PADA 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi melalui putusan perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, dan memerintahkan penangguhan segala kebijakan strategis dan berdampak luas terkait UU Cipta Kerja.
Mahkamah juga melarang pemerintah menerbitkan seluruh Peraturan Pelaksana yang terkait beleid tersebut.
Sayangnya, hal ini tidak dipatuhi oleh Pemerintah yang terkesan menjadikan Putusan tersebut sebagai Putusan yang tak dihormati.
Sejauh yang bisa dilacak, setidaknya terdapat dua peraturan pelaksana baru yang dikeluarkan Pemerintah setelah putusan MK tersebut dibacakan pada 25 November 2021.
Pertama, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah yang ditantadangani pada 27 Desember 2021.
Kedua, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2022 tentang Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah yang ditetapkan pada 25 Februari 2022. Terbitnya dua peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah melalui presiden dan menteri-menterinya secara terbuka telah melanggar Putusan MK.
Pada poin 3 amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dilakukan perbaikan.
Selama proses perbaikan tersebut belum dilakukan, pada amar putusan poin 7 juga secara tegas memuat perintah larangan menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan UU Cipta Kerja yang bersifat strategis dan berdampak luas.
Mematuhi Putusan MK
Secara konstitusional, dengan merujuk pada Pasal 24C UUD 1945, Putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding).
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan berlaku mengikat sesuai dengan asas erga omnes.
Dalam konteks ini, secara konstitusional, mematuhi putusan MK adalah kewajiban mutlak, bukan hanya bagi DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang (UU), tetapi untuk seluruh pihak terkait dan setiap orang di Indonesia.
Bila konsep konstitusional putusan MK tersebut ditarik kepersoalan penerbitan dua peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja tersebut di atas, maka Pemerintah bukan saja tidak mematuhi Putusan MK, namun juga mengingkari konstitusi yang secara tegas menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 secara tegas melarang Pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang baru sampai dilakukannya perbaikan.
Dalam konteks ini, status dari UU Cipta Kerja saat ini adalah inskonstitusional secara bersyarat.
UU Cipta Kerja memang masih berlaku, namun hal itu terbatas untuk memberi legitimasi terhadap tindakan-tindakan atau yang telah dilakukan sebelum adanya putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, termasuk untuk memberikan legitimasi terhadap peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang sudah dibentuk.
Sementara setelah adanya putusan MK, Pemerintah dilarang mengeluarkan segala bentuk kebijakan baru yang berhubungan dengan UU Cipta Kerja, terutamanya yang bersifat strategis dan berdampak luas, termasuk di dalamnya mengeluarkan peraturan pelaksana yang baru.
Dalam konteks ini, UU a quo dalam pembentukan kebijakan dan Peraturan Pelaksana baru statusnya adalah inskonstitusional, baru akan menjadi konstituional bila syarat-syarat yang diminta oleh MK, yakni perbaikan UU Cipta Kerja telah sepenuhnya dijalankan.
Seharusnya, bila merujuk pada sifat dari putusan MK, dua peraturan pelaksana yang terbit setelah putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 tidaklah memiliki landasan hukum dan dikeluarkan secara illegal. Oleh sebab itu, dua peraturan pelaksana tersebut seharusnya batal demi hukum.
Pemerintah dalam menerbitkan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja mesti menjadikan putusan MK sebagai acuan mutlak.
Dalam hal ini, mematuhi putusan MK bagi Pemerintah adalah kewajiban secara konstitusional serta kewajiban moral dan hukum dari Pemerintah, sekalipun Pemerintah tidak bersepakat atau tidak setuju dengan putusan tersebut.
Dalam hal ini, bila Pemerintah taat terhadap konstitusi, maka Pemerintah harus mencabut dua peraturan pelaksana “ilegal” tersebut.
Bila Pemerintah enggan mencabut, maka hal itu tidak hanya tidak mematuhi putusan MK, tapi juga mengingkari konstitusi yang secara tegas menyatakan bahwa Putusan MK dalam pengujian Undang-Undang adalah bersifat final.
Editor : Sandro Gatra
Penulis: Antoni Putra
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2022/06/06/07450001/putusan-mk-yang-tidak-dihormati?page=all#page2
Tanggal: 6 Juni 2022