Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) daerah telah mengabulkan beberapa permohonan bekas koruptor yang menjadi bakal calon legislator yang menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena tidak diloloskan menjadi calon legislator. Beberapa permohonan yang dikabulkan tersebut di antaranya adalah gugatan Syahrial Damapoli dari Sulawesi Utara, Abdullah Puteh dari Aceh, dan Joni Kornelius Tondok dari Toraja Utara.
Jika melihat gelagat Bawaslu dari awal, sebenarnya keputusan menerima gugatan mantan koruptor ini sudah bisa ditebak. Pasalnya, sejak awal, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, yang melarang mantan koruptor untuk menjadi calon legislator, sudah menuai penolakan dari sejumlah pihak, termasuk Bawaslu.
Kita tengah menyaksikan bagaimana dua lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu) itu saling bergesekan. Padahal dua lembaga tersebut merupakan harapan bangsa dalam penyelenggaraan pemilu agar berlangsung dengan baik.
Tapi, secara etika dan moral, putusan tersebut cacat karena meniadakan PKPU yang mengatur syarat seseorang menjadi calon legislator. Bawaslu sama sekali tidak memandang PKPU sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pemilu.
KPU secara tegas melarang mantan koruptor maju sebagai calon legislator. Hal ini malah ditentang oleh Bawaslu. Dalam konsep penyelenggaraan pemilu, Bawaslu seharusnya mendukung segala upaya KPU untuk menciptakan pe-
nyelenggaraan pemilu yang berkualitas, kondusif, dan mendukung pemberantasan korupsi.
Dalam konteks hukum tata negara, dalam memutus sengketa pelarangan mantan terpidana korupsi, seharusnya Bawaslu berpedoman kepada PKPU. Jika ada yang merasa keberatan, mekanisme untuk melawannya adalah dengan judicial review di Mahkamah Agung.
Dalam konteks pertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu tidaklah berwenang menganulir PKPU dengan alasan bertentangan dengan undang-undang. Yang berhak menentukan suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan aturan yang lebih tinggi adalah hakim, melalui mekanisme yang dijamin oleh konstitusi.
Bawaslu seharusnya memandang bahwa pemilu legislatif adalah momen untuk mencari wakil yang terbaik. Karena itu, cara-cara yang dilakukan KPU dengan melarang bekas koruptor menjadi calon legislator adalah langkah yang seharusnya didukung oleh pihak mana pun, termasuk Bawaslu. Apalagi jika mengingat bahwa selama ini lembaga legislatif selalu menjadi lembaga terkorup dan memiliki tingkat kepercayaan yang rendah. Kita harus menilai bahwa pelarangan eks koruptor merupakan upaya KPU untuk kembali membuat DPR dipercaya dan bersih dari korupsi.
Tidak sejalannya KPU dengan Bawaslu tentang hal ini merupakan preseden buruk yang tidak boleh terulang. KPU dan Bawaslu seharusnya saling mendukung. Sebab, dua lembaga tersebut merupakan harapan agar penyelenggaraan pemilu dapat berjalan dengan baik.
Bawaslu seharusnya bersikap bijak bahwa dikabulkannya gugatan eks koruptor itu tidak hanya berdampak terhadap penyelenggaraan pemilu, tapi juga terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sudah saatnya lembaga penyelenggara pemilu menaati dan menjunjung tinggi aturan hukum yang ada agar pesta demokrasi berlangsung kondusif. Perihal bertentangan atau tidaknya PKPU dengan undang-undang itu, biarkan Mahkamah Agung yang menilai.
================================================================================
Dikutip dari: https://kolom.tempo.co/read/1120838/problem-hukum-putusan-bawaslu
Penulis: Antoni Putra
=================================================================================