TIDAK ada yang spesial dari tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat merevisi Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan yang merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024. KPU dan DPR memang sudah semestinya bertindak demikian.
Kondisi tidak sesuai justru muncul ketika KPU tidak dengan seketika menindaklanjuti putusan MK dan di sisi lain DPR seperti mencari akal untuk merintangi putusan MK tersebut.
Hal itu justru menimbulkan pertanyaan dan kemarahan di tengah masyarakat. Padahal secara teori dan praktik semua memahami dan mengakui bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada mekanisme lain yang dapat menganulir dan merintangi Putusan MK tersebut.
Kesesatan DPR
Kekisruhan dalam tindak lanjut Putusan MK Nomor 60 dan 70 diawali dari sikap DPR yang secara terang-terangan menunjukkan niatnya untuk menegasikan putusan tersebut.
Sikap ini memicu kritik dan kemarahan dari berbagai kalangan yang melihat adanya ketidakpatuhan terhadap Putusan MK.
DPR, melalui Rapat Badan Legislasi (Baleg), kemudian mengambil langkah strategis dengan menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) yang bertujuan merevisi UU Pilkada.
Isi dari RUU tersebut terindikasi kuat bertentangan dengan substansi Putusan MK Nomor 60 dan 70, yang seharusnya menjadi landasan hukum yang wajib dipatuhi.
Langkah ini menunjukkan adanya tindakan disengaja untuk melemahkan putusan MK, serta mempertahankan kepentingan tertentu yang mungkin terganggu jika putusan tersebut diimplementasikan.
Manuver DPR tidak luput dari perhatian masyarakat Indonesia. Siasat yang dilakukan terlihat jelas sebagai bentuk pembangkangan terhadap Putusan MK, dan ini menimbulkan keprihatinan luas tentang komitmen lembaga legislatif terhadap supremasi hukum dan demokrasi.
Sikap DPR yang tampak mengabaikan putusan MK telah merusak kepercayaan publik terhadap integritas proses legislasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pembiaran dari Pemerintah
Segala tindakan yang dilakukan oleh DPR untuk menyiasati putusan MK tampaknya dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah, tanpa ada upaya sedikit pun untuk melakukan penyelamatan atau koreksi.
Hal ini semakin menguatkan persepsi bahwa Pemerintah bukan hanya berdiam diri, tetapi juga menjadi bagian dari perilaku sesat yang dengan sengaja membangkangi putusan MK.
Ketika seharusnya Pemerintah menjadi penjaga tegaknya hukum dan konstitusi, mereka justru memilih jalan yang sama dengan DPR, mengabaikan tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Ketika pemerintah seolah-olah setuju dengan langkah DPR, konsep check and balance yang menjadi pilar penting dalam sistem pemerintahan demokratis terlihat hilang. Alih-alih memberikan koreksi atau bahkan menentang langkah-langkah DPR yang jelas bertentangan dengan putusan MK, Pemerintah malah tampak mendukungnya secara diam-diam.
Penulis: Muhammad Nur Ramadhan
Editor : Sandro Gatra