Penyusunan prioritas legislasi tahunan untuk 2021 seharusnya bercermin pada capaian kinerja legislasi sebelumnya. Pada 2020, DPR menetapkan 37 RUU menjadi prioritas tahunan. Sampai dengan November 2020, DPR hanya dapat mengesahkan 13 RUU. Sayangnya dari jumlah tersebut hanya ada tiga RUU yang merupakan RUU yang masuk dalam prioritas tahunan. Yaitu UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Bea Materai dan UU Cipta Kerja. Realisasinya hanya sekitar 8% dari yang direncanakan. Sisanya merupakan RUU kumulatif terbuka yaitu satu revisi UU MK dan lainnya merupakan pengesahan APBN dan perjanjian internasional.
Minimnya capaian tersebut merupakan persoalan berulang yang sudah sering terjadi dalam kinerja legislasi DPR dan pemerintah. Seharusnya, DPR dan pemerintah lebih realistis dalam menetapkan jumlah RUU ke dalam prioritas tahunan. Prioritas tahunan bukan semata soal daftar RUU yang direncanakan namun juga merupakan instrumen yang menggambarkan arah politik dalam formulasi kebijakan ke dalam undang-undang.
Salah satu dasar penyusunan program legislasi dalam UU No. 12 tahun 2011 adalah aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Hal ini yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam menentukan prioritas tahunan. Situasi pandemi saat ini perlu menjadi pertimbangan utama DPR dan pemerintah dalam menyusun prioritas tahunan. Undang-undang yang mendesak dibentuk atau direvisi untuk mempercepat proses pemulihan kondisi masyarakat akibat pandemi perlu menjadi prioritas. Misal terkait penanganan bencana, sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor ekonomi dan lainya yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat.
Selain itu dalam menentukan prioritas tahun 2021, DPR dan pemerintah hendaknya juga mempertimbangkan situasi pandemi yang saat ini masih berlangsung. Kontroversi di masyarakat seperti beberapa waktu lalu perlu dihindari. Pengesahan UU Cipta Kerja yang terjadi belum lama ini telah menimbulkan reaksi sangat besar dari masyarakat bahkan masih berlangsung sampai dengan saat ini. Reaksi tersebut disebabkan diantaranya proses pembahasan yang tidak akuntabel dan dalam waktu yang sangat cepat. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah sebaiknya menunda pembahasan RUU yang berpotensi menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Selanjutnya, berkaca pada dinamika proses legislasi akhir-akhir ini yang menimbulkan kontroversi karena minimnya partisipasi dan akuntabilitas, DPR dan pemerintah perlu memprioritaskan penataan kembali proses legislasi dengan merevisi UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Revisi ini semakin mendesak dengan mulai digunakannya metode omnibus law dalam penyusunan undang-undang. Banyaknya persoalan proses dan kesalahan teknis dalam proses legislasi beberapa waktu lalu seharusnya menjadi momentum perbaikan menyeluruh proses dan tata kelola pembentukan undang-undang.
M Nur Sholikin
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Puri Imperium Office Plaza G-9
Jl. Kuningan Madya Kav. 5 – 6
Kuningan – Jakarta Selatan