Konsep omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia banyak mengundang perhatian publik pasca pidato Joko “Jokowi” Widodo saat dilantik sebagai presiden untuk periode kedua tahun lalu.
Pemerintahan Jokowi menilai omnibus law dapat menjadi solusi dari permasalahan ketidakharmonisan dan jumlah regulasi berlebih dalam peraturan perundang-undangan.
Penggunaan istilah omnibus law merupakan hal baru. Namun, secara isi dan fungsi, metode pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi satu peraturan sebenarnya sudah pernah digunakan dalam pembentukan Undang-Undang (UU).
Contohnya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi COVID-19 yang telah ditetapkan menjadi UU No. 2 tahun 2020.
UU di atas dapat dikatakan menggunakan metode omnibus, namun UU tersebut masih mengatur lingkup pengaturan yang berkaitan. UU Pemilu, misalnya, mengatur juga soal lembaga penyiaran, partai politik, dan hak asasi manusia tetapi masih dalam koridor pemilihan umum.
Berbeda dengan UU omnibus sebelumnya, UU Cipta Kerja yang disahkan kilat minggu lalu memasukkan berbagai macam peraturan lintas sektoral yang sangat luas dan tidak jelas koridor keterkaitannya.
Apabila kita tidak ingin mengulangi proses buruk legislasi yang terjadi pada UU Cipta Kerja, kita harus meninjau ulang penggunaan metode ini.
Apalagi masih ada tiga rancangan UU (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024 yang juga akan menggunakan metode omnibus, yaitu RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Mengadopsi tanpa mengantisipasi
Metode omnibus merupakan metode pembentukan peraturan yang umumnya digunakan di negara yang menganut sistem common law, seperti Inggris dan Amerika Serikat (AS). Negara penganut sistem ini menjadikan kasus atau putusan pengadilan sebagai sumber hukum.
Dalam penggunaannya di kedua negara tersebut, metode ini memang memiliki beberapa kelebihan yakni dapat mempersingkat proses legislasi sehingga bisa menghemat anggaran pembentukan peraturan dan memudahkan dalam melakukan penataan serta penyederhanaan regulasi.
Namun metode ini juga memiliki cacat bawaan antara lain: mudah ditunggangi kepentingan politik tertentu, ketidaksesuaian isi dengan judul, penyelundupan pasal, dan penutupan ruang partisipasi publik.
Untuk mengatasi cacat bawaan tersebut, banyak negara common law menerapkan ketentuan-ketentuan khusus dalam penggunaan metode omnibus, yakni harus memuat pasal-pasal yang saling berkaitan dengan tujuan tertentu (interrelated topics) dan mewajibkan UU hanya mengatur satu subjek.
UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UU PPP) memang tidak melarang penggunaan metode ini, tetapi tidak pula mengenal secara langsung metode omnibus.
Indonesia adalah negara penganut sistem civil law, yaitu negara yang menggunakan tiga sumber hukum, yaitu undang-undang (statute), peraturan turunan (regulation), dan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum (custom). Putusan pengadilan pada sistem hukum civil law seringkali dianggap bukan suatu hukum.
Sebagai penganut sistem civil law, lazimnya Indonesia menggunakan metode kodifikasi dalam menggabungkan peraturan. Kodifikasi adalah metode penyusunan peraturan dengan membuat suatu kitab yang berisi gagasan hukum yang sistematis, jelas, tidak bertentangan, dan tidak repetitif.
Dari pengalaman Inggris dan AS seharusnya Indonesia dapat mengantisipasi kelemahan penggunaan metode ini, apalagi penggunaaan metode omnibus sudah dipersiapkan sejak 4 tahun yang lalu.
Kemudian kita juga mengetahui, tahun lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden melakukan revisi terhadap UU PPP, namun tidak memasukkan aturan terkait metode omnibus.
Ini menunjukkan bahwa pengadopsian metode ini tidak disertai dengan kajian yang matang atau memang tidak ada keseriusan untuk mengantisipasi kelemahannya.
Preseden legislasi buruk
UU Cipta Kerja tidak hanya bermasalah secara substansi namun juga bermasalah dalam prosedur pembentukannya.
UU ini tidak bisa menjawab masalah jumlah regulasi berlebih dan tidak harmonis sesuai dengan tujuan awal.
Kita bisa melihat dari UU tentang pertambangan mineral dan batubara (UU Minerba) yang telah direvisi pada Juni, namun ada pasal-pasalnya yang masuk dalam UU Cipta Kerja juga.
UU Cipta Kerja juga banyak membuat ratusan aturan delegasi – yaitu peraturan pelaksanaan yang akan menjelaskan teknis pengaturan lebih lanjut-, yang tentunya berseberangan dengan semangat awal untuk mengurangi jumlah regulasi.
Potensi tinggi konflik kepentingan dan oligarki politik bisa dilihat dari dominasi pebisnis di DPR (55% dari 575 anggota).
UU ini juga tidak sesuai antara isi dengan judul. Namanya Cipta Kerja, namun isinya lebih kepada pengaturan terkait investasi dan kemudahan berusaha.
Ada pula indikasi penyelundupan pasal dengan menyelipkan empat pasal terkait aturan perpajakan, yang sejak awal tidak masuk dalam usulan materi UU Cipta Kerja.
Banyaknya peraturan yang diubah lewat UU ini – sekitar 78 UU menurut salah satu versi draf – membuat pengawasan masyarakat terhadap materi menjadi sangat minim.
Yang paling berbahaya adalah penutupan ruang partisipasi publik dengan hanya melibatkan pihak-pihak tertentu dan masukan dari masyarakat yang tidak diakomodir dalam UU Cipta Kerja.
Sejak awal kita dipertontonkan dengan permasalahan proses legislasi UU ini, dari tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan dan hingga proses pengesahan yang demikian terburu-buru.
Ada bermacam drama, mulai dari proses yang kilat, rapat yang dilakukan di masa reses dan di luar jam kerja, tidak ada draf tersedia pada saat sidang paripurna pengesahan, hingga tersebarnya berbagai macam versi draf yang sulit untuk diverifikasi.
Ini membuktikan bahwa UU Cipta Kerja merupakan UU terburuk yang mengabaikan proses legislasi.
Membatasi omnibus
Untuk itu, perlu sesegera mungkin dilakukan revisi terhadap UU PPP untuk mengatur pembatasan penggunaan metode Omnibus.
Misalnya soal batasan jumlah peraturan yang bisa di-omnibus-kan, format perancangan dan penulisan, waktu minimal pembahasan peraturan, serta kewajiban satu subjek dan lingkup pengaturan yang berkaitan.
Apabila pembatasan ini tidak dilakukan maka sudah selayaknya metode omnibus ini tidak digunakan lagi dalam pembentukan peraturan di Indonesia karena berbahaya terhadap eksistensi Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi.
Sumber: https://theconversation.com/selain-cipta-kerja-ada-tiga-omnibus-law-lain-yang-menunggu-disahkan-apa-layak-diteruskan-148009
Penulis: Nabila Jusuf