada potensi terciptanya konflik norma yang semakin banyak.
Indonesia memang memiliki masalah dalam produksi peraturan perundang-undangan.
Jumlah regulasi berlebih diperparah dengan peraturan yang tidak harmonis, tidak sejalan dengan kebijakan pembangunan, dan tidak adanya sistem pengawasan dan evaluasi yang baik.
Ada banyak kontroversi dan kritik terhadap RUU Cipta Kerja.
Dalam konteks perundang-undangan, omnibus law yang disebut sebagai bagian dari solusi masalah nampaknya justru dapat membawa lebih banyak masalah.
Sudah sepatutnya segala bentuk pembahasan RUU Cipta Kerja dihentikan. Draf omnibus law perlu disusun ulang.
Ini perlu dilakukan agar pembentukan UU tersebut tidak justru memperpanjang persoalan regulasi yang saat ini tengah kita alami.
Penulis: Antoni Putra