Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan melakukan pengujian undang undang terhadap UUD NRI 1945, yang putusannya bersifat final dan mengikat, serta sifat berlakunya sesuai dengan asas erga omnes. Itu artinya, terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi telah tertutup segala bentuk upaya hukum dan harus dipatuhi oleh siapapun, termasuk oleh Mahkamah Agung. Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013 yang pada prinsipnya membolehkan peninjauan kembali dilakukan lebih dari satu kali, Mahkamah Agung tidak mematuhinya. Pasca putusan tersebut, Mahkamah Agung justru menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan. Tulisan ini mengkaji mengenai sifat final dan mengikat serta sifat berlaku sesuai asas erga omnes dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian normatif dan pembahasannya diawali dengan analisis tentang kepatuhan Mahkamah Agung terhadap putusan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan analisis akibat hukum dari pengabaian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa sifat final dan mengikat dari putusan ini tidak berjalan yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum.
Penulis: Antoni Putra
Sumber: https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/425
Tanggal: 3 Desember 2021