Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan pesat telah mengubah pola interaksi dalam masyarakat. Banyak aktivitas yang dulu harus dilakukan secara langsung, kini bisa dilakukan dari jarak jauh. Urusan perbankan, belanja dan lain-lain selesai dengan sentuhan tangan.
Tak terkecuali urusan berobat. Di masa pandemi ini, masyarakat bisa mendapatkan layanan klinis secara online. Bahkan pemerintah menyarankan masyarakat menempuh layanan online tersebut untuk mengurangi kontak fisik.
Jauh sebelum pandemi, layanan kesehatan dalam bentuk telemedicine telah muncul. Bahkan di beberapa negara layanannya telah dipraktikkan. Di Indonesia, sebelum pandemi layanan telemedicine hanya diberlakukan dalam lingkup antar fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes).
Pandemi mendorong pemerintah memberlakukan kebijakan penerapan telemedicine yang menjangkau layanan klinis antara dokter dengan pasien. Meskipun secara hukum penerapannya hanya diberlakukan selama pandemi, telemedicine ini akan terus berkembang seiring dengan pengaruh teknologi yang semakin banyak menjangkau layanan kebutuhan masyarakat.
Bagaimana pengaturan telemedicine saat ini di Indonesia? Dan apa yang harus dilakukan pemerintah? Beberapa hal ini akan coba diulas Penulis dalam artikel ini.
Tentang Telemedicine
Sektor medis sangat dekat dengan penggunaan teknologi yang selalu berkembang dengan pesat. Karakter ini menuntut tenaga medis dan kesehatan selalu beradaptasi dengan teknologi baru.
Demikian juga dengan institusi atau Fasyankes yang harus siap dengan modal untuk menyediakan peralatan klinis dengan teknologi yang mutakhir. Minimnya modal dan ketertinggalan teknologi akan berakibat pada kurangnya optimalnya pelayanan kesehatan yang diberikan.
Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi saat ini juga memberi tantangan lain bagi sektor medis untuk beradaptasi. Telemedicine atau layanan kesehatan jarak jauh kini semakin marak di tengah-tengah masyarakat. Meskipun dalam dunia kedokteran, istilah telemedicine sudah lama berkembang sesuai dengan teknologi yang digunakan pada kurun waktu tersebut.
Dokumen WHO yaitu Report on the Second Global Survey on e-Health 2009 berjudul Telemedicine: Opportunities and Developments in Member States menyebutkan istilah telemedicine telah dicetuskan sejak 1970-an yang didefinisikan sebagai pengobatan jarak jauh.
WHO mendefinisikan telemedicine sebagai pelayanan kesehatan, di mana jarak menjadi faktor penting, yang dilakukan oleh petugas kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk pertukaran informasi valid untuk diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cidera, penelitian dan evaluasi, serta pendidikan berkelanjutan untuk penyedia layanan kesehatan untuk memajukan kesehatan masyarakat.
Definisi tersebut memiliki cakupan kepentingan yang luas mulai dari layanan klinis, non klinis, pendidikan sampai dengan penelitian. Pada era internet saat ini telemedicine semakin dekat dengan kebutuhan layanan kesehatan bagi masyarakat. Layanan kesehatan semakin dituntut agar bisa menyediakan layanan jarak jauh melalui adaptasi dengan perkembangan internet.
Tidak hanya dalam lingkup antar Fasyankes namun juga interaksi tenaga medis dengan pasien. Pasien bisa mendapatkan layanan mulai dari konsultasi sampai dengan farmasi tanpa harus mengunjungi Fasyankes. Pasien dapat berkonsultasi langsung dengan dokter terkait dengan keluhan yang dihadapi melalui fitur chat maupun video call.
Meskipun memiliki kelemahan salah satunya tidak dapat dilakukan pemeriksaan fisik secara langsung, telemedicine dinilai memudahkan akses masyarakat mendapatkan layanan kesehatan. Konsultasi kesehatan dapat dilakukan tanpa berkunjung ke Fasyankes sehingga menghemat waktu dan biaya. Jarak dan waktu bukan lagi menjadi kendala utama dalam hal ini.
Berkembangnya telemedicine akan membawa dunia kesehatan memasuki fase baru dengan adaptasi terhadap teknologi informasi dan komunikasi. Fase baru ini harus diikuti dengan penyesuaian regulasi terkait sehingga praktik telemedicine dapat berjalan optimal dan juga memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat seperti tenaga medis, tenaga kesehatan dan pasien.
Instrumen Penerapan Telemedicine di Indonesia
Ada tiga instrumen peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan penerapan pelayanan telemedicine yang saat ini menjadi rujukan. Pertama, Peraturan Menteri Kesehatan No. 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Permenkes 20/2019).
Kedua,Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4829/2021 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Covid-19 (Kepmenkes 4829). Keputusan ini mencabut Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/303/2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 (SE Menkes).
Ketiga, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia (Perkonsil 74/2020).
Permenkes 20/2019 dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan spesialistik dan mutu pelayanan terutama untuk daerah terpencil. Layanan telemedicine yang dapat dilakukan berdasarkan peraturan ini adalah layanan kesehatan antar Fasyankes. Layanan telemedicine antara Fasyankes tersebut meliputi teleradiologi, teleelektrokardiografi, teleultrasonografi, telekonsultasi klinis, dan pelayanan telemedicine lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam aturan tersebut juga dibatasi bahwa Fasyankes pemberi konsultasi hanya dapat dilakukan oleh rumah sakit. Sedangkan Fasyankes peminta konsultasi dapat berupa rumah sakit, Fasyankes tingkat pertama dan Fasyankes lainnya. Pelayanan Telemedicine dalam aturan ini hanya diberlakukan untuk kebutuhan antar Fasyankes. Permenkes 20/2019 tersebut belum mengatur pelayanan telemedicine bagi dokter atau Fasyankes dengan pasien.
Pandemi yang mengharuskan pembatasan sosial memaksa penerapan telemedicine dalam layanan kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan mengeluarkan petunjuk yang mengatur tentang pelayanan telemedicine yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat atau pasien. Selama pandemi, Kementerian Kesehatan menerbitkan dua petunjuk terkait telemedicine yaitu SE Menkes dan Kepmenkes 4829. SE Menkes saat ini telah digantikan dan dicabut dengan Kepmenkes 4829.
Aturan tersebut dikeluarkan untuk memberikan jalan bagi pelayanan kesehatan tanpa melalui tatap muka secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi berupa telemedicine. Layanan telemedicine ini diperlukan guna mencegah penyebaran Covid-19. Tujuan ini juga mengindikasikan bahwa telemedicine sebagaimana dimaksud dalam SE Menkes, hanya berlaku pada masa pandemi.
Kepmenkes 4829 mendefinisikan pelayanan kesehatan melalui telemedicine pada masa pandemi merupakan pelayanan kesehatan jarak jauh dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk pemberian informasi kesehatan, diagnosis, pengobatan, pencegahan perburukan, evaluasi kondisi kesehatan pasien, dan/atau pelayanan kefarmasian. Termasuk untuk pemantauan terhadap pasien Covid-19 yang melakukan isolasi mandiri, yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan lain pada fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
Kegiatan pelayanan Kesehatan melalui telemedicine yang diatur dalam Kepmenkes tersebut antara lain: (a). konsultasi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), (b). konsultasi klinis yang meliputi anamnesa, pemeriksaan tertentu melalui audio visual, pemberian anjuran/nasihat yang dibutuhkan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang dan/atau hasil pemeriksaan fisik tertentu, penegakan diagnosis, penatalaksanaan dan pengobatan pasien, penulisan resep obat dan/atau alat kesehatan, diberikan kepada pasien sesuai dengan diagnosis, (c). pemeriksaan penunjang, dan (d). pelayanan telefarmasi.
Fasyankes penyelenggara pelayanan telemedicine meliputi rumah sakit, puskesmas, klinik, praktik mandiri dokter/dokter gigi dan dokter spesialis/dokter gigi spesialis, laboratorium, dan apotek. Pelayanan Kesehatan yang dilakukan oleh Fasyankes tersebut dapat menggunakan aplikasi yang telah dikembangkan sendiri oleh Fasyankes yang bersangkutan atau bekerja sama dengan aplikasi milik pemerintah atau swasta.
Aturan lainnya terkait dengan pelayanan telemedicine adalah Perkonsil 74/2020. Tujuan Perkonsil ini di antaranya memberikan kewenangan klinis bagi dokter, termasuk dokter gigi, untuk memberikan layanan medis tertentu dalam lingkungan rumah sakit untuk satu periode tertentu. Selain itu, Perkonsil ini juga dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi dokter dalam melakukan praktik selama pandemi Covid-19. Seperti Kepmenkes 4829, berlakunya Perkonsil ini hanya selama masa pandemi.
Perkonsil 74/2020 ini diantaranya mengatur tentang pelaksanaan telekonsultasi dengan pasien bukan dalam kondisi gawat darurat. Sementara bagi pasien dalam kondisi gawat darurat, memerlukan tindakan diagnostic, dan/atau terapi maka dokter harus merujuk pasien ke Fasyankes. Aturan lainnya adalah dokter yang melakukan praktik kedokteran melalui telemedicine wajib membuat rekam medis dan disimpan di Fasyankes.
Berdasarkan Perkonsil 74/2020 ini, terdapat beberapa larangan bagi dokter dalam melakukan pelayanan telemedicine di antaranya larangan melakukan telekonsultasi dengan pasien secara langsung tanpa melalui Fasyankes, meminta pemeriksaan penunjang yang tidak relevan, menarik biaya di luar tarif yang sudah ditetapkan oleh Fasyankes serta memberikan surat keterangan sehat.
Menyusun Regulasi Telemedicine
Tiga instrumen yang diuraikan sebelumnya memiliki keterbatasan sebagai pedoman penerapan pelayanan telemedicine yang berkembang saat ini. Permenkes 20/2019 hanya mengatur pelaksanaan telemedicine antar Fasyankes. Sementara itu, Kepmenkes 4829 dan Perkonsil 74/2020 membatasi pelaksanaan telemedicine dalam situasi pandemi. Saat pemerintah nanti mencabut situasi pandemi Covid-19 maka akan terjadi kekosongan instrumen yang menjadi petunjuk dalam pelaksanaan telemedicine.
Penerapan telemedicine nampaknya tak terhindarkan lagi. Pemerintah perlu melakukan langkah cepat untuk merumuskan pengaturan yang lebih komprehensif. Sejumlah undang-undang yang terkait dengan pelayanan kesehatan masyarakat perlu disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Di antaranya UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Perlunya penyesuaian setidaknya pada tiga undang-undang tersebut menunjukkan kebutuhan pengaturan telemedicine dalam sebuah undang-undang. Selain itu juga mengingat ruang lingkup pengaturannya untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat terkait dengan pelayanan kesehatan.
Pengaturan telemedicine perlu memperhatikan kepentingan dan keselamatan pasien serta perlindungan bagi tenaga medis dan kesehatan. Pengaturan tersebut diharapkan selain memberi kemudahan bagi pasien dalam mengakses layanan kesehatan, juga memberikan kepastian hukum dan pedoman yang jelas bagi tenaga medis dan kesehatan dengan tetap menjaga mutu layanan.
Beberapa materi yang ada di dalam instrumen sebelumnya masih relevan diatur kembali dalam instrumen yang perlu dibentuk nantinya. Materi lainnya yang perlu diatur di antaranya tentang pihak penyelenggara telemedicine, hak dan kewajiban para pihak dalam pelayanan telemedicine, ruang lingkup layanan telemedicine, aspek penjaminan mutu, tanggung jawab pelayanan, tata laksana pelayanan, perlindungan dan pembinaan tenaga medis dan kesehatan, pengelolaan rekam medis, pengawasan dan edukasi masyarakat.
Perkembangan telemedicine saat ini dapat dilihat sebagai peluang untuk membuka akses yang luas bagi masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan. Di sisi lain memberikan tantangan baru untuk melakukan adaptasi dari berbagai aspek pelayanan Kesehatan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah perlu segera menyiapkan perangkat regulasi yang komprehensif. Berlajar dari sektor lain, keterlambatan antisipasi dan adaptasi terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang cepat ini akan menimbulkan persoalan baru yang lebih kompleks.
Penulis: M Nur Sholikin
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/regulasi-telemedicine-lt61e77813f14ea?page=5