Pemerintah mengawasi perda retribusi daerah, pajak daerah, APBD dan tata ruang. Perda di luar jenis tersebut, sebaiknya menjadi wewenang MA untuk menguji melalui permohonan judicial review. Selain itu, penunjukan unit khusus untuk melakukan pengawasan perda di tingkat pemerintah dan pemerintah provinsi juga perlu dilakukan untuk mengefektifkan implementasi pengawasan perda secara berjenjang. MA perlu membenahi hukum acara pengujian peraturan perundang-undang, khususnya perda dengan membuat sidang pemeriksaan terbuka, melibatkan para pihak dan menyerahkan kewenangan pengujian perda kepada pengadilan tinggi.
Berawal dari Permasalahan Regulasi
Saat ini ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang dibahas DPR yang memiliki keterkaitan dengan peraturan daerah yaitu RUU Pemerintahan Daerah (RUU Pemda) dan RUU Mahkamah Agung (RUU MA).
Persinggungan antara dua RUU tersebut terletak pada pengawasan peraturan daerah. Selain tentang kedudukan peraturan daerah, RUU Pemda Perda juga mengatur pengawasan perda oleh pemerintah (executive review). Sementara, UU MA mengatur wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, salah satunya Peraturan Daerah (Perda).
Momentum ini perlu dimanfaatkan oleh DPR dan Presiden untuk memperbaiki mekanisme pengawasan perda yang selama ini tidak berjalan secara efektif baik melalui executive review maupun judicial review.
Sejak UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berlaku, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tak pernah lagi mengeluarkan laporan tentang pembatalan perda. Laporan yang dikeluarkan hanya berupa evaluasi yang antara lain menginformasikan
perda-perda bermasalah di beberapa daerah. Bukan tindakan Kemendagri membatalkan perda-perda bermasalah tersebut. UU No. 28 Tahun 2009 memang secara tegas mengatur kewenangan pembatalan perda dimiliki oleh Presiden melalui Peraturan Presiden. Berbeda dengan UU No. 34 Tahun 2000 yang mengatur pembatalan perda oleh pemerintah. Kewenangan pembatalan diserahkan kepada Mendagri.
Di satu sisi, dengan adanya ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, kewenangan Kemendagri membatalkan perda pajak daerah dan retribusi daerah menjadi tidak berlaku lagi. Namun di sisi lain, menyerahkan kewenangan pembatalan perda pajak dan retribusi daerah kepada Presiden pun terbukti bukan langkah efektif untuk mengontrol perda pajak dan retribusi daerah.
Hingga kini Presiden belum pernah mengeluarkan Perpres mengenai pembatalan perda pajak dan retribusi daerah. Padahal pada 2011 saja, Kemendagri menemukan 351 perda bermasalah. Apabila UU No. 28 Tahun 2009 diimplementasikan maka Presiden dalam pada 2011 seharusnya mengeluarkan 351 Perpres pembatalan perda. Pertanyaannya apakah mungkin Presiden akan memproses rancangan Perpres sebanyak itu (bisa lebih) dan bagaimana apabila ada daerah yang melawan pembatalan dan mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung. Presiden akan sangat disibukkan dengan pekerjaan ini.
Permasalahan lain yang muncul, bagaimana dengan status perda bermasalah tersebut apabila tidak ada yang membatalkan? Berdasarkan hasil evaluasi, Kemendagri dapat meminta pemerintah daerah untuk memperbaiki perda tersebut. Namun, bagaimana mengontrol tindak lanjut pemerintah daerah terhadap saran Kemendagri untuk memperbaiki perda apalagi kalau perda tersebut ternyata sudah berlaku. Jelas, masyarakat yang mendapat kerugian atas pemberlakuan perda bermasalah jika tidak dibatalkan atau tidak direvisi.
Penjelasan tersebut menggambarkan salah satu permasalahan regulasi dalam pembatalan perda oleh pemerintah. Permasalahan lain muncul terkait dengan implementasi pengawasan berjenjang terhadap Perda. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah mengatur mengenai pengawasan berjenjang atas Raperda dan Perda. Model pengawasan yang diatur Permendagri ini membagi pengawasan antara Kemendagri dengan pemerintah provinsi baik untuk mekanisme pengawasan evaluasi maupun klarifikasi. Kemendagri berwenang mengawasi perda provinsi sementara pemerintah provinsi mengawasi perda kabupaten/kota.
Kewenangan pengawasan oleh Kemendagri dan pemerintah provinsi termasuk kewenangan untuk membatalkan perda yang dianggap berrmasalah. Model pengawasan berjenjang yang melibatkan pemerintah provinsi sebenarnya telah diatur dalam Permendagri No. 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Perda dan Peraturan Kepala Daerah. Namun, implementasinya belum berjalan dengan baik. Pemerintah provinsi belum menjalankan kewenangannya mengawasi raperda atau perda kabupaten/kota.
Kajian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada 2010 menyebutkan bahwa keterlibatan pemerintah provinsi masih sebatas pengawasan terhadap penyusunan raperda APBD Kabupaten/kota. Di luar jenis perda tersebut, pemerintah provinsi tidak menjalankan pengawasannya. Bahkan pembatalan perda pun dilakukan oleh Kemendagri, walaupun berdasarkan Permendagri No. 53 Tahun 2007 pemerintah provinsi mempunyai wewenang untuk melakukan pembatalan perda. Apakah pengawasan berjenjang yang diatur kembali dalam Permendagri No. 53 Tahun 2011 akan bernasib sama tidak dapat diimplementasikan?
Permasalahan pengawasan perda juga muncul dalam judicial review perda oleh MA. Aturan rinci tentang judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terdapat dalam Perma No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Efektivitas mekanisme yang diatur dalam Perma ini juga menjadi pertanyaan.Data pengujian perda yang dilakukan oleh MA hanya terdapat 12 putusan selama tahun 2010 dan 6 putusan selama tahun 2011. Jumlah ini sangat jauh dibandingkan jumlah perda yang diindikasikan bermasalah oleh Kemendagri selama 2011 yang berjumlah 351 perda.Asumsinya jumlah perda bermasalah tersebut juga berpotensi untuk diajukan permohonan judicial review ke MA dan jumlah pengujian perda oleh MA selama dua tahun tersebut tidak merepresentasikan jumlah perda yang bermasalah.
Dari sisi pengajuan permohonan, MA sudah memberikan kemudahan bagi pemohon untuk mengajukannya melalui pengadilan negeri. Pemohon tidak perlu datang langsung ke kantor Mahkamah Agung. Namun, permasalahan muncul ketika masuk dalam tahap pemeriksaan. Tidak ada sidang untuk mendengarkan keterangan dari pemohon, begitu juga keterangan dari termohon. Pemohon cukup menyerahkan permohonan dan termohon hanya diberi kesempatan untuk menyampaikan jawabannya. Selebihnya, proses pemeriksaan dilakukan oleh MA. Bagaimana pemeriksaan dilakukan, apakah ada keterangan ahli yang diperdengarkan dalam pemeriksaan tersebut, atau apakah ada informasi yang perlu dikonfirmasi kepada pemohon tidak dapat diketahui oleh masyarakat bahkan oleh pemohon sekalipun. Setelah mengajukan permohonan, pemohon hanya tinggal menunggu pengiriman putusan tanpa tahu bagaimana proses pemeriksaannya dan bahkan tanpa tahu kapan putusannya akan diterima.
Gambaran di atas menunjukkan permasalahan di tingkat regulasi pengawasan perda yang berdampak pada tidak efektifnya pelaksanaan pengawasan perda baik melalui executive review maupun judicial review.
Kondisi ini perlu segera dicari solusi untuk mengefektifkan pengawasan perda. Pembahasan RUU Pemda dan RUU MA saat ini menjadi pintu yang strategis untuk merevisi pengaturan mekanisme pengawasan perda ini.
Perbaikan mekanisme ini perlu dilakukan mengingat mekanisme yang lama tidak mampu menyelesaikan permasalahan mengenai perda bermasalah.
Membagi Kompetensi Pengujian Penjelasan pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa dua mekanisme pengujian perda melalui executive review dan judicial review tidak berjalan secara efektif. Pemerintah selama ini fokus pada pengawasan perda retribusi dan pajak daerah. Perda yang mengatur bidang lainnya terabaikan. Padahal banyak masalah perda di luar jenis perda tersebut.
Sementara itu, mekanisme judicial review perda oleh MA juga belum menjadi pilihan bagi masyakarat untuk menguji perda yang bermasalah.
Bisa dilihat dari jumlah perda yang dibatalkan oleh MA. Untuk mengefektifkan pengawasan di masing-masing institusi tersebut, perlu ditempuh, salah satunya, denganmembagai kompetensi pengawasan.
Pembagian ini dilakukan agar masing-masing institusi dapat fokus pada pelaksanaan pengawasan dan memberikan kejelasan bagi masyarakat atas mekanisme pengawasan perda tersebut. Kompetensi pengujian dapat dibagi antara pemerintah dengan MA. Pemerintah diberi wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap perda retribusi daerah, pajak daerah, APBD dan tata ruang. Pemerintah dapat menerapkan pola pengawasan evaluasi maupun klarifikasi preventif. Sedangkan di luar jenis perda tersebut, menjadi kewenangan MA untuk melakukan pengujian dengan mekanisme judicial review.
Dua kelompok perda yaitu empat jenis perda tertentu dan di luar jenis perda tersebut memiliki model pengaturan yang berbeda dari sisi keterikatan pengaturan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Batasan terhadap ketentuan empat jenis perda dapat terukur. Misalnya mengenai jenis dan besaran retribusi atau pajak daerah. Sementara, kelompok perda lainnya erat kaitannya dengan kebutuhan sosial masyarakat di daerah masing-masing. Pertimbangan pembentukannya juga didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politis sesuai dengan aspirasi atau kebutuhan daerah. Seharusnya produk politik seperti perda ini, diuji dengan prosedur yang netral terhadap kepentingan politik. Yaitu melalui kekuasaan kehakiman. Apabila pengujian diserahkan kepada pemerintah maka bisa jadi pertimbangan dalam menentukan hasil akhir pengawasannya pun didasarkan atas pertimbangan politis pemerintah pusat yang berpotensi tidak sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan daerah. Apalagi dengan pendekatan relasi yang hirarkis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kekuasaannya lebih besar di pemerintah pusat. Oleh karena itu, pembagian kompetensi ini perlu dilakukan untuk memposisikan perda sebagai produk politik di tingkat lokal yang hanya dapat dibatalkan melalui kekuasaan yudikatif yang independen.
Membenahi Prosedur Pengawasan Permasalahan tidak optimalnya pengawasan perda juga terletak pada masalah ketidaksiapan sistem dalam menjalankan mekanisme pengawasan yang sudah diatur dalam peraturan perundag-undangan. Pengawasan perda seluruhnya dilakukan oleh pemerintah pusat melalui kementerian.
Padahal pengaturan pengawasannya sudah dibuat secara berjenjang dengan melibatkan pemerintah provinsi. Pengawasan secara terpusat ini menjadikan beban kementerian terkait sangat besar. Pengawasan perda baik secara evaluasi maupun klarifikasi diatur dalam jangka waktu tertentu.Sehingga pengawasannya tidak berjalan baik.Pemerintah pun tidak konsisten menerapkan peraturan perundang-undangan untuk melibatkan pemerintah provinsi.
Ada dua penyebab terhadap masalah ini. Pertama, pengaturan pengawasan berjenjang tidak diikuti dengan penunjukan unit kerja yang berwenang untuk melakukan pengawasan. Permendagri hanya mengatur pembentukan tim pengawas (tim klarifikasi atau evaluasi) perda yang dibentuk secara ad hoc. Pembentukan tim ad hoc ini juga terjadi di tingkat Kemendagri untuk melakukan pengawasan evaluasi maupun klarifikasi. Padahal pengawasan perda adalah kegiatan rutin karena perda terus diterbitkan.
Kedua, tidak ada upaya pemerintah pusat untuk mendorong kesiapan pemerintah provinsi baik terhadap struktur organisasi atau SDM pendukung untuk melakukan pengawasan terhadap perda.
Ketidaksiapan SDM ini berhubungan erat dengan ketidakjelasan unit kerja yang bertanggungjawab melakukan pengawasan. Oleh karena itu, pengawasan perda ini harus dilakukan oleh unit kerja yang ditunjuk melakukan kegiatan tersebut baik di tingkat kementerian maupun di tingkat pemerintah provinsi. Unit kerja ini hanya menjalankan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan perda tidak bisa dianggap sebagai kegiatan “sampingan” yang bisa diserahkan unit kerja yang memiliki fungsi lain. Misalnya biro hukum yang juga memiliki tugas dan fungsi lain. Selain penunjukan unit kerja, pemerintah juga harus melakukan upaya untuk menyiapkan SDM di tingkat pemerintah provinsi agar mampu menjalankan fungsi pengawasan perda ini secara baik. Sehingga pengawasan perda ini dapat didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah provinsi sesuai dengan mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, di ranah yudikatif juga perlu dilakukan upaya perbaikan mekanisme judicial review perda. Perda sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang harus dibedakan prosedur pengujiannya dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya seperti Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan sebagainya. Perda merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif dan eksekutif. Perda layaknya undang-undang dengan batas keberlakuan yang lebih sempit.
Perda merupakan cerminan aspirasi masyarakat daerah melaui mekanisme representasi dan partisipasi untuk mengatur wilayahnya sendiri. Bahkan keberadannya sudah dijamin dalam UUD. Oleh karena itu mekanisme pengujiannya perlu diubahmenyesuaikan dengan kedudukan perda sebagai instrument hukum dan produk legislasi di tingkat daerah.
Proses pemerikasaan permohonan pengujian perda harus dilakukan secara terbuka. Praktek selama ini, seperti yang diuraikan pada bagian awal, pemeriksaan pengujian perda tidak dapat diakses oleh masyarakat. Tidak seperti pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Pemohon dan pemerintah daerah tidak dapat beradu argumen dalam persidangan. Bisa jadi selama ini MA memberlakukan pengujian perda seperti pemeriksaan perkara kasasi maupun PK yang tidak perlu melibatkan para pihak.
Padahal perda sebagai aturan yang bersifat umum mengikat masyarakat secara luas, berbeda dengan perkara kasasi dan PK yang sifatnya mengikat pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, hukum acara pengujian perda ini harus diubah dengan membuat proses pengujiannya terbuka dan melibatkan pemohon serta pemerintah daerah sebagai pembentuk perda.
Perda dibentuk dengan proses yang terbuka. Seharusnya proses pengujiannya juga dilakukan secara terbuka.
Selain untuk memenuhi prinsip transparansi peradilan, pelaksanaan pengujian perda secara terbuka ini juga sebagai forum terbuka bagi pemerintah daerah untuk mempertanggungjawabkan aturan yang telah dibuat di depan hakim, pemohon dan masyarakat. Dengan begitu akan ada pengaruh bagi proses pembentukan perda di daerah. Ada mekanisme pertanggungjawaban yang dibuat secara terbuka. Seperti halnya pertanggungjawaban DPR dan pemerintah atas undang-undang yang telah dibuat di persidangan Mahkamah Konstitusi. Hal ini akan menjadi pendorong bagi daerah untuk memperbaiki kualitas legislasinya. Di sisi lain, hakim juga akan bersungguh-sungguh dalam memeriksa permohonan, membuat pertimbangan dan memutus permohonan karena prosesnya di awasi oleh masyarakat dengan membuat prosedur pemeriksaan yang terbuka dan melibatkan para pihak.
Masalahannya, jika sidang pengujian perda dilakukan terbuka dan melibatkan para pihak berarti pemohon dan pemerintah daerah harus ke Jakarta untuk mengikuti persidangan. Hal ini bisa jadi menyulitkan bagi para pemohon dan pemerintah daerah. Oleh karena itu perlu dilakukan terobosan dengan memberi kewenangan kepada Pengadilan Tinggi (TUN) untuk melakukan pengujian perda sesuai dengan wilayah hukum masing-masing. Pelaksanaan pengujian oleh pengadilan tinggi akan memudahkan masyarakat terutama pemohon mengikuti jalannya persidangan dan lebih realistis untuk mempertemukan pemohon dan pemerintah daerah di wilayah provinsinya.
Penyerahan kewenangan pengujian perda kepada pengadilan tinggi tidak semata-mata masalah akses, akan tetapi juga upaya perbaikan terhadap pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dengan mendelegasikan kewenangan kepada pengadilan tinggi, MA dapat fokus pada pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang lainnya yang dibentuk oleh institusi yang berada di tingkat pemerintah pusat.
Butuh Terobosan Beberapa usulan tadi perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam revisi UU Pemda dan revisi UU MA yang saat ini sedang dibahas. DPR dan pemerintah perlu melakukan terobosan dalam memperbaiki sistem pengawasan produk legislasi daerah baik oleh eksekutif maupun yudikatif. Kelemahan prosedur sebelumnya adalah undang-undang tidak memberikan arah yang jelas bagi pengawasan perda. Penunjukan pejabat atau lembaga yang berwenang saja tidak dapat memastikan prosedur pengawasan perda dibuat secara baik.
Oleh karena itu, pembentuk undang-undang perlu membuat prosedur yang jelas mengenai pengawasan perda ini. Mekanisme pengawasan perda yang implementatif akan dapat menjadi salah satu upaya menjaga kualitas perda sebagai produk hukum di tingkat daerah agar dapat sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kondisi daerah dan sejalan dengan hak-hak masyarakat.