Selasa lalu adalah batas akhir waktu yang diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada Oesman Sapta Odang biasa disapa OSO untuk mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Hanura bila ingin namanya masuk dalam daftar calon tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Batas waktu itu diberikan KPU sebagai tindak lanjut dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan putusan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang memerintahkan KPU agar memasukkan OSO ke dalam DCT anggota DPD.
Namun, sampai batas waktu yang diberikan, OSO tidak kunjung mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Hanura. Ia malah terus berupaya melakukan serangan balik dengan melaporkan KPU ke kepolisian pada Senin lalu atas dasar tuduhan tidak menjalankan putusan pengadilan. Menurut OSO, proses hukum sudah selesai dan KPU harus menjalankan putusan PTUN yang memenangkan dirinya.
Namun KPU berpegang teguh pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang secara eksplisit melarang anggota DPD merangkap pengurus partai. KPU beralasan bahwa putusan tersebut berlaku pada Pemilu 2019.
Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, persoalan OSO sebenarnya sudah selesai sesaat sejak putusan MK dibacakan. Adanya putusan PTUN dan Bawaslu sejatinya tidak dapat mengubah apa pun. Menurut hukum, dua putusan itu tidak dapat menabrak konstitusi dan membatalkan putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Dalam hal ini, tentu dalil OSO yang menyatakan bahwa putusan MK baru berlaku pada Pemilu 2024 adalah kekeliruan yang nyata karena putusan MK berlaku sejak pertama kali diucapkan. Dengan kata lain, hal itu berlaku pada Pemilu 2019. Berlakunya putusan MK ini juga telah dijelaskan MK ketika beberapa anggota DPD menanyakan soal kapan berlakunya putusan tersebut.
Persoalan OSO sejatinya bukan lagi masalah pelanggaran administrasi atau sekadar upaya perlawanan agar dapat menjadi calon anggota DPD. Masalahnya lebih pelik dari itu. Ini adalah masalah konstitusi dan ada upaya sistematis dari OSO untuk melanggar konstitusi.
DPD adalah ranah calon perorangan sebagai perimbangan partai politik di parlemen. OSO patut diduga memiliki niat buruk dengan terus berupaya menabrak konstitusi. Jika dibiarkan, hal ini akan berdampak buruk dan nantinya orang-orang akan dengan mudahnya menabrak konstitusi dengan dalih hak politik atau hak asasi manusia atau karena ada putusan pengadilan yang berbeda dari konstitusi.
Konstitusi adalah aturan tertinggi yang tidak boleh dilanggar. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa konstitusi bagi sebuah negara bagaikan kitab suci bagi sebuah agama. Segala aturan hukum dan tindakan, termasuk pemilihan umum, harus sesuai dengannya.
Dalam bernegara, tafsir atas konstitusi tersebut adalah dalam bentuk putusan MK, yang posisinya berada setingkat di bawah konstitusi. Segala tindakan, dari pembentukan undang-undang sampai tindakan dari warga negara, harus sesuai dengan putusan MK. Kewajiban untuk patuh pada putusan MK juga ditegaskan di dalam putusan MK Nomor 79/PUU-XV/2017 bahwa setiap individu atau lembaga negara yang tidak menjalankan putusan MK dapat diklasifikasikan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Jika berpegang teguh pada konstitusi, keinginan OSO untuk menjadi calon anggota DPD tanpa mundur dari kepengurusan partai adalah seperti meminta sisik kepada belut. Namun patut diakui bahwa apa yang dilakukan OSO saat ini telah membuat gaduh penyelenggaraan pemilu karena Bawaslu yang bertugas menjaga integritas pemilu pun tidak konsisten dalam menyikapi perkara ini.
Langkah KPU sudah tepat. Sebagai lembaga negara penyelenggara pemilu yang mandiri, KPU tidak boleh terpengaruh oleh tekanan dari pihak mana pun, termasuk demonstrasi simpatisan Hanura yang terjadi belakangan ini. Kemandirian KPU ini juga ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 81/PUU-IX/2011 yang secara eksplisit menyatakan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil. Menurut Saldi Isra, dalam Pemilu dan Pemulihan Daulat Rakyat, asas jujur dan adil hanya bisa diwujudkan jika penyelenggara pemilu tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak mana pun.
Saat ini kemandirian KPU tengah diuji. Kuncinya, KPU hanya perlu konsisten. Jika tetap berpegang teguh pada konstitusi, persoalan OSO sudah selesai karena konstitusi tidak memberi ruang sedikit pun untuk dipenuhinya keinginan OSO menjadi calon anggota DPD dengan tetap merangkap menjadi pengurus partai.
================================================================================
Dikutip dari: https://kolom.tempo.co/read/1168614/sengkarut-perkara-oso/full&view=ok
Hari/Tanggal: Jumat, 25 Januari 2019
Penulis: Antoni Putra
=================================================================================