Temuan
1. Tidak disiplin
Ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) menyatakan bahwa penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN). Faktanya, hingga RUU APBN 2017 disahkan pada 26 Oktober 2016, Prolegnas Prioritas 2017 tidak kesampaian ditetapkan. Prolegnas Prioritas 2017 sendiri akhirnya baru disahkan pada 15 Desember 2016. Kegagalan (mengesahkan Prolegnas Priorirtas 2017 sebelum penetapan APBN 2017) mengulang kejadian serupa ketika Prolegnas Prioritas 2016 disahkan pada 26 Januari 2016, di saat penetapan APBN 2016 dilakukan sebelumnya (melalui rapat paripurna 30 Oktober 2016).
2. Belum ada dampak yang signifikan dari berbagai langkah akseleratif
Hambatan yang dialami DPR seperti penambahan masa reses, wewenang Badan Legislasi (Baleg) yang berkurang hingga merasa keseringan kunjungan kerja seringkali dijadikan alasan kinerja legislasi yang belum optimal. Berbagai upaya telah ditempuh seperti alokasi maksimal 2 (dua) RUU yang bisa diusulkan oleh setiap komisi, penetapan hari legislasi maupun pengurangan waktu reses, namun belum memperlihatkan dampak signifikan terhadap penyelesaian target Prolegnas Prioritas 2016.
3. Slot 40 RUU
Beban legislasi semakin bertambah terutama pasca pertemuan Baleg dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 6 Juni 2016. Pertemuan keduanya menyepakati perubahan Prolegnas 2016, berupa penambahan 10 (sepuluh) RUU. Sebagai informasi, RUU yang diusulkan oleh Pemerintah yaitu RUU tentang Bea Materai, RUU Perubahan UU Badan Pemeriksa Keuangan, RUU Perubahan UU Mahkamah Konstitusi, RUU Narkotika dan Psikotropika, dan RUU Kepalangmerahan. Sedangkan RUU yang diusulkan oleh DPR antara lain RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perubahan UU Aparatur Sipil Negara, RUU Perkelapasawitan, RUU Perubahan UU Bank Indonesia, dan RUU Perubahan UU Otoritas Jasa Keuangan.
Apakah penambahan dan usulan pembagian 10 RUU didasarkan pada pemenuhan slot kuantitas sebanyak 40 RUU dalam Prolegnas 2016? Ketika DPR dan juga Pemerintah berkomitmen untuk tidak sekedar memenuhi aspek kuantatif, kebijakan memenuhi slot 40 RUU justru kontraproduktif. Seharusnya DPR dan Pemerintah meninjau ulang dan mengevaluasi. Dalih untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat bukan berarti hanya dipahami dengan mengusulkan dan melahirkan RUU baru. Ini pula yang menjadi pertanyaan ketika materi perkelapasawitan, kepalangmerahan, dan bea materai dipaksakan pengaturannya selevel undang-undang.
Pemerintah, DPR, dan DPD sebaiknya menyediakan definisi yang lebih operasional, terutama dalam merespon setiap usulan RUU. Terlalu mudah mendalilkan suatu usulan RUU sebagai pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat (sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e UU 12/2011) akan menimbulkan kompleksitas baru seperti potensi ketidakharmonisan, tumpang tindih peraturan maupun beban secara sosial, politik, dan ekonomi.
Rekomendasi
Dalam berbagai kesempatan, DPR turut mempersoalkan lemahnya kinerja legislasi karena pemerintah juga lamban dalam menyusun dan menyampaikan RUU usulannya kepada DPR. Perdebatan tentang capaian aspek kuantitas ataupun persoalan lemahnya kinerja legislasi tidak semata disebabkan oleh DPR, sudah harus digeser kepada identifikasi paling fundamental penyebab kinerja legislasi selalu bermasalah. DPR (juga Pemerintah dan DPD) sebaiknya tertuju kepada kebutuhan mendesain ulang Prolegnas sebagai instrumen perencanaan legislasi. Mengingat desain yang selama ini digunakan oleh DPR dan Pemerintah justru mengkerangkeng dan menempatkan (DPR dan Pemerintah sendiri) pada kegagalan kinerja legislasi.