Pertanyaan “mau ke mana?” pada judul tulisan ini tentunya sekadar upaya sia-sia dari Penulis untuk menghindari judul “quo vadis?”. Entah berapa banyak tulisan, dan juga seminar-seminar, yang menggunakan pertanyaan “quo vadis?” sebagai judul. Pertanyaan “quo vadis?”, bisa diterjemahkan jadi “mau ke mana?”, sudah jadi pertanyaan klise lintas zaman dan lintas topik. Meski terlanjur klise, pertanyaan quo vadis untuk upaya reformasi hukum perlu digaungkan lagi. Lewat 22 tahun Reformasi di Indonesia, masih banyak permasalahan reformasi hukum yang belum terjawab.
Jatuhnya rezim Orde Baru ditandai dengan pernyataan berhenti dari Presiden Soeharto pada hari Kamis 21 Mei 1998. Lengsernya Soeharto disambut sukacita oleh masyarakat Indonesia saat itu. Namun semua orang langsung tersadar, bahwa turunnya Soeharto dari kursi kekuasaan yang telah 32 tahun didudukinya, bukanlah akhir dari perjuangan melawan Orde Baru. Jejak praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan kesewenang-wenangan, terlanjur merasuk jauh ke dalam sistem pengelolaan negeri ini.
Setelah Reformasi 1998, ada banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, termasuk dalam hal reformasi hukum. Orde Baru mewariskan sistem yang jauh dari pemenuhan rasa keadilan. Orde Baru membuat pengadilan kita menghadapi tantangan independensi yang serius, penegakan hukum yang sewaktu-waktu bisa diatur sesuai selera, dan pelanggaran HAM yang bisa leluasa terjadi kapan saja.
Walau mungkin bisa dikatakan “gagal” dalam mengadili mantan Presiden Soeharto, namun sebenarnya rentetan capaian awal Indonesia dalam mengisi babak awal reformasi lumayan baik. Amandemen konstitusi (Tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002) telah menancapkan berbagai tonggak capaian reformasi, antara lain: pembatasan masa jabatan Presiden, pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat, masuknya sederetan pasal Hak Asasi Manusia dan lain-lain. Reformasi juga telah melahirkan berbagai lembaga baru, seperti Mahkamah Konstitusi yang dicita-citakan sebagai “guardian of the constitution”, Komisi Yudisial untuk menjaga marwah Hakim, Dewan Perwakilan Daerah, dan lain sebagainya.
Namun tentu simbol utama perlawanan terhadap praktik KKN yang pernah dilanggengkan oleh rezim Orde Baru, tak lain tak bukan adalah lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Istilah “Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme” sudah terlanjur identik dengan rezim Orde Baru. Oleh karena itu, kelahiran KPK dapat dipandang sebagai antitesa yang menyediakan jawaban dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan ala Orde Baru. KPK merupakan capaian reformasi yang menjadi ujung tombak untuk memastikan bahwa perilaku korup bisa diberantas di negeri ini.
Gejala Arus Balik?
Sejarah sering berulang, perubahan sosial bisa naik-turun, dan keadaan masyarakat bisa saja berputar mundur ke titik awal sebelum perubahan. Hal yang sama juga bisa terjadi dalam reformasi hukum. Penting bagi publik untuk mencermati tonggak-tonggak penanda perubahan, apakah kita masih berada dalam jalur, dalam persimpangan, atau sudah putar balik?
Hasil bacaan yang paling moderat, sekaligus paling klise, adalah bahwa reformasi hukum Indonesia hari ini berada dalam persimpangan. Bacaan situasi “dalam persimpangan” bukan hanya klise, tapi tidak banyak membantu bagi publik untuk menentukan strategi ke depan.
Dalam reformasi hukum di Indonesia, tidak pernah ada suatu persimpangan berupa pilihan jelas jalan ke kiri atau ke kanan. Reformasi hukum di Indonesia sejak awal selalu berada dalam persimpangan yang rumit. Perumpamaan padang pasir mungkin lebih tepat untuk menggambarkan lapangan arena reformasi hukum, bukan jalan raya dengan jalur yang teduh dan pilihan persimpangan yang terlihat gamblang.
Untuk itulah kita perlu adanya tonggak-tonggak penanda untuk membaca situasi reformasi hukum di Indonesia. KPK adalah tonggak penting capaian reformasi 1998. Karena itu, dalam rangka refleksi 22 tahun reformasi hukum, tak berlebihan bila situasi KPK per hari ini dijadikan salah satu penanda ada atau tidaknya gejala arus balik berupa upaya negosiasi ulang atas capaian reformasi.
Akrobat pembahasan kilat revisi UU KPK yang penuh kejanggalan, seleksi dan pemilihan komisioner KPK yang kontroversial, dipaksakannya keberadaan Dewan Pengawas KPK yang problematik, sampai sikap Presiden Jokowi yang terkesan menutup mata atas berbagai upaya pelemahan KPK, cukup menunjukkan gejala arus balik ini.
Gejala arus balik ini tentu mencemaskan kita semua. Apa yang terjadi pada KPK, bukan tak mungkin terjadi juga pada lembaga-lembaga capaian reformasi lainnya. Pada bulan Mei lalu sempat mencuat wacana tentang rencana DPR merevisi UU Mahkamah Konstitusi. Rencana ini tidak ada dalam Prolegnas prioritas tahun 2020, dan telah menuai penolakan dan kritik keras dari para akademisi dan organisasi masyarakat sipil.
Kita tentu juga masih ingat wacana untuk menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen UUD 1945 di tahun lalu. Hal ini seolah menambahkan tanda-tanda bahwa memang ada upaya untuk memutar balik arah perubahan, untuk kembali ke masa lalu. Ruang kebebasan sipil pun terasa semakin menyempit. Serentetan penangkapan dan kriminalisasi aktivis, peretasan alat komunikasi, pelarangan dan pembubaran diskusi, dan lain-lain, masih terus saja terjadi. Hal ini tergambarkan di berbagai laporan, misalnya laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mencatat setidaknya 78 kasus pelanggaran kebebasan berpendapat di tahun 2019, atau data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan bahwa sepanjang 2006 – 2020 total ada 774 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Laporan Freedom House tahun 2019 menempatkan Indonesia dengan status “Bebas Sebagian” (Partly Free).
Selain menghadapi mendung kebebasan, kita juga sering harus berurusan dengan persoalan legislasi bermasalah yang muncul menelikung. Masih segar dalam ingatan kita kontroversi soal RUU KUHP yang bermasalah tahun lalu, atau pengesahan RUU Minerba baru-baru ini yang menuai penolakan. Di tahun 2020 ini, ada juga permasalahan sederet Omnibus Law yang menanti di tikungan.
Gambaran berbagai permasalahan di atas, tentu bukan dalam rangka mengurangi apresiasi kita pada berbagai upaya reformasi hukum yang ada. Terlepas dari berbagai kekurangannya, tentu banyak pencapaian reformasi hukum masih terus berlangsung hingga kini, misalnya upaya perbaikan di bidang reformasi peradilan, profesi hukum, hukum bisnis, masalah akses pada keadilan (access to justice), dan lain sebagainya.
Namun perbaikan-perbaikan itu seperti berkejaran dengan arus balik yang terus menggerus capaian reformasi. Rasanya seperti bercocok tanam bersama pembalak liar. Ibaratnya, sering kita berhasil tutup satu lubang di sini, mereka gali lubang besar di tempat lain.
Kepemimpinan dan Keteladanan
Reformasi hukum memerlukan penggerak perubahan hukum (law reformers). Selama ini dengan segala kurang-lebihnya, upaya reformasi hukum di Indonesia tetap berjalan dengan adanya para penggerak dan pemimpin perubahan hukum yang tersebar di mana-mana. Tapi reformasi hukum perlu penggerak sekaligus pemimpin di sisi pemerintahan, agar bisa efektif dalam membuat perubahan kebijakan secara langsung.
Praktik yang terjadi di beberapa negara lain, peran ini biasanya dijalankan oleh Menteri di bidang hukum, ataupun ada lembaga khusus (law reform agency) yang dibentuk untuk menggerakkan reformasi hukum di negara itu. Hal inilah yang nampaknya masih perlu diperbaiki dalam konteks reformasi hukum di Indonesia.
Peran yang diperlukan tentunya lebih dari sekedar peran sebagai instansi pelaksana yang tercantum dalam dokumen perencanaan pembangunan, tapi lebih sebagai penggerak yang betul-betul berkomitmen terhadap reformasi hukum di Indonesia, mau bekerjasama dengan penggerak perubahan hukum di luar pemerintahan, memahami substansi, kosisten dengan jalur perubahan yang disepakati, memberikan keteladanan (lead by example), dan efektif mewujudkan agenda reformasi hukum dalam kebijakan pemerintah.
Tapi reformasi hukum tentunya tetap harus berjalan, dan tidak bisa menunggu hal ideal tersebut terwujud. Kabar baiknya, arus balik yang menggerus capaian reformasi bukannya tak terbendung. Sekadar contoh, kabar tertangkapnya buronan mantan Sekretaris MA Nurhadi oleh KPK, ataupun kabar kemenangan gugatan PTUN pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat, keduanya jelas menunjukkan bahwa masih banyak penggerak perubahan hukum tersebar dan terus berjuang di banyak lini.
Publik harus terus menerus bertanya tentang arah reformasi hukum di Indonesia. Dengan terus bertanya, kita tidak hanya suatu saat akan menemukan jawaban, tapi mungkin bisa menemukan imajinasi baru untuk perubahan. Prof Daniel S. Lev pernah menyatakan bahwa kita perlu imajinasi serta ide-ide baru, juga keberanian untuk mengambil risiko dalam reformasi hukum. Hal ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk menemukan imajinasi baru itu. Oleh karenanya, mari kita terus bertanya: Reformasi Hukum Indonesia, Quo Vadis?
Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.